Kontribusi LP Ma'arif thp Pengembangan Pendidikan Islam

| |

BAB I
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG MASALAH
Pendidikan adalah sesuatu yang esensial bagi manusia. Melalui pendidikan manusia dapat belajar menghadapi segala problematika yang ada di alam semesta ini demi mempertahankan kehidupannya (. Ali dan Ali, 2003: vii). Urgensi pendidikan disinyalir dapat membentuk kepribadian seseorang; dapat menentukan prestasi dan kapabelitas serta produktifitas; dapat mengapresiasi dan memaknai kehidupan; dapat berinovasi dan berkreasi. Atau dengan kata lain, pendidikanlah satu-satunya jalan yang dapat mengantar setiap insan mencapai pada peradaban dan kebudayaan gemilang. Karena pentingnya arti pendidikan, maka Islam menempatkannya pada kedudukan yang tertinggi (A’la, 2006: 34), sebagaimana disabdakan oleh baginda Nabi SAW:

طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِ مُسْلِمٍ وَمُسْلِمَةٍ [ رواه ابن حبا]

artinya: Mencari ilmu itu adalah merupakan kewajiban bagi seorang muslim laki-laki dan muslim perempuan. (HR. Imam Ibnu Hibban ra.). (az-Zarnuji, ttp: 5)
Jika meminjam istilah E.B. Tylor (dalam Pals, 2003: 37), sejarah kemajuan manusia, bahwa dalam perjalanan sejarah, setiap generasi dengan kemampuannya sendiri mengembangkan dan melanjutkan apa yang telah dicapai oleh generasi sebelumnya. Maka, sangat logis jika kemudian umat Islam mengembangkan berbagai bentuk pendidikan yang berlangsung dari abad ke abad itu ke dalam sistem kelembagaan yang kokoh (Yafie, 1997: 25). Contoh yang nampak dengan jelas dalam lembaran sejarah dan sampai saat ini masih berdiri tegar, misalnya, al-Azhar di Kairo, az-Zaitunah di Tunisia, al-Qawariyun di Fes, Maroko, Aliwargh di India (Ali, 1992: 24 dst) dan beberapa sistem pondok pesantren di Indonesia (A’la, 2006: 15 dst, dan Yafie, 1997: 25). Umat Islam secara intensif berinovasi membentuk lembaga pendidikan yang sesuai dengan perkembangan zaman. Terwujudlah lembaga pendidikan di bawah naungan Muhammadiyah, Persis, al-Irsyad, Hidayatullah dan Nahdlatul Ulama (Ali dan Ali, 2003: 9-22).
Secara khusus, Nahdlatul Ulama (NU) dalam Muktamar XIII di Menes, Banten, pada tanggal 11 – 16 Juni 1938 (Ensiklopedi Islam, 2001: 350, Bruinessen, 1999: 47) telah membentuk divisi pendidikan yang diberi nama lembaga pendidikan Ma’arif, dengan tujuan mewadahi dan mendirikan madrasah-madrasah/sekolah-sekolah dan pondok pesantren yang tersebar di desa-desa maupun kota, agar ajaran ahlu sunnah wal jama’ah (Aswaja) benar-benar dapat berjalan di masyarakat muslim (Thoha, 1980: 29). Terbentuknya divisi pendidikan ini merupakan implementasi dari Anggaran Dasar (AD) NU yang tertuang dalam pasal 6 yang diputuskan dalam Muktamar XIII di atas. Kemudian dalam Muktamar XXVII di Situbondo, 1984 Anggaran Dasar (AD) tersebut disempurnakan (Bruinessen, 1999: 310) sebagai mana berbunyi:
Di bidang pendidikan, pengajaran dan kebudayaan, mengusahakan terwujudnya penyelenggaraan pendidikan dan pengajaran serta pengembangan kebudayaan berdasarkan Agama Islam untuk membina manusia muslim yang bertakwa, berbudi luhur, berpengetahuan luas dan trampil, berkepribadian serta berguna bagi agama, bangsa dan Negara. (Thoha,1980: 31).

Pasal di atas adalah tulang punggung lembaga pendidikan Ma’arif sehingga pasal tersebut dijadikan juga sebagai visi dan missi dan sekaligus sebagai fungsi dan tujuan mendirikan lembaga pendidikan Ma’arif. Telah begitu jelas kemana lembaga ini mau di bawa. Yang secara eksplisit telah disebutkan bahwa ia mengusahakan terwujudnya penyelengaraan pendidikan dan pengajaran untuk membina umat Islam agar bertakwa kepada Allah SWT, berbudi luhur, disamping juga berpengatahuan luas terhadap ilmu-ilmu keislaman dan ilmu-ilmu umum lainnya, yang tentunya berguna atas agama, negara dan bangsanya kelak.
Melihat betapa jelasnya fungsi dan tujuan lembaga pendidikan Ma’arif didirikan, maka akan nampak jelas pula peranan atau kontribusinya dalam upaya mengembangkan pendidikan Islam di Indonesia masa kini. Kehadirannya telah membantu pemahaman yang lebih kokoh atas ajaran Islam yang berhaluan Aswaja. Juga, ia telah pula memberikan sumbangan baik segi fisik, seperti mendirikan banyak sekolah dari tingkat paling bawah sampai pada tingkat universitas. Ditambah lagi, telah memberikan sumbangan yang berupa non-fisik, seperti bagaimana cara mengatur atau memenej sebuah lembaga agar efektif dan efesien, memberikan pemikiran bagaimana cara berorganisasi yang baik, juga telah pula dirasakan banyak oleh para anak didik yang berada dalam naungan Ma’arif, bagaimana agar tetap menjadi orang Indonesia dengan berbagai adat dan budayanya dan tidak mempertentangkan syari’ah Islam dengan adat dan budaya tersebut. Itu semua merupakan faktor-faktor atau kontribusi lembaga pendidikan Ma’arif.
Akan tetapi, sungguh sebuah ironi jika penulis melihat pada kenyataan yang terjadi saat ini. Lembaga pendidikan Ma’arif kurang mempunyai gairah untuk memajukan pendidikan yang semakin lama penuh tantangan. Malahan ‘konflik’ internlah yang memang biasa dalam dunia pesantren, ikut mewarnai laju keterseokan lembaga pendidikan ini (A’la, 2006: 131-134). Masih untung NU mempunyai pondok pesantren yang tetap berkibar mewarnai alam pikiran muslim nusantara yang konsisten tetap berhaluan Aswaja. Tapi sebenarnya, menurut hemat penulis, bukan NU-lah yang mempunyai pondok pesantren-pondok pesantren itu secara hakiki, tapi para kiayi-lah secara individu pemilik sebenarnya, kemudian sang kiayi tersebut mengaku bahwa pondok pesantrennya-lah bagian dari NU. Hal seperti ini yang menyebabkan ketidakseragaman pondok pesantren di bawah NU, yang disadari atau tidak, berimplikasi pada eksistensi lembaga Ma’arif.

Bagaimanapun pertumbuhan pendidikan Ma’arif sebagai mana penulis gambarkan di atas, akan tetapi ia tidak dapat dipandang sebelah mata. Kontribusinya yang menurut penulis paling besar, adalah tertanamnya ajaran Islam dengan tetap berpatokan kepada paham Aswaja dan tetap berkomitmen pada salah satu madzhab yang empat, yaitu Maliki, Hanafi, Syafi’i dan Hambali, sebagaimana disebutkan dalam Anggaran Dasar NU yang diputuskan dalam Muktamar XXVII di Situbondo, 1984 pada pasal 4: Tujuan
“Nahdlatul Ulama sebagai Jami’iyah Diniyah Islamiyah beraqidah Islam menurut faham Ahlusunnah wal Jama’ah dan mengikuti salah satu madzhab empat: Hanafi, Maliki, Syafi’ie dan Hambali”. (Bruinessen, 1999: 309).
Tentu, bila penulis kaji lebih dalam akan sangat bagus mengungkapkan kontribusi lembaga pendidikan Ma’arif NU dalam upaya pengembangan lembaga pendidikan Islam pada saat ini.
Maka, memperhatikan paparan di atas adalah wajar sekali jika penulis teliti dengan mendalam. Oleh karena itu, penulis memberanikan diri menggarap penelitian ini dengan sebuah judul: Kontribusi Lembaga Pendidikan Ma’arif Nahdlatul Ulama dalam Upaya Pengembangan Lembaga Pendidikan Islam Masa Kini”.
RUMUSAN MASALAH

Menurut Riyanto (2001: 9), rumusan masalah harus researchable dalam arti masalah tersebut harus dapat diselidiki. Masalah harus jelas, karena dengan perumusan yang jelas, peneliti diharapkan dapat mengetahui variabel apa yang akan diukur dan apakah ada alat ukur yang sesuai untuk mencapai tujuan penelitian. Dengan rumusan yang jelas akan dapat dijadikan penuntun bagi langkah-langkah selanjutnya.
Arikunto (1998: 28-29) menegaskan, bahwa secara garis besar, permasalahan harus diangkat dari tiga gejala, yaitu: Pertama, mengetahui status dan mendiskripsikan fenomena; kedua, membandingkan dua fenomena atau lebih (problem komparasi); ketiga, mencari hubungan antara dua fenomena (problem korelasi).
Mengacu kepada pemikiran yang dikemukakan oleh kedua tokoh di atas dan memperhatikan pada latar belakang masalah , maka penulis dapat mengambil beberapa rumusan masalah. Adapun rumusan masalah yang penulis maksud adalah sebagai berikut:
Program apa saja yang dicanangkan oleh lembaga pendidikan Ma’arif NU dalam upaya mengembangkan lembaga pendidikan Islam saat ini?
Bagaimana Implementasi program lembaga pendidikan Ma’rif NU sehingga ia menjadi lembaga yang maju?
Bagaimana faktor pendorong dan faktor penghambat yang dihadapi lembaga pendidikan Ma’arif NU dalam membentuk suatu lembaga pendidikan yang bermutu?
Bagaimana kontribusi lembaga pendidikan Ma’arif dalam upaya pengembangan lembaga pendidikan Islam masa kini?
TUJUAN DAN MANFAAT KAJIAN
1. Tujuan.

Arikunto (1998: 52) mengatakan, apabila masalah penelitian dikejawantahkan dalam bentuk kalimat tanya, maka tujuan penelitian harus diungkapkan melalui kalimat pernyataan. Tujuan penelitian adalah rumusan kalimat yang menunjukkan adanya sesuatu hal yang diperoleh setelah penelitian usai.

Melihat bentuk masalah seperti tersebut di atas, telah sampailah kepada tujuan apa yang hendak penulis capai dalam menyusun karya ilmiah ini. Adapun tujuan yang ingin dicapai penulis adalah:
a) Ingin menskripsikan bentuk-bentuk program lembaga pendidikan Ma’arif NU
b) Ingin menskripsikan strategi yang digunakan lembaga pendidikan Ma’arif NU dalam mengatasi berbagai kendala yang menghadang.
c) Ingin menskripsikan faktor pendorong dan faktor penghambat lembaga pendidikan Ma’rif NU.
d) Ingin menskripsikan kontribusi lembaga pendidikan Ma’arif dalam upaya pengembangan lembaga pendidikan Islam masa kini.
2. Manfaat.
Pembicaraan hasil penelitian menjadi penting setelah beberapa peneliti tidak dapat mengatakan sebenarnya hasil apa yang diharapkan dan sejauhmana sumbangannya terhadap ilmu pengetahuan (Arikunto,1998: 55).
Merujuk pada pendapat tersebut, maka kegunaan atau manfaat penelitian ini dapat penulis rangkum sebagai berikut:
a) Menambah wawasan dan pemahaman yang lebih rinci terhadap kontribusi lembaga pendidikan Ma’arif NU.
b) Dapat membantu kalangan pendidik (guru) atau kalangan akademisi lainnya, dalam melacak pola-pola atau corak lembaga pendidikan Ma’arif NU.
c) Dapat menambah khasanah kepustakaan tentang studi historis pendidikan dan lembaganya, dan dapat menambah ilmu pengetahuan kependidikan bagi mereka yang berkecimpung dalam dunia pendidikan.
ALASAN MEMILIH JUDUL
Penulis mempunyai dua alasan dalam memilih judul kajian ini, yaitu:
Alasan Subjektif
a)Kajian tentang tema ini sesuai dengan disiplin ilmu yang sedang penulis geluti, yaitu ilmu pendidikan Islam atau Tarbiyah.
b) Di almamater penulis, kajian pustaka yang menggunakan metode diskriptif analisis kurang diminati mahasiswa, sehingga penulis sangat termotivasi untuk membahas tentang lembaga pendidikan Ma’arif Nahdlatul Ulama.
Alasan Objektif
a) Kontribusi lembaga pendidikan Ma’arif Nahdlatul Ulama kurang terpetakan dengan jelas walau sudah diakui bahwa kontribusi tersebut memang ada.
b) Lembaga pendidikan Ma’arif Nahdlatul Ulama secara sistem sangat berbeda dengan sistem pondok pesantren walaupun sama-sama di bawah naungan NU.
PENEGASAN JUDUL.
Kontribusi berarti ; sumbangan, baik sumbangan dalam bentuk fisik, seperti dana atau iuran, maupun dalam bentuk non-fisik, seperti dalam hal sumbangan pemikiran atau sumbang saran (KBBI, 1999: 523). Dalam kajian ini, diartikan bahwa kontribusi adalah sumbangan, baik yang berupa fisik atau pun non-fisik yang dilakukan oleh lembaga pendidikan Ma’arif Nahdlatul Ulama.
Lembaga pendidikan ma’arif NU adalah sebuah institusi atau badan pendidikan yang dijalankan dengan seperangkat aturan atau manajemen organisasi yang berada dalam naungan NU yang bertujuan untuk membina atau mengarahkan anak didik yang sesuai dengan ajaran Islam yang berfaham Aswaja (KBBI, 1999:579,232; Ensiklopedi Islam III, 2001: 350; Bruinessen, 1999: 47).
Lembaga pendidikan Islam adalah sebuah institusi atau badan pendidikan Islam yang dijalankan dengan seperangkat aturan atau manajemen organisasi yang secara umum berada di luar lembaga pendidikan Ma’arif NU, tetapi masih ada kaitannya dengan lembaga tersebut. Atau dengan kata lain, lembaga pendidikan Ma’arif mempunyai pengaruh dan kontribusi dalam upaya pengembangan pendidikan Islam tersebut (Ali dan Ali, 2003: 67; Ensiklopedi Islam II, 2001: 250; Arifin, 1977: 12-15)
RUANG LINGKUP KAJIAN
Ruang lingkup masalah dalam kajian ini adalah terfokus pada Lembaga Pendidikan (LP) Ma’atif NU, yaitu penulis akan membedah sejarah perkembangannya, berupa latar belakang Lembaga Pendidikan Ma’arif. Kemudian, penulis akan menelaah secara mendalam unsur mana yang dapat membuat lembaga ini berperan dan mempunyai kontribusi dalam upaya pengembangan lembaga keislaman lainnya. Juga, penulis akan mengungkap faktor-faktor pendorong dan faktor-faktor penghambat lembaga pendidikan Ma’arif NU.
Selanjutnya, penulis akan menyusunnya dengan kajian yang runtut, objektif dan jelas dengan menggunakan panduan baku sebuah karya yang bersifat ilmiah.
METODE KAJIAN
1. Jenis Penelitian
Karena sifat penelitian ini adalah teoritis-konseptual, maka jenis penelitiannya pun menggunakan penelitian pustaka (library receach), yaitu menggunakan literatur sebagai rujukan utama dalam menggali konsep-konsep yang telah ditentukan oleh para ahli terlebih dahulu, menghilangkan bias atau pengertian yang bertentangan, kemudian mengintegrasikannya dalam kalimat yang baru.
Sumber Data
Mengingat bahwa penelitian kepustakaan yang berisi buku-buku sebagai bahan bacaan dikaitkan dengan penggunaannya dalam kegiatan penulisan karya ilmiah, maka untuk mengumpulkan data-data dalam penelitian ini digunakanlah sumber data primer dan data sekunder.
1) Sumber Data Primer
a) Kapita Selekta Pendidikan, oleh M Ali Husein dan Mukti Ali. Karya ini membahas tentang sejarah sistem pendidikan Islam di Indonesia secara umum.
b) Reaktulisasi Paradigma Pendidikan Islam, oleh Edi Priatna,. Karya ini membahas bagaimana orang berikhtiar mewujudkan pendidikan bernilai ilmiah dan insaniah di Indonesia.
c) Diskursus Islam dan Pendidikan, oleh Tholhah Hasan. Karya ini membahas wacana kritis antara Islam dan Pendidikan secara umum.
d) Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib al-Attas, oleh Wan Mohd. Nor Wan Daud. Membahas pemikiran M. Naquib Al-Attas tentang filsafat pendidikan Islam.
e) Perbandingan Pendidikan Islam, oleh Ali al-Jumbulati dan Abdul Fattah at-Tuwanisi (terjemahan), Sebuah studi komperatif tentang pendidikan Islam tempo dulu.
f) Pembaharuan Pesantren, oleh Abdul A’la Ahmad Basyir AS. Menbahas cara memajukan pesantren dan lembaga keislaman lainnya.
g) Sejarah Pendidikan, oleh I. Djumhur dan Drs. H. Danasuparta. Berisi perkembangan lembaga pendidikan dari zaman bahula sampai zaman kemerdekaan Republik Indonesia.
h) Sejara Nasional Indonesia (SNI) Jilid V dan VI, oleh TIM Depdikbud. Berisi sejarah perjuangan bangsa Indonesia sampai Orde Baru. Juga berisi tentang perkembangan sejarah pendidikan Indonesia secara umum.
i) Ensiklopedi Islam, terutama jilid II dan III. Kerena pada kedua jilid tersebut hal-hal yang bersangkutan dengan pendidikan Islam dan NU dibahas secara mendalam.
j) NU, Tradisi Relasi Kuasa, oleh Martin Van Bruinessen.
k) NU, Kritisisme dan Pergeseran Makna Aswaja, oleh Badrun Alaena.
l) NU, Vis-à-vis Negara. Pencarian Visi, Bentuk dan Makna, oleh Andree Feillard.
m) . Majalah-Majalah
n) Situs-situs internit
2) Sumber Data Sekunder
Sumber ini bertugas sebagai pelengkap atas keberadaan data primer di atas. Sumber ini penulis ambil dari perkembangan mutakhir yang menyangkut lembaga pendidikan Islam saat ini. Kebanyakan oleh penulis diambilkan dari berbagai majalah Islam dan Umum serta harian Nasional, dan jurnal-jurnal pendidikan lainnya.
b. Teknik Pengumpulan Data
Dalam pengumpulan data, penulis menggunakan teknik dokumenter, yaitu memanfaatkan sebanyak-banyaknya buku-buku yang ada sebelumnya, untuk kemudian diadakan penelitian dan dikomparasikan terhadap objek atau fokus yang mau dianalisis.
c. Analisis Data
Setelah data terkumpulkan, maka langkah berikutnya adalah menganalisa melalui metode-metode sebagai berikut:
1). Metode deskriptif
Dalam penelitian ini, yang dimaksud dengan metode deskripsi adalah suatu cara penelitian yang disusun menggunakan bentuk penjabaran kalimat demi kalimat (KBBI, 1999: 150). Kalimat demi kalimat tersebut disusun secara runtut dan logis agar syarat keilmiahan sebuah karya tulis dapat dipertanggungjawabkan di depan khalayak akademik.
Metode ini dugunakan dalam rangka untuk menguraikan secara lengkap, teratur dan teliti terhadap suatu objek penelitian dengan cara penceritaan yang bersifat analisis dan objektif, terhindar dari unsur-unsur pendapat secara pribadi.

2). Metode analisis isi (content analysis)
Menurut Muhajir (dalam Marzuki, 2006: 62), Contens analysis adalah suatu metode yang digunakan untuk membahas suatu permasalahan dengan cara menganalisis data secara sistematis dan objektif
Metode ini penulis gunakan karena hendak mencapai pada suatu pembahasan yang analitis dan sistematis serta objektif. Adapun manfaat penggunaan metode analisis isi bagi karya ilmiyah yang bersifat kwalitatif adalah diketahuinya dengan jelas akan suatu pendapat atau teori yang berbeda dalam permasalahan yang sama, kemudian dari perbedaan tersebut dapat lah penulis cari mana yang lebih valid (mendekati kebenaran), dan mana pendapat yang kurang shahih. Kemudian, pendapat atau teori yang lebih mendekati kebenaran itulah yang mesti penulis sajikan dalam penyusunannya kelak.

Disamping metode ini punya kelebihan yang cukup signifikan dalam penulisan karya ilmiah ini, juga ada beberapa kesulitan dalam mengaksesnya, yaitu 1). Penyusun atau penulis harus banyak membaca karya tulis yang berkenaan dengan tema bahasan; 2). Penyusun harus membuat skala perbandingan terhadap pendapat yang berbeda, kemudian memilihnya mana pendapat yang lebih otentik.
Kesulitan itu dapat penulis atasi dengan adanya referensi yang cukup memadai dalam membuat kajian pustaka ini.
SISTEMATIKA PEMBAHASAN
Kerangka acuan kajian ini mengunakan bentuk studi kualitatif, yaitu mengintegrasikan seluruh komponen bahasan dalam suatu bab per bab yang runtut tanpa diselingi bab metode penelitian, yang biasanya disematkan dalam bab tiga.
Sistematika kajian ini adalah Pendahuluan, yang meliputi: latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan manfaat kajian, alasan memilih judul, penegasan judul, ruang lingkup kajian, metode kajian sistematika pembahasan. Sedangkan bagian isi, meliputi: bab II yang membahas kaitan antara NU dengan lembaga pendidikan Ma’arif; bab III membahas faktor-fakor pendorong dan faktor-faktor penghambat lembaga pendidikan Ma’arif NU; dan pada bab IV penulis membahas tentang kontribusi lembaga pendidikan Ma’arif NU dalam upaya pengembangan lembaga pendidikan Islam. Yang terakhir, yaitu bab V berisi penutup, yang terdiri dari kesimpulan dan saran-saran.

BAB II

NAHDLATUL ULAMA DAN LEMBAGA PENDIDIKAN MA’ARIF
SEKILAS TENTANG NAHDLATUL ULAMA
Pengertian Nahdlatul Ulama
Ada dua pengertian yang ingin penulis kemukakan. Pengertian pertama, adalah menurut bahasa (lughawi). Kata Nahdlatul Ulama berasal dari susunan mudhaf wa mudhaf alaihi, yang diambil dari akar kata nahadla dan ‘alima. Akar kata partama mempunyai arti berdiri, bangkit. Kemudian akar kata tersebut diturunkan menjadi an-nahdlatu sehingga menjadi kebangkitan, pergerakan. Adapun arti kata dasar yang ke dua adalah ilmu, pengetahuan. Kemudian menjadi jamak taktsir sehingga menjadi ulama’ yang berarti orang-orang yang mempunyai ilmu dan berpengetahuan luas (al-Munawir, 1984: 1037, 1468-9).
Adapun pengertian dari istilah yang biasa dipahami, Nahdlatul Ulama adalah sebuah organisasi yang didirikan oleh para ulama untuk membangkitkan kesadaran umat Islam dalam upaya menjaga dan memelihara syaria’ah Islam yang berhaluan paham ahlu sunnah wal jamaah dan menganut salah satu madzhab yang empat di tengah-tengah kehidupan di dalam wadah Negara kesatuan Republik Indonesia (Ensiklopedi Islam III, 2001: 345, Suryanegara, 1996: 28, Thoha, 1994: 24).
Memperhatikan pengertian yang terkandung dalam istilah di atas, sangat logis jika kemudian para ulama itu menamakan organiasasi yang didirikannya dengan nama Nahdlatul Ulama (NU). Nama ini sarat dengan makna filosofis dan sangat mengakar di tengah-tengah masyarat muslim Indonesia tradisionalis dari dulu sampai saat ini. Ada femeo yang berkembang bahwa umat Islam tidak dapat dikatakan beragama yang baik jika mereka tidak dikatakan orang NU, walaupun dalam aplikasi keseharian mereka kadang jauh dari ajaran NU.
Sejarah Berdirinya Nahdlatul Ulama

Embrio NU adalah Taswirul Afkar (TA), yaitu sebuah gerakan diskusi yang didirikan oleh KH. Abdul Wahab Hasbullah (Aula, Nop., 2001: 8). TA merupakan gerakan para pemuda dan lahir dari ide pemuda, yang melatih diri dalam melahirkan pikiran dalam suatu acara diskusi. Apa yang dibicarakannya adalah tentang situasi zaman yang saat itu sedang bergolak dengan gerakan menanamkan kesadaran kebangsaan yang dipelopori oleh Sarikat Islam (SI). Gerakan SI ini semula memperlihatkan kekuatan politiknya di Surabaya di bawah pimpinan HOS Cokroaminoto. Oleh kerana itu tidak mengherankan jika KH. Abdul Wahab Hasbullah mengambil inisiatif mendirikan organisasi TA yang banyak membicarakan masalah tanah air di Surabaya (Suryanegara, 1996: 224).
Bergabungnya KH. Mas Mansur dalam kegiatan TA maka gerakan tersebut tampil dengan nama baru, Nahdlatul Wathon (NW) pada tahun 1916. Walaupun NW dalam setiap acara atau kegiatannya membidangi pendidikan umat Islam, namun dapat dibaca dengan jelas arti nama NW kemana arah tujuannya, yaitu membangkitkan kesadaran nasional melalui pendidikan. Pilihan jalur pendidikan sebagai media rekrumen dan sosialisasi politik adalah sangat tepat, sebab pemerintah kolonial Belanda melalui Politik Etis-nya hanya merestui gerakan yang semata-mata bergerak dalam pendidikan. Akan tetapi, NW tidak berarti sebagai gerakan sosial pendidikan yang pertama dalam masa gerakan nasional (1900-1942). Sebab sebelumnya telah lahir Muhammadiyah (1912), SI (1912), Perserikatan Ulama (1915) dan lain-lain. Jadi munculnya NW sebagai upaya meluaskan gerakan sosial pendidikan umat Islam (Thoha, 1994: 27, Suryanegara, 1996: 225).
Kerja sama antara KH. Abdul Wahab Hasbullah dengan KH. Mas Mansur untuk sementara tidak berlanjut akibat perbedaan pilihan sistem pemecahan masalah nasional yang dihadapi saat itu. KH. Mas Mansur memisahkan diri dan kemudia bergabung dengan Muhammadiyah tahun 1922. Sedangkan KH. Abdul Wahab Hasbullah kemudian membubarkan NW, setelah itu membentuk organisasi kepemudaan yang diberi nama Subbanul Wathon (SW) tahun1922 (Suryanegara, 1996: 225).
Memperhatikan kiprah KH. Abdul Wahab Hasbullah dalam pentas nasional dalam rangka memberikan kesadaran pada masyarakat Muslim akan arti penting kemerdekaan. Silih berganti ia mendirikan organisasi sosial pendidikan dengan tujuan hal tersebut di atas. Tidak diragukan lagi, ternyata KH. Abdul Wahab Hasbullah seorang organisatoris yang handal dan mempuni. Ini terbukti kelihaian beliau dalam merespon setiap detik situasi masa itu. Termasuk nanti bagaimana ia mendirikan NU.

Kemudian, karena nama SW terkesan kurang dekat kepada para ulama yang berakibat pula para ulama tersebut kurang respek terhadap SW, maka untuk menambah agar perjuangan memajukan umat Islam didukung oleh para ulama sangat diperlukan sebuah nama yang populer di mana nanti ia akan dicintai oleh mereka.
Atas usul KH. Alwi Abdul Aziz, SW oleh KH. Abdul Wahab Hasbullah dirubah menjadi Nahdlatul Ulama (NU), setelah disepakati oleh para ulama yang hadir di rumah KH. Abdul Wahab Hasbullah dalam rangka mendirikan organisasi sosial yang berbasis Ahlusunnah Wal Jamaah (Aswaja) (Bruinessen, 1999: 38). Kesepakatan itu berlangsung pada tanggal 16 Rajab 1344 H/31 Januari 1926 M. Pada hari itulah lahirnya organisasi muslim tradisionalis paling besar hingga saat sekarang ini, yang bernama NU (Ricklefs, 1998: 267, Suryanegara, 1996: 227). Organisasi ini kemudian mendapat pengakuan secara de jure dari pemerintah kolonial Belanda, sesuai dengan surat keputasan tanggal 6 Februari 1930. sejak saat itu, NU hadir di tengah umat Islam dalam jangka waktu yang tidak terbatas (Ensiklopedi Islam III, 2001: 353, Feillard, 1999: 12), dengan Rais Akbar (Pemimpin Besar) yang pertama adalah KH. Hashim Asy’ari, ulama paling senior tanah Jawa periode itu, sekaligus murid KH. Khalil Bangkalan yang paling berpengaruh (Ensiklopedi Islam III, 2001: 347).
Perlu juga disebutkan, bahwa dalam pertemuan di rumah kediaman KH. Abdul Wahab Hasbullah di atas para ulama menyepakati tiga butir penting dalam rangka merespon situasi dan kondisi umat Islam secara global, yaitu kondisi umat yang sejak tahun 1924 sudah tidak memiliki payung tunggal yang mau melindungi dari berbagai ancaman yang ditimbulkan oleh kolonialis kapir Eropa, yang berupa kekhilafahan di Turki Utsmani.

Tiga butir kesepakatan itu antara lain:
Meresmikan berdirinya komite hijaz untuk mengirim delegasi ke Saudi Arabia guna bertemu dengan raja Ibn Sa’ud. Adapun yang bertugas sebagai utusan adalah KH. Abdul Wahab Hasbullah dan Syeikh Ahmad Ghanim al-Mishri (Ricklefs, 1998: 269, Feillard, 1999: 11).
Membatasi masa kerja komite hijaz hingga pulang dari menjalankan tugas di Makkah, maka komite hijaz dibubarkan.
membentuk suatu jami’ah atau organisasi sebagai wadah untuk memperstukan para ulama menuju tercapainya ‘izzatul Islam wal Muslimin (Thoha, 1994: 28).
Sebab-sebab para ulama mendirikan NU, atau sebagai latar-belakang NU didirikan ada dua macam, yaitu:
Sebab Umum
Sebab umum, adalah kondisi umat Islam secara general, yaitu meliputi seluruh dunia Islam, di mana umat Islam secara merata dalam kondisi memprihatinkan. Dunia Arab berada dalam cengkraman Prancis dan Inggris. Sementara di Afrika Utara, berada dalam telapak kaki penjajah Prancis, Italia dan Spanyol. Sedangkan Asia Tengah dan Selatan berada dalam genggaman penjajah Inggris, Prancis dan Rusia. Adapun Dunia muslim Melayu, dihancur-leburkan oleh kolonialis Belanda, Inggris, Portugal, Spanyol dan Prancis.
Sebab umum yang paling mendapat respon para ulama seluruh dunia muslim, juga Indonesia, adalah tumbangnya Khilafah Islamiyah Ustmani di Turki oleh kaki tangan ziones dan penjajah Inggris yang bernama Musthafa Kamal Atturk pada bulan Maret tahun 1924 (al-Muhtasib, 1998: 1-30, Suryanegara, 1996: 227).
Sebab Khusus

Sebab Khusus, adalah kondisi umat Islam di Indonesia itu sendiri. Pada era akhir abad ke 19 dan awal abad ke 20, umat Islam Indonesia digempur paham pembaharuan yang dipelopori oleh kaum modernis, di mana paham ini mengusung Wahabisme dari Arab Saudi (Ensiklopedi Islam III, 2001: 352-353, Feillard, 1999: 11, Bruinessen, 1999: 28). Tidak henti-hentinya kaum Modernis mengkritik secara kasar amalan para ulama dan kaum muslim tradisionalis, di mana dalam kaca mata kaum Modernis, amalan-amalan itu semuanya bid’ah tidak bersumber pada al-Qur’an dan hadis Nabi SAW yang saheh. Amalan-amalan yang dikritik itu seperti misalnya tahlilan, baca ushalli pada takbir pertama, haul, rakaat shalat tarawih dan sebagainya.
Sebab khusus yang lainnya adalah memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dari tangan penjajah Belanda (SNI Jilid V, 1993: 177).
Sampai dengan tahun 2004 kemarin, NU telah mengadakan Muktamar sebanyak 31 kali. Saat ini NU dipimpin oleh KH. Sahal Mahfudh sebagai Roisy Aam, dan KH. Hashiem Muzadi sebagai ketua Tanfidziyah (PB, Pengurus Besar).
Penulis memandang ke dua sebab di atas, merupakan alasan utama mengapa organisasi yang bernama NU itu harus segera direalisasikan di tengah umat Islam Indonesia yang sedang mengalami kegoncangan batin akibat dari hilangnya payung kekhilafahan di Turki dan akibat penjajahan Belanda atas diri negara kesatuan Indonesia.
Kiranya memang wajar jika umat Islam bereaksi seperti itu. Itulah kesatuan yang ditanamkan oleh Islam, yaitu kesatuan akidah dan nasib yang sama; sebagai umat yang terdzalimi.
Nahdlatul Ulama Peran dan Fungsinya Terhadap Umat Islam

Sejak semula agama Islam masuk ke Indonesia pada abad ke 7 (al-Islam, edisi 344/XIV, Suryanegara, 1996: 82), telah disambut dengan antusiasme dan penuh persahabatan. Sambutan ini muncul karena Islam disebarkan dengan jalan damai dan kekeluargaan. Islam menyebar dengan massif melalui dua pintu utama, yaitu melalui perdagangan dan perkawinan (Rikclefs, 1998: 3). Dari kedua sumbu inilah Islam tertanam dengan baik di hati masyarakat Indonesia. Disamping juga, kita akan merasa takjub tatkala membaca penyebaran Islam yang dilakukan oleh para Ulama. Mereka tidak pernah berkonfrontasi dengan kepercayaan dan adat yang ada dalam masyarakat Indonesia. Malah para Ulama itu memepergunakan kepercayaan dan adat tersebut sebagai sarana penyebaran Islam ditengah masyarakat Hindu dan Budha. Terbukti wahana ini amat ampuh menarik orang-orang Hindu dan Budha untuk masuk Islam.
Metode dakwah tersebut secara turun temurun tetap dipertahankan. Sampai kemudian ia di adopsi oleh para Ulama yang bergabung dalam NU. NU, sambil tetap memelihara adat yang sudah mengakar dalam masyarakat Indonesia, ia juga menggiring kepercayaan atau adat tersebut pada syari’ah Islam. Berbagai kepercayaan dan adat orang Indonesia dapat NU warnai dengan nuansa keislaman, seperti hari kematian kemudian ada tahlil, tingkepan, wayang, sekatenan dan lain-lain semua ada unsur keislamannya.
Sekurang-kurangnya ada dua hal yang membuat Ulama memperoleh tempat istimewa dalam sanubari muslimin Indonesia, yaitu pertama; Ulama adalah orang yang paling dapat dipertanggung jawabkan secara moral akan ilmu, amal, dan akhlaknya. Sebab Ulama sebagaimana disabdakan oleh Nabi SAW yang artinya Ulama adalah pewaris para Nabi. Kedua, seorang yang selalu mempunyai kewibawaan dan pengaruh di tengah-tengah masyarakatnya (Thoha, 1994: 25).
Memperhatikan pernyataan tersebut maka wajar jika kemudian NU mempunyai tempat istimewa di sanubari Muslim Indonesia (Djumhur dan Danasuparta, 1976: 184). Peran dan fungsi NU di tengah-tengah berbagai macam aliran di Indonesia sangat dirasakan oleh warga NU. Peranan yang paling dominan adalah mensyiarkan Islam pada masyarakat awam, khususnya mereka yang berbasis pedesaan, yang asalnya mereka abangan atau kejawen, suatu istilah yang dipopulerkan Clifford Geertz (Nata, 1998: 347), menjadi masyarakat yang tahu Agama Islam. Kemudian mereka secara konsisten, menjalankan syari’ah Islam. Ini berlangsung sejak berdirinya NU sampai saat ini (Feillard, 1999: 282).

Demikian pula, secara nyata NU dapat dinyatakan sebagai pelindung pahan aswaja di Indonesia (Alaena, 2000: 57-64). Hal ini juga dapat dikatakan NU telah berfungsi sebagaimana mestinya sesuai dengan cita-cita Ulama pendiri. Dan juga dalam masa perjuangan yang dikenal dengan Revolusi Fisik dengan puncak konstelasi pada 10 Nov. 1945 di Surabaya, NU dengan Ansharnya membentuk tentara Hisbullah membela tanah air dari rongrongan penjajah (Bruinessen, 1999: 303-304). Tidak akan dilupakan dalam lembar sejarah betapa gegap gembitanya perjuangan para pemuda setelah mereka mendengar fatwa Hadratusy Syeikh Hashim Asy’ari, sebagai Raisul Akbar NU, bahwa berjuang mengusir tentara sekutu dalam pertempuran 10 Nov. 1945 tersebut adalah wajib ‘ain bagi setiap umat Islam (Fiellard, 1999: 41).
Di era kemerdekaan, khususnya dalam rezim Soekarno, NU membentuk partai politik. Mesin politik NU sangat ampuh dalam mengerim ambisi politik Soekarno yang dikenal dengan Demokrasi Terpimpinya (Fiellard, 1999: 43). Demikian pula dalam zaman orde baru, NU sangat berperan dalam parlemen hingga melahirkan UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, yang sesuai dengan syari’ah Islam (Feillard, 1999: 195). Walaupun kemudian NU dikebiri sedemikian rupa sebagaimana diungkap oleh Robetr W. Hefneer (dalam Feillard, 1999: xviii). Akibat pengkibiran itulah NU secara total melepaskan dirinya dari dunia politik. Di Muktamar 1984 di Situbondo, NU kembali ke khittah 1926, mengkhususkan diri pada masalah diniyah Islamiyah. Konsentrasi pada pembinaan umat menjadi hal utama bagi NU, walapun secara Implisit organusasi ini tetap berpolitik, apalagi tokoh sentralnya, KH. Idham Khalid pernah menjadi ketua DPR/MPR selama beberapa periode.
Bagi penulis, sudah jelas terpampang di depan mata bahwa NU secara nyata dan kasat mata mempunyai peran amat besar dalam membina umat Islam Indonesia. Bisa penulis katakan, fungsi dan peran NU adalah memelihara paham Aswaja dan juga menjaga persatuan dan kesatuan umat Islam serta negara republik Indonesia ini.

Ingat saja dalam lembaran sejarah perebutan Kemerdekaan Indonesia. Orang yang pertama kali mengatakan bahwa perang pada tanggal 10 November 1945 di Surabaya adalah fardhu ‘ain, beliau KH. Hasyim Asy’ari. Orang yang juga membasmi G.30 S/PKI bersama Tentara Nasional Indonesia (TNI) adalah mereka yang bergabung dalam Gerakan Pemuda (GP) Anshor, sebuah organisasi otonom NU yang dikhususkan kepada para pemuda. Pembinaan mental spritual, juga menjadi binaan NU dalam memberdayakan umat Islam Indonesia.
TINJAUAN HISTORIS LEMBAGA PENDIDIKAN MA’ARIF NAHDLATUL ULAMA
Latar Belakang Berdirinya Lembaga Pendidikan Ma’arif Nahdlatul Ulama
Jika NU lahir dari dorongan adanya konstelasi politik saat itu, baik yang bersifat nasional, misalnya penindasan rezim kolonial Belanda, ataupun bersifat internasional, yaitu lenyapnya khalifah Utsmaniyah Turki dan penguasaan kaum Wahabi atas kota Makkah dan Madinah, kemudian paham itu menyebar ke Indonesia. Maka berbeda dengan latar belakang hadirnya LP Ma’arif NU yang murni dilatarbelakangi oleh keadaan pendidikan umat Islam, utamanya keadaan pendidikan umat Islam tradisional yang berbasis pesantren dan tidak terkoordinasi dengan baik.
Suatu hal yang amat mendesak untuk segera direspon setelah adanya NU adalah mendirikan divisi pendidikan yang terorganisir dengan baik tetapi tetap berada dalam naungan NU. Hal seperti itu, di samping menandingi dan menanggapi pendirian lembaga pendidikan yang mengusung paham pembaruan sebagaimana dimotori para kaum Muslim Modernis, yang sudah melenceng dari haluan Aswaja dan tidak lagi berpatokan pada madzhab yang empat. Ditambah lagi, untuk merespon pendirian pendidikan missi zending yang disubsidi oleh kolonial Belanda. Juga hal pendorong utama LP Ma’arif didirikan adalah untuk memberikan pengajaran yang bersifat modern dengan memasukkan ilmu-ilmu keduniaan (fardhu kifayah) kepada generasi muda NU dengan tetap mempertahankan paham Aswaja.
Para tokoh NU memandang bahwa untuk menyeimbangkan pemahaman generasi penerus NU terhadap kehidupan ini sangat dibutuhkan penguasaan akan ilmu-ilmu, yang dikatakan sebagian orang dengan sebutan ilmu sekuler (Feillard, 1999: 276). Jika untuk kemaslahatan umat, mengapa ilmu-ilmu itu harus dijauhi. Tentu, jika ilmu-ilmu itu tidak dipelajari maka umat Islam, khususnya generasi NU, semakain jauh tertinggal. Sementara umat-umat yang lain berada di garis depan menguasai berbagai segi kehidupan (Sardar, 1993: 43). Padahal Allah SWT berfirman:
Atinya: Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan. (al-Qashash: 77) (al-Qur’an dan Terjemahan, Depag, edisi revisi, 2005).

Kemudian dalam firma-Nya lagi:

Artinya: Hai orang-orang beriman apabila kamu dikatakan kepadamu: “Berlapang-lapanglah dalam majlis”, Maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. dan apabila dikatakan: “Berdirilah kamu”, Maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan (al-Mujadalah: 11) (al-Qur’an dan Terjemahan, Depag, edisi revisi, 2005).

Demikian pula hadis Nabi SAW:

اداوسدالامرالى غير اهله فانتظرالساعة [ رواه البخاري]

“apabila suatu urusan diserahkan pada orang yang bukan ahlinya, maka tunggulah kehancurannya” (H.R. Bukhari dari Abu Hurairah) (Junaidi, 2003: 40-41).

Dalam hadis yang lain disebutkan:

طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِ مُسْلِمٍ وَمُسْلِمَةٍ [ رواه ابن حبا]

“ mencari ilmu wajib atas setiap muslim laki-laki dan muslim perempuan” (H.R. Ibnu Hibban dan Ibnu Ali dari anas) (Junaidi, 2003: 40-41).

Inilah sebenarnya latar belakang LP Ma’arif NU didirikan. Jika disederhanakan, latar belakang tersebut menjadi dua kondisi, yaitu:
a. Kondisi Makro
Kondisi ini meliputi:
1). Respon terhadap lembaga pendidikan para Modernis, seperti Muhamadiyah, Persis, al-Irsyad dan lain-lain.
2). Respon terhadap lembaga pendidikan para missionaris Kresten (missi zending), seperti Katolik dan Protestan.
3). Respon terhadap lembaga pendidikan milik pemerintah kolonial Belanda yang sekuler.
b. Kondisi Mikro
Kondisi ini meliputi:
1). Menata lembaga pendidikan milik NU agar terorganisia dan terkoordinasi dengan baik, efektif dan efesien.
2). Mengembangkan ilmu pengetahuan di lingkungan NU secara integral agar selaras dengan perkembangan IPTEK.
3). Mementingkan paham Aswaja pada generasi muda Muslim Indonesia.
Sejarah Perkembangan Lembaga Pendidikan Maa’rif Nahdlatul Ulama

Di Menes, Banten pada tanggal 11-16 Juni 1938, 12 tahun setelah NU didirikan di Surabaya, sedang berlangsunglah perhelatan akbar NU berupa Mu’tamar ke- 13 (Ensiklopedi Islam III, 2001: 354). Hal penting dari mu’tamar itu adalah didirikannya divisi khusus yang mengurusi masalah pendidikan dan diberi nama lembaga pendidikan Ma’arif (LP Ma’arif) NU, dengan ketuanya K.H. Abdul Wahid Hasyim (w 1953) (Thoha, 1994: 29).
Signifikansi LP Ma’arif NU didirikan merupakan cita-cita para Ulama NU yang melihat kondisi umat Islam selama dibawah penjajahan Belanda sangat terpuruk. Utamanya kondisi dalam pendidikan, umat Islam pada masa LP Ma’arif didirikan, atau kebelakang dari masa itu, dalam keadaan amat tertinggal dari lembaga pendidikan yang dikelola oleh Belanda, ataupun yang dikelola oleh organisasi-organisasi keagamaan lainnya.
LP Ma’arif didirikan merupakan wujud amanah dari Anggaran Dasar (AD) NU. Sebagaimana berbunyi:
”Di bidang pendidikan dan pengajaran, mengusahakan terwujudnya penyelenggaraan pendidikan dan pengajaran … untuk membina manusia Muslim yang bertakwa, berbudi luhur, berpengetahuan luas dan terampil, berkepribadian serta berguna bagi Agama, Bangsa dan Negara” (Bruinessen, 1999: 310).
AD di atas diputuskan dalam mu’tamar ke-13, kemudian diperbarui dalam mu’tamar ke-27 tahun 1984 di Situbondo (Ensiklopedi Islam III, 2001: 356).

Dimasukkannya K.H. Abdul Wahid Hasyim sebagai ketua divisi LP Ma’arif NU yang pertama memang sangat tepat. Beliau adalah alumni ponpes Tebuireng yang didirikan oleh ayahnya, Hasyim Asy’ari (w 1947), di mana sejak 1935 ponpes tersebut telah memasukkan ilmu-ilmu umum sebagai kurikulum wajib di pondok tersebut. Ini semakin nyata, sebagaimana penulis gambarkan, bahwa LP Ma’arif hadir ingin memberikan solusi bagaimana umat Islam yang berbasis tradisionalis ini, –karena K.H. Abdul Wahid Hashim telah juga memberikan kebijakan pada LP Ma’rif sebagaimana yang ia tempuh dalam membina ponpes Tebuireng di Jombang sebelum menjadi ketua LP Ma’arif, tujuannya adalah– agar mempunyai bekal dalam mengarungi kehidupan dunia kelak yang ternyata hal itu sangat membutuhkan penguasaan akan ilmu-ilmu keduniaan (Sardar, 1993: 41). Demikian di atas tentu berangkat dari ajaran Islam sebagaimana disabdakan Nabi SAW:
اعمل لدنياك كاءنك تعيش ابدا واعمل لاخرنك كاء نك تمو غدا (راوه ابو داود و ترمدى و احمد و ابن مجاه)
“Bekerjalah untuk kehidupan duniamu seakan-akan kamu hidup abadi, dan bekerjalah untuk akhiratmu seakan-akan kamu akan mati besok” (H.R. Abu Daud, Tirmidhi, Ahmad dan Ibnu Majah).
Juga dalam sabda Nabi SAW yang lain:
انتم اعلم باءمور دنياكم (راه ابو داود)
“Kalian lebih mengetahui urusan-urusan keduniaan kalian” (H.R. Abu Daud) (Junaidi, 2003:41)
Demikian tersebut sangat mempengaruhi petumbuhan LP Ma’arif NU ke depan. Maka sangat masuk akal jika kemudian desain kurikulum LP Ma’arif, disamping memantapkan epistemology paha Aswaja yang tetap dengan ketat berpatokan pada madzhab yang empat, juga kemudian memasukkan ilmu-ilmu, sebagaimana pendapat al-Ghazali yang dikutip oleh Syed al-Atas (dalam Daud, 2003: 282) disebut dengan ilmu fardhu kifayah (Sardar, 1993: 44), tak ayal lagi, NU melalui LP Ma’rif menampung ilmu-ilmu umum itu ke dalam kurikulumnya.

LP Ma’arif mencapai puncak ketenarannya waktu Subcha ZE (w 1972) memimpin (Bruinesssen, 1999: 78). Subchan sebagai pemuda yang mencuat lewat aksi-aksi anti Komunis di era 1960-an, berhasil menjadi tokoh nasional pada usia 32 tahun (Aula. Juni 1991: 59-60). Ia membentuk komando aksi penggayangan Gestapu (KAP-Gestapu) (Bruinessen, 1999: 86). Dalam masanya LP Ma’arif merasa diuntungkan karena posisi Subchan yang dekat dengan berbagai kalangan di puncak pemerintahan waktu itu. Ia dekat dengan kalangan meliter, utamanya petingginya, A.H Nasution. Sikapnya yang luwes, gaya bicaranya yang mempesona dan kuatan argumentasinya yang jitu, Subchan telah membawa LP Ma’arif menjadi lebih dikenal di luar NU. Ia mendekatkan para fungsionaris LP Ma’arif pada realitas dan kondisi sosial yang berkembang saat itu. Rupanya ia berhasil mengatur kurikulum di lingkungan LP Ma’arif lebih integritas, yang lebih sesuai dengan hakikat ilmu dalam Islam (Daud, 2003: 163-188).
Cukup disayangkan, akibat konflik NU dengan rezim Soeharto di era 1970-an, akhirnya kondisi departemen Agama yang sejak masa kemerdekaan dipegang oleh Ulama NU, lepas dari genggamannya, yang pada masa terakhir itu dipimpin oleh K.H. Syaifuddin Zuhri (Bruenessen, 1999:80). Lepasnya departemen ini dari genggaman NU berimplikasi amat besar kepada institusi NU dan juga LP Ma’arif itu sendiri. Maka bulan madu antara NU, sebagai atasan LP Ma’arif, dengan pemerintah cq. Departemen Agama, akhirnya buyar sama sekali. Kebijakan pemerintah yang berpihak pada NU sebelum departemen ini jatuh pada kaum Muslim modernis, akhirnya putus. Nuansa ke-NU-an yang sangat kental pada era Orde Lama (ORLA) yang diterapkan pada madrasah atau sekolah yang dikelola oleh departemen Agama dan madrasah-madrasah swasta, oleh Ahmad Mukti Ali, pengganti K.H. Syaifuddin Zuhri, dihilangkan sama sekali. NU dan LP Ma’arifnya termarginalkan. Lembaga-lembaga pendidikan dibawah NU memperoleh perlakuan diskriminatif. Kesan ini sepertinya terus-menerus berlangsung sepanjang rezim Orde Baru (ORBA) berkuasa (Feillard, 1999:304). Baru kemudian kesan itu hilang setelah reformasi bergulir 21 Mei 1998.
Akibat dari perlakuan diskriminatif ini sekolah-sekolah menyembunyikan keterkaitan mereka dengan NU. Saat itu, tidak lagi terdengar istilah madrasah ibtida’iyah NU (MINU), sekolah dasar NU (SDNU), madrasah tsanawiyah NU (MTSNU), sekolah menengah NU (SMPNU/SMANU). Mereka menggunakan nama-nama yang kurang mencolok, seperti sekolah “Wahid Hasyim”, nama mantan menteri Agama. Dengan alasan yang sama, pada tahun 1972, Universitas NU di Malang diberi nama Universitas Sunan Giri, nama salah seorang walisanga (Feillard, 1999:304).

Pengelolaan yang tidak baik dan pemusatan konsentrasi pada aktifitas politik juga menjadi penyebab lambannya sistem pendidikan NU. LP Ma’arif sebagai divisi pendidikan NU sejak awal tahun 1970-an sudah mengkhawatirkan penyusutan anggotanya. Pada masa itu, 30% sekolah telah menarik diri dari LP Ma’arif.
Pada tahun 1984, dalam upayanya untuk mendapatkan kembali sekolah yang hilang atau bersembunyi dibalik nama pinjaman, LP Ma’arif mengeluarkan peraturan baru yang meminta sekolah-sekolah yang sealiran dengan NU agar dengan jelas menyatakan identitas dan kembali mendaftarkan diri ke LP Ma’arif. Permintaan ini hingga tahun 1987, tidak begitu membuahkan hasil, dan ini membawa akibat yang sangat buruk bagi usaha mendapatkan dana yang diperlukan untuk mengurusi sekolah-sekolah NU. Namun pada tahun 1991, beberapa pengurus pendidikan di daerah melihat madrasah-madrasah mulai mendaftarkan diri ke LP Ma’arif dan nama NU mulai muncul kembali di papan nama yang dipasang di depan sekolah masing-masing (Feillard, 1999:305). Pada era itu pula, sekolah-sekolah di bawah NU kembali dilirik masyarakat muslim dan siswa yang masukpun mengalami kenaikan cukup baik. Demikian pula perguruan tinggi dibawah NU bertambah banyak dibangun. Di Malang ada Universitas Islam Malang (Unisma), di Bandung ada Universitas Islam Bandung (Unisba), di Jember ada Universitas Islam Jember (UIJ), dan di Madura ada Universitas Islam Madura (UIM). Semua ini menandakan perkembangan yang semakin baik dalam LP Ma’arif hingga masa reformasi ini.
Memperhatikan sejarah perkembangan LP Ma’arif NU yang penulis bahas di atas, dari tahun ke tahun NU berusaha semaksimal mungkin untuk mencerdaskan anak bangsa, utamanya anak-anak generasi Islam di Indonesia ini. Berbagai wadah pendidikan dari tingkat dasar sampai pada tingkat tertinggi, telah NU hadirkan di tengah-tengah umat dengan LP Ma’arifnya.
PROGRAM LEMBAGA PENDIDIKAN MA’ARIF NAHDLATUL ULAMA

Sebuah program yang dicanangkan oleh organisasi, apapun bentuk organisasi itu mempunyai tempat yang signifikan. Sebab program, sebagaimana didefinisikan dalam KBBI, adalah rancangan mengenai asas-asas serta usaha-usaha yang akan dijalankan oleh sebuah badan atau organisasi (KBBI, 1999:789).
Sebagai sebuah badan atau organisasi yang baik LP Ma’arif membuat program-program yang biasa digodok dalam lima tahun sekali dalam setiap muktamar yang dilaksanakan oleh organisasi induknya, NU.
Adapun program-program tersebut dapat penulis jabarkan sebagai berikut:
Program Jangka Panjang
Program di atas dievaluasi setiap lima tahun sekali yaitu waktu NU mengadakan Muktamar. Sebab LP Ma’arif bukan organisasi otonom NU yang mempunyai Anggaran Dasar atau Anggaran Ruma Tangga (AD/ART), seperti misalnya Muslimat NU, IPNU, IPPNU, GP Ansor. Maka LP Ma’arif dalam mewujudkan program-programnya tetap berpatokan kepada AD/ART NU dan kebijakan-kebijakan NU lainnya (Ensiklopedi Islam III, 2001: 348-352).
Pola pengembangan NU yang sekaligus diadopsi sebagai program LP Ma’arif jangka panjang adalah: tujan, landasan, dasar pengembangan dan program umum.

a. Tujuan

Makna dan tujuan pendidikan adalah dua unsur yang saling berkaitan. Adanya perbedaan konseptual dan penjelasan kedua unsur ini disebabkan oleh adanya perbedaan dalam memahami substansi, peranan dan tujuan hidup manusia. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika kita menjumpai perbedaan pendapat dikalangan ahli pendidikan, terutama di Barat mengenai tujuan dan kurikulum pendidikan (Daud, 2003:163).
Secara umum, ada dua pandangan teoritis mengenai tujuan pendidikan. Pertama, berorientasi kemasyarakatan, yaitu pandangan yang menganggap pendidikan sebagai sarana utama dalam menciptakan rakyat yang baik. Kedua, berorientasi pada individu, yang lebih terfokus pada kebutuhan, daya tampung dan minat pelajar (Daud, 2003:163). Maka jika penulis memperhatikan eksistensi LP Ma’arif dapat diduga dengan jelas bahwa tujuannya mempunyai kecenderungan kepada poin pertama, yaitu berorientasi kepada masyarakat Muslim Indonesia demi mewujudkan cit-cita NU dalam bidang pendidikan dan pengajaran (Ensiklopedi Islam III, 2001: 346).
b. Landasan
Adapun landasan LP Ma’arif menggunakan landasan NU sebagai lembaga, yaitu berlandaskan pada syari’at Islam yang berhaluan Ahlussunnah waljama’ah (Aswaja), pancasila, Undang-undang dasar 1945 dan peraturan organisasi (Ensiklopedi Islam III, 2001: 346).
c. Dasar Pengembangan

Dasar pengemabangan LP Ma’arif meliputi segi rohani yaitu sikap dan tawadhu’ (rendah hati), tawasut (sederhana, pertengahan), tasamuh (toleransi), tawazun (seimbang), istiqamah (teguh pendirian) dan amar ma’ruf nahi mungkar (melaksanakan yang baik dan mencegah kemungkaran) (Aula,Maret 1996:74). Segi jasmani, yaitu sikap kepeloporan, kebersamaan, penyesuaian diri terhadap tuntutan zaman, kesinambungan dan kemandirian (Ensiklopedi Islam III, 2001: 346).
d. Program Umum
Program jangka panjang LP Ma’arif bersifat umum, meliputi dua macam, yaitu bidang pendidikan/pengajara dan bidang kebudayaan. Dalam bidang pendidikan membantu LP Ma’arif di wilayah atau cabang untuk mendirikan yayasan (Aula, November 2001; 42). Membantu pendanaan dalam rangka membangun gedung dan fasilitas lainnya, memberikan pemikiran kepada lembaga non formal, seperti pondok pesantren agar tanggap pada tuntutan zaman dan untuk memakai kurikulum Aswaja. Dalam kebudayaan, LP Ma’arif mencanangkan program ke wilayah atau cabang agar senantiasa memberikan fasilitas kepada yayasan pendidikan Ma’arif (YPM) setempat yang berupa penyediaan bahan pustaka, pameran-pameran kesenian, kunjungan kerohanian pada makam atau peninggalan para wali (Aula, November 2001: 45) dan mengadakan perlombaan-perlombaan baik pidato bahasa Arab atau bahasa Inggris, diskusi dan lomba-lomba yang lainnya.
Program Jangka Menengah
Program LP Ma’arif dibawah lima tahun disebut program jangka menengah. Program ini dicanangkan dalam jangka waktu 2-3 tahun. Pada program ini LP Ma’arif pusat mengarahkan kebijaksanaannya kepada LP Ma’arif wilayah dimana LP Ma’arif wilayah tetap menyatu kepada NU wilayah setempat. Karena NU wilayah menjadikan musyawarah sepanjang waktu 3 tahun sekali, maka LP Ma’arif wilayah juga menyamakan segala program dengan musyawarah wilayah NU tersebut. Adapun program jangka menengah LP Ma’arif, sebenarnya implementasi dan penjabaran dari program jangka panjang (PJP) yang dicanangkan oleh LP Ma’arif pusat. Akan tetapi program ini disesuaikan dengan kondisi wilayah masing-masing di seluruh Indonesia.
Program Jangka Pendek
Program LP ma’arif di bawah dua tahun disebut program jangka pendek. Durasi program ini antara satu sampai dua tahun. Program ini dilaksanakan pada setiap kegiatan taktis dan membutuhkan langkah dan gerak cepat. Sifat program ini juga mengacu kepada konferensi cabang (MUSCAB) yang dilaksanakan dua tahun sekali (Bruinessen, 1999: 302).
Melihat dari program yang penulis sebutkan di atas, nyata sekali bahwa sebenarnya NU dengan LP Ma’arifnya hendak membikin perencanaan yang memang betul-betul matang dan tidak sekedar asal-asalan. Kesimpulan ini penulis ambil berdasarkan kepada program yang berjenjang, yaitu dimulai pada skop makro, program dalam jangka lima tahun. Kemudian, disusul dengan program menengah dan program jangka pendek.
IMPLEMENTASI PROGRAM LEMBAGA PENDIDIKAN MA’ARIF NAHDLATUL ULAMA.
LP Ma’arif dalam mengiplementasikan programnya, baik yang jangka panjang, menengah atau pun pendek, tidak menyimpang dari Pedoman Pokok NU. Pedoman Pokok ini meliputi:
Nilai Dasar Jamiah (NDJ), meliputi:
Beraqidah dengan berasasaskan kepada paham Aswaja.
Meyakini bahwa Ulama adalah pewaris para Nabi.
Memperjuangkan kejayaan Islam dan kaum Muslimin
Bersyaria’ah dengan mengikuti empat madzhab (Thaha, 1994: 32).
Pola Dasar Perjuangan (PDP), meliputi:
Wawasan keagamaan
Kembali pada khittah 1926
Berkegiatan yang diarahkan kepada masalah ‘ubudiyah (ibadah mahdah), mubarrat (Sosial), dakwah, ma’arif (ilmu pengetahuan) dan muamalah (Alaena, 2000: 156).
Pola Pengembangan NU Jangka Panjang (PPNJP),

Bagian ini telah penulis singgung dengan luas di Program LP Ma’arif. Dalam pasal ini (Implementasi LP Ma’arif NU) penulis akan memfokuskan kepada bagaimana implementasi dari program-program tersebut (Ensiklopedi Islam III, 2001: 346).
Adapun implementasi program LP Ma’arif NU dapat dikelompokkan sebagai berikut:
Implementasi Program Jangka Panjang
Dalam mewujudkan program jangka panjangnya, LP Ma’arif tetap berpatokan kepada instruksi dari Pengurus Besar (PB) NU sebagai pengurus pusat yang berwenang membuat program-program pada lembaga-lembaga di bawah NU. Instruksi ini pasti bersifat mengikat dan tidak boleh tidak harus dijalankan (http://www.pb-nu.com.id.)
Implementasi program jangka panjang ini secara rutin dilaksankan meliputi:
1). Tujuan
Dalam masalah tujuan yang dimaksud adalah mewujudkan cita-cita NU dalam bidang pendidikan dan Pengajaran (Ensiklopedi Islam III, 2001: 346). Tujuan ini diimplementasikan dalam bentuk rumusan kebijakan dari PB NU, dan dalam bentuk yang umum pula, tujuan LP Ma’arif secara umum adalah untuk membina Muslim yang bertakwa, berbudi luhur berpengetahuan luas dan terampil, berkepribadian serta berguna bagi Agama, bangsa, dan Negara (Thoha, 1999: 31-32).
2). Landasan

andasan LP Ma’arif diimplementasikan dalam bentuk rumusan yang dituangkan dalam AD/ART NU Bab II Pasal 3 (Thoha, 1994: 30). Oleh karena itu, program ini sebagaimana dalam pasal tersebut mengharuskan LP Ma’arif menyusunnya dalam kurikulum nasional tahun 1982, LP Ma’arif Pusat Jakarta, SK NO. TP/010/1-A/VIII/1982. Kurikulum ini diberi nama: Pendidikan Ke-NU-an, yang di dalamnya berisi ajaran Aswaja dengan komplit dan komprehensif (Thoha, 1994: ii). Disamping itu pula, landasan LP Ma’arif sebagai konsekuensi dari lembaga yang berada dalam Negara Kesatuan RI, yaitu Pancasila sebagai asas dalam bernegara, UUD 1945 sebagai sumber perundang-undangan atau hukum positif Negara dan peraturan-peraturan organisasi (Ensiklopedi Islam III, 2001: 346).
3). Dasar Pengembangan
Implementasi LP Ma’arif dalam dasar pengembangan yang bersifat jangka panjang ini meliputi dua segi, yaitu:
a). Segi Rohani
Segi ini diimplementasikan dengan dimasukkannya nilai-nilai seperti, sikap dan tawadhu’ (rendah hati), tawasut (sederhana, pertengahan), tasamuh (toleransi), tawazun (seimbang), istiqamah (teguh pendirian) dan amar ma’ruf nahi mungkar (melaksanakan yang baik dan mencegah kemungkaran) (Aula, Maret 1996: 74 ) dalam kurikulum Aswaja.
b). Segi Jasmani
Segi ini diimplementasikan dalam bentuk pelatihan fisik, seperti Pramuka, PMR, Pecinta Alam (PA), Resimen Mahasiswa (MENWA) Pagar Nusa dan bentuk-bentuk kepeloporan lainnya. Oleh LP Ma’arif, segi jasmani ini dimasukkan ke dalam ekstra kurikuler (Ensiklopedi Islam, 2001: 346).
4). Program Umum.
Implementasi Program Dasar Pengembangan LP Ma’arif yang bersifat jangka panjang ada dua macam:

a). Bidang Pendidikan dan Pengajaran
Pengimplementasian dalam bidang pendidikan adalah mengusahakan pembukaan system pendidikan di tempat wilayah dan cabang, sekaligus memberikan naungan hukum berupa yayasan pada satuan pendidikan tersebut, seperti Yayasan Pendidikan Ma’arif (YPM) Taman Sepanjang Sidoarjo yang didirikan 1 Agustus 1979, dapat menaungi satuan pendidikan yang tersebar diberbagai wilayah yang berada dalam jalur departeman Pendidikan Nasional atau pun yang berada dalam naungan departemen Agama (Aula, Nop. 1991: 42-43).
b). Bidang Kebudayaan
LP Ma’arif dalam bidang ini telah merealisasikan program yang bersifat jangka panjang. Implementasinya diserahkan kepada LP Ma’arif cabang. Maka muncullah berbagai moment yang bersifat mengembangkan budaya Islam, seperti di Madura diadakan lomba kesenian Islam Hadrah se-Madura 1996,1997, 1998, 1999, 2000 yang di khususkan pada siswa tingkat SMA/Aliyah dan para santri yang sederajat. Lomba ini telah mengorbitkan nama Khairunnas dan Musthofa. Kedua nama ini kemudian menjadi icon akan kesenian Hadrah hingga ketanah Jawa. Kemudian di Jember, Bondowoso, Situbondo, Lumajang dan Probolinggo terkenal kesenian Hadrah Al-jiduri yang asalnya dari Madura. Sayang, lomba seperti itu sejak tahun 2001 sampai saat ini, tidak muncul lagi, hingga kemudian membuat nama di atas hijrah dari seni hadrah. Khairunnas aktif di Gambus, sedangkan Musthafa menjadi vocal andalan kelompok Musik Al-Balazik dari Jember.
Demikian pula dalam masalah kebudayaan yang lain, LP Ma’arif cabang menginstruksikan pada satuan pendidikan agar membiasakan siswanya berziarah pada makam para wali. Intruksi ini sangat dipatuhi oleh YPM Taman Sepanjang Sidoardjo (Aula, Nopember 2001: 44). Dalam pengembangan kebudayaan juga, LP Ma’arif senantiasa memberi sumbangan baik berupa buku-buku, kitab-kitab ataupun alat perlengkapan sekolah lainnya (Aula, Nopember 2001: 45).
b. Implementasi Program Jangka Menengah
Program jangka menengah diimplementasikan dalam wujud dan durasi 2 sampai 3 tahun. Pola ini mengikuti musyawarah wilayah (MUSWIL) pada setiap wilayah provinsi masing-masing yang dilakukan dalam 3 tahun sekali.
Sebagaimana penulis telah menyinggung dalam pembahasan Program Jangka Pendek (PJP), bahwa program ini merupakan hasil limpahan dari LP Ma’arif pusat kepada LP Ma’arif wilayah. Oleh karena itu wewenang terbesar akan segala kebijakan LP Ma’arif, wilayah yang bersangkutan yang menentukan (http://www.pb-nu.id.com)
LP Ma’arif wilayah mengimplementasikan program ini dalam bentuk:
Pengangkatan dewan guru dan karyawan di lingkungan Yayasan Pendidikan Ma’arif. Pola ini biasanya juga dapat penulis lihat dalam sistem pengangkatan tenaga edukatif di ponpes Annuqayah yang durasinya dua tahun. Jika dalam masa itu yang bersangkutan dinilai mempunyai kinerja baik, maka akan diperpanjang selama beberapa tahun lagi dan seterusnya (Aula, Nop. 2001: 43).
Pergantian kepengurusan dalam tingkat jajaran LP Ma’arif. Hal ini disesuaikan dengan masa jabatan di lingkungan NU wilayah setempat yang masanya hanya tiga tahun. LP Ma’arif dalam masa itu memilih ketua, wakil, sekretaris dan bendahara, juga seksi-seksi sebagai pelaksana lapangan Dewan Pengurus.
c. Implementasi Program Jangka Pendek
Adapun program ini berdurasi sepanjang satu sampai dua tahun kepengurusan di tingkat cabang. Pola ini mengikuti musayawarah cabang NU (MUSCAB) pada tingkat kabupaten seluruh Indonesia, yang dilaksanakan dalam jangka waktu dua tahun. Wewenang dan kebijakan diturunkan lagi yaitu ada di LP Ma’arif tingkat cabang sebagai ujung tombak oprasional kegiatan Ma’arif , pusat dan wilayah adalah sebagai perancang kebijakan. Sedangkan tingkat cabang adalah pelaksanaan di lapangan (http://www.pb-nu.id.com.)
Pengimplementasiannya dalam program jangka pendek antara lain:
Pada kegiatan belajar mengajar (KBM) yaitu:
Evaluasi Tahap Akhir (EBTA/EBTANAS/UN)
b. Pengadaan bimbingan belajar (bimbel)
c. Mendirikan gedung baru di lingkungan YPM setempat dan pemeliharaannya (http://www.pb-nu.id.com.)
Pada kegiatan hari-hari besar Islam yang meliputi:
Mengadakan Kegiatan Hari-Hari Besar Islam (KHI)
mengundang para Da’i NU di acara Maulid, Isra’ mi’raj dan lain-lain
Takbir keliling oleh para siswa dalam satuan Pendidikan Ma’arif (Aula, Nopember, 2001:46).
Jelas sekali bagi penulis bahwa implementasi program LP Ma’arif NU sudah mencapai kepada sasaran yang diinginkan, yaitu telah menyentuh pada penataan organisasi yang baik dan penanaman akan nilai-nilai yang hendak NU wariskan kepada generasi Islam; nilai keislaman yang berhaluan aswaja.
Tetapi juga penulis sadari, bahwa kesemua program itu kadang masih vakum; di lapangan kadang tidak berjalan sebagai mana mestinya, yang menurut penulis, hal seperti itu sudah lumrah terjadi atas organisasi sosial berbasis keislaman.
Dan apabila berjalan sesuai program, masih kurang memuaskan. Terkesan, implementasinya dikerjakan asal jadi. Contohnya, seperti kerja sama antara LP ma’rif dengan Jami’atul Qura’ wal Hufadh, atau kerja sama LP Ma’arif dengan Jami’atul Hadrah, semua kurang terkoordinasi dengan baik.
Disamping itu, LP ma’arif NU Pusat juga terasa kurang maksimal membina LP Ma’arif NU Wilayah atau cabang. Akibatnya, LP Ma’arif antar Cabang berjalan sendiri-sendiri, tidak merata sebagai mana misalnya lembaga pendidikan milik Muhammadiyah, yang telah merata di seantero nusantara. Mungkin ini kelemahan yang seharusnya cepat dapat di atasi.
—-@@—-


Share/Bookmark
Diposting oleh nu ponorogo pada 20:41. dalam kategori . Anda juga dapat mengikuti di RSS 2.0. dan silahkan tinggalkan komentar

baca juga :



0 comments for "Kontribusi LP Ma'arif thp Pengembangan Pendidikan Islam"

Leave a reply