Khutbah Idul Fitri 1435 H: Ciri Ketakwaan Sebagai Refleksi Kemenangan Sejati di Hari yang Fitri

الله أكبر, الله أكبر, الله أكبر, ولله الحمد
dakwatuna.com -
Puji syukur layak terpanjatkan kehadirat Allah SWT yang Maha Agung,
penguasa kerajaan langit dan bumi yang tiada henti mencurahkan
rahmat-Nya untuk kita sekalian. Dia-lah yang telah menganugerahkan fajar
cerah di pagi ini yang memancarkan sinarnya menghampar ke segala
penjuru bumi, sinar yang menghembuskan hawa kebahagiaan hingga
wajah-wajah kita terlihat begitu menawan dengan senyuman kebahagiaan dan
hati-hati kita terasa begitu damai dan tenteram. Inilah dampak
kemenangan yang telah kita raih, kemenangan atas hawa nafsu dan
kemenangan atas iblis yang terkutuk serta bala tentaranya, namun di
antara semua itu hikmah dari kemenangan yang terpenting bagi kita adalah
keberhasilan meraih pakaian taqwa yang menjadikan kita begitu mulia di
sisi Allah SWT.
Idul Fitri, inilah hari besar yang kita rayakan,
inilah hari yang penuh cinta, inilah hari yang telah sanggup menghalangi
manusia dari berbagai perbuatan mudharat. Hari ini, tindak kriminalitas
menurun secara drastis, perbuatan maksiat dan fahisyah turun hingga ke
titik nadir, hampir tak ada penjahat yang ditangkap, pengadilan atas
kejahatan terhenti untuk sejenak. Peperangan, pembantaian, penindasan
juga sirna untuk sebentar. Orientasi keduniaan kita yang cenderung
menghiasi kehidupan kita di ruang-ruang kerja, di kantor, di tempat
hiburan, di pusat-pusat perbelanjaan, di darat dan di lautan juga untuk
sementara waktu kita redam. Kebisingan kota, hilir mudik kendaraan di
jalanan, keriuhan di pasar-pasar dan mall-mall, juga kesibukan di
perkantoran, di pabrik-pabrik untuk sejenak juga lengang berganti dengan
riuh suara takbir, tahmid dan tahlil.
الله أكبر, الله أكبر, الله أكبر, ولله الحمد
Di
hari yang penuh berkah ini, dunia dipenuhi kedamaian dalam indahnya
nuansa silaturahim. Saling berbagi dan saling menyapa menghias di tengah
gema takbir, tahmid dan tahlil yang terus berkumandang. Itulah pekik
kemenangan kita setelah berpuasa sebulan penuh, tidak hanya sekedar
kemenangan fisik belaka dengan sekedar mengalahkan hawa nafsu perut kita
dan hawa nafsu seksual kita, akan tetapi lebih dari itu kita telah
berhasil memenangkan orientasi atau tujuan ukhrawi kita atas syahwat
duniawi kita.
Jamaah ‘Ied rahimakumullah …,
Sebagai
orang beriman tentu kita memahami bahwa segala anugerah dan nikmat
batin yang kita rasakan di hari raya ini tidak terjadi begitu saja.
Allah SWT jualah yang telah menghendaki kemenangan ini, Dia yang telah
menghendaki hadirnya rasa bahagia di hati ini, Dia yang telah
menghendaki kelapangan di dada ini hingga kita menjadi begitu pemurah
dan mudah memaafkan kesalahan orang, Dia pulalah yang menghendaki
hadirnya rasa haru di hati kita tatkala membayangkan wajah-wajah orang
yang kita kasihi tidak lagi bersama kita di hari yang penuh bahagia ini.
Bagi sanak famili yang jauh, Alhamdulillah dengan kecanggihan alat
komunikasi di era modern ini kita dapat berkomunikasi dengan orang-orang
tercinta kita dengan erat walau tangan ini tak sanggup untuk terjabat.
Namun bagi orang-orang terkasih yang telah mendahului kita maka apalah
daya, hanya doa yang dapat kita panjatkan sebagai bentuk salam kerinduan
kita untuk mereka yang dulu pernah kita kecup tangannya yang terbalut
keriput, dan dulu pernah kita peluk erat tubuhnya yang telah tua renta.
Kini kebersamaan itu tiada lagi, sosok orang-orang yang kita kasihi itu
kini terkulai di bawah seonggok tanah berbatu nisan, makamnya yang belum
tentu dapat kita ziarahi setiap saat. Semoga Allah merahmati mereka
yang telah mendahului kita.
الله أكبر, الله أكبر, الله أكبر, ولله الحمد
Jamaah ‘ied rahimakumullaah,
Marilah kita merefleksi dan merenungkan sejenak kemenangan dari hasil perjuangan kita yang dianugerahkan Allah SWT melalui Ramadhan-Nya
yang insya Allah sanggup kita pertahankan dalam keseharian hidup
sebagai ciri ketaqwaan kita. Di antara kemenangan itu adalah:
1. Kemurahan Hati Kita yang Mengalahkan Sifat Kikir dan Tamak
Ketamakan
dan kekikiran adalah adalah sisi buruk dari perilaku manusia yang
mendatangkan mudharat. Inilah sumber malapetaka sosial yang melanda umat
negeri ini. Ketimpangan ekonomi dan kesenjangan sosial yang melanda
negeri ini telah memporak-porandakan pranata sosial di tengah-tengah
masyarakat. Jurang pemisah antara kaya dan miskin, pejabat dan rakyat,
ulama dan umatnya semakin terasa begitu menganga. Di tengah maraknya
kemewahan yang dipertontonkan oleh kalangan elit yang semakin
materialistik di atas negeri yang bertebaran 60 juta orang miskin ini
sangat mungkin menimbulkan ‘kekecewaan sosial’ dan melahirkan ‘kemarahan
massal’ dari mereka secara langsung ataupun tidak menjadi korban
ketamakan dan kebakhilan kalangan elit di negeri ini.
Ramadhan
telah mengantarkan manusia lebih dekat kepada nilai-nilai
kemanusiaannya. Membangun kecintaan kepada sesama manusia, menebarkan
kasih sayang, silaturahim, serta menebar kemurahan hati akan menciptakan
pranata sosial yang bersahaja karena akan terjadi harmoni yang indah
antara semua elemen dalam masyarakat; antara kaya dan miskin,
konglomerat dan kaum melarat, pejabat dan rakyat jelata, pemimpin dan
bawahan, ulama dan umat dan seterusnya. Di bulan Ramadhan kepekaan
sosial kita terasah. Dengan puasa, kita terlatih untuk melakukan pengorbanan dan bermurah hati.
Dr.
Carl, seorang psikoanalis mengatakan, “untuk mencapai peningkatan yang
simultan dan menyeluruh harus diikuti dengan pengorbanan dan ketulusan.
Kemurnian jiwa hanya dapat dicapai dengan mengorbankan materi dan
popularitas. Pengorbanan diri adalah kebiasaan orang-orang yang memahami
keadilan dan kebenaran iman kepada Allah. Orang yang mengorbankan jiwa
mereka untuk keadilan, cinta dan keharmonisan telah mampu mengawinkan
antara akal, cinta serta kasih sayang. Pada keadaan inilah manusia akan
mencapai puncak mega keindahan, cahaya kebenaran dan keadilan.” Mungkin
inilah yang sering kita anggap dengan kepuasan batin yang tak dapat
dinilai dengan harta.
Rasulullah SAW bersabda: “Orang yang murah
hati dan berakhlak baik selalu berada di bawah lindungan Allah. Allah
selalu dekat dengan mereka dan akan membimbing mereka menuju kebahagiaan
. Tidak ada seorang yang adil yang tidak memiliki sifat pemurah dan
kasih sayang”.
Mari kita renungkan sebuah kisah bagaimana ketika
Sayyidina Ali bin Abi Thalib RA telah mengajarkan kemurahan hati pada
keluarganya yang pernah diriwayatkan oleh Ibnu Abbas RA, bahwa pada
suatu ketika kedua putra Ali bin Abi Thalib , Hasan dan Husain sedang
sakit parah, maka Ali dan istrinya Fathimah binti Rasulullah bernazar
apabila kedua putra mereka sembuh maka mereka akan berpuasa 3 hari
sebagai tanda syukur. Atas karunia Allah SWT kedua anak merekapun
sembuh. Keduanya pun mulai berpuasa nazar. Akan tetapi mereka tidak
memiliki sesuatu walau sekedar untuk makan sahur dan berbuka. Mereka
berpuasa dalam keadaan sangat lapar. Pada pagi harinya, Ali pergi kepada
seorang Yahudi bernama Syam’un. Ali kemudian berkata kepadanya: ‘Jika
engkau ingin menyuruh seseorang untuk memintal wol dengan imbalan, maka
istriku bersedia melakukannya’. Orang Yahudi itu menyetujui dengan
kesepakatan satu gulung wol dihargai tiga sha’ gandum. Pada hari
pertama, Fathimah memintal sepertiga bagian wol, kemudian ditukarkan
dengan 1 sha’ gandum, lalu ditumbuk dan dimasaknya menjadi 5 potong roti
kering, yakni untuk Ali, Fathimah, Hasan, Husain, dan seorang hamba
sahaya perempuannya bernama Fidhdhah. Ketika waktu berbuka puasa tiba.
Ali baru saja kembali dari shalat maghrib berjamaah dengan Rasulullah.
Fathimah pun dalam keadaan letih setelah bekerja seharian penuh kemudian
menyiapkan hidangan untuk keluarganya, tikar alas makan telah
dibentangkan, di atasnya telah disiapkan roti dan air. Ali mengambil
roti bagiannya, tiba-tiba terdengar sayup-sayup suara seorang fakir dari
balik pintu rumah sederhana mereka yang mengharap belas kasih agar
diberi makanan, ‘ Wahai keluarga Muhammad, aku seorang fakir, berilah
makanan kepadaku, semoga Allah SWT memberimu makan dari makanan surga’.
Ali kemudian mendatangi pengemis itu dan memberikan roti keringnya.
Seluruh keluarganya juga tak tinggal diam, mereka juga memberikan roti
mereka. Ali memberitahukan bahwa dia telah memberikan rotinya kepada
pengemis itu. Namun mereka menjawabnya, ‘kami juga ingin memperoleh
kehormatan di sisi Allah seperti engkau, biarkanlah kami memberikan
milik kami’. Akhirnya merekapun hanya berbuka dengan segelas air pada
hari itu. Allah menguji mereka dengan keadaan itu selama tiga hari,
dengan berturut-turut didatangi oleh anak yatim dan seorang tawanan dan
merekapun melakukan hal yang sama.
Pada hari ke empat mereka
memang tidak berpuasa, tetapi apalah juga yang mau dimakan. Hari itu tak
ada makanan apapun di rumah mereka. Ali RA kemudian membawa kedua
anaknya Hasan dan Husain sambil berjalan tertatih-tatih karena menahan
lapar mengunjungi Rasulullah SAW sekedar untuk menghibur hati.
Rasulullah SAW kemudian bersabda: ‘Sungguh menyedihkan hatiku melihat
kalian menderita kekurangan dan kesengsaraan. Mari kita temui Fathimah’.
Rasulullah SAW menemui putrinya Fathimah yang dilihatnya sedang
mengerjakan shalat nafil. Mata Fathimah terlihat cekung. Perutnya
tertarik sampai menempel ke punggung karena sangat lapar. Rasulullah SAW
kemudian memeluk putrinya dengan penuh kasih sayang dan mendoakan
rahmat Allah baginya dan keluarganya. Pada saat itulah malaikat Jibril
AS mendatangi Rasulullah SAW untuk menyampaikan kabar dan wahyu.
Kejadian
itu telah menggetarkan ‘Arsy Allah karena para Malaikat bertasbih
memuji perilaku keluarga yang mulia itu. Kisah inilah yang menjadi asbab
nuzulnya Surat al-Insan, di mana pada ayat ke-8 dan 9 Allah SWT
berfirman:
وَيُطْعِمُونَ الطَّعَامَ عَلَى حُبِّهِ
مِسْكِينًا وَيَتِيمًا وَأَسِيرًا . إِنَّمَا نُطْعِمُكُمْ لِوَجْهِ
اللَّهِ لا نُرِيدُ مِنكُمْ جَزَاء وَلا شُكُورً
“Dan mereka
memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan
orang yang ditawan. Sesungguhnya Kami memberi makanan kepadamu hanyalah
untuk mengharapkan keridhaan Allah, Kami tidak menghendaki balasan dari
kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih.” (QS. Al-Insan: 8 – 9)
2. Keikhlasan Kita yang Mengalahkan Sifat Riya
Mukhlisin
adalah golongan orang-orang yang Allah SWT begitu ridha dengan mereka.
Namun seikhlas-ikhlasnya dalam setiap amal tidak boleh sedikitpun merasa
aman dari penyakit riya. Di sinilah peran kesabaran dalam ketaatan
menjalankan perintah Allah SWT. Kesabaran adalah proses puncak menuju
maqam mukhlisin. Puasa mengajarkan kita tentang bagaimana sebuah amal
yang kita kerjakan hanya diketahui oleh Allah SWT. Keadaan kita berpuasa
atau keadaan tidak berpuasa menjadi rahasia antara kita dengan Allah
semata. Inilah hikmah penting ibadah puasa kita. Melalui puasa sebulan
penuh Allah men-tarbiyah kita untuk belajar meluruskan niat beramal agar
tak tersusupi oleh sifat riya, ujub dan sum’ah. Riya menjadi penyebab
rusaknya amal seseorang hingga tidak bernilai sama sekali di sisi Allah
SWT. Bahkan Rasulullah SAW menyampaikan kekhawatirannya di depan para
sahabat utamanya, “Sesungguhnya hal yang paling aku takutkan atas kalian
adalah syirik kecil, maka para sahabat bertanya: ‘apakah syirik kecil
itu wahai Rasulullah?’. Beliaupun bersabda: ‘Syirik kecil itu adalah
riya’. Pada hari kiamat ketika manusia dibalas dengan amal perbuatannya
maka Allah akan berkata kepada orang-orang yang berbuat riya: ‘pergilah
kalian kepada apa-apa yang kalian berbuat riya’, maka lihatlah apakah
kalian mendapat balasan dari mereka”. (HR. Ahmad).
Tak ada
seorangpun yang dapat merasa aman dari perbuatan syirik kecil ini bahkan
para sahabat utama sekalipun seperti Abu Bakar dan Umar bin Khaththab
tidak merasa aman darinya apalagi kita yang banyak disibukkan oleh
perkara-perkara dunia.
Penyakit riya amatlah berbahaya karena ia
menjangkiti seseorang bukan dalam keadaan seseorang bermaksiat tetapi
justru ketika seseorang beramal shalih. Selain itu bila seorang yang
beriman dalam amal shalihnya ternodai oleh sifat riya, berarti terdapat
dalam dirinya satu bagian dari sifat-sifat kaum munafiqun.
Allah SWT berfirman:
إِنَّ
الْمُنَافِقِينَ يُخَادِعُونَ اللَّهَ وَهُوَ خَادِعُهُمْ وَإِذَا قَامُوا
إِلَى الصَّلَاةِ قَامُوا كُسَالَىٰ يُرَاءُونَ النَّاسَ وَلَا
يَذْكُرُونَ اللَّهَ إِلَّا قَلِيلًا
“Dan apabila mereka (kaum
munafiq) berdiri mengerjakan shalat, maka mereka berdiri dalam keadaan
malas dan riya di hadapan manusia dan tidaklah mereka mengingat Allah
kecuali sedikit sekali”. (QS. An-Nisaa’: 142)
Puasa adalah ibadah sirriyyah (tersembunyi)
antara hamba dengan Khaliqnya. Di sinilah kita diajarkan untuk
mengalahkan sifat riya. Berbeda dengan shalat yang dapat terlihat dari
gerakannya, zakat yang nampak dari pemberiannya, dan haji yang nampak
dari manasiknya. Banyak dari kalangan ahli ibadah ketika amal-amal
kebajikannya ditimbang justru sama sekali tidak membuat mizan itu
bergerak. Hal ini dikarenakan amal-amalnya tersebut ternodai oleh sifat
riya.
Perbaikilah selalu niat kita dalam beramal, landasilah
dengan keikhlasan. Bila terbersit riya di dalam hati maka lawanlah dan
jangan menunda amal, karena yakinlah itu adalah godaan syaithan yang
meniupkan was-was di dalam hati kita. Pandanglah kecil amal kita dan
jangan terjerumus pada kebanggaan terhadap amal.
Firman Allah SWT:
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ
“Padahal
mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan
mengikhlaskan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus…” (QS. Al-Bayyinah: 5)
3. Pengendalian Diri Kita yang Mengalahkan Sifat Menuruti Hawa Nafsu
Bulan
Ramadhan yang telah berlalu telah memberikan latihan berharga terhadap
seluruh unsur dalam diri kita. Unsur fikrah, jasad, ruh, hati dan harta
kita telah kita arahkan menuju kemaslahatan bagi diri kita dan orang
lain. Ramadhan telah memberikan banyak ajaran berupa batasan dan
rambu-rambu bagi orang yang menjalankan ibadah puasa. Di sinilah peran
kesabaran kita dalam menahan diri dari perbuatan melanggar larangan
Allah. Bagi orang yang berpuasa maka tantangan terberat yang dihadapi
adalah dorongan untuk memenuhi keinginan hawa nafsunya. Namun, karena
ketabahan dan kesungguhan kita dalam menjalankan ibadah shaum maka kita
dapat mengendalikan keinginan-keinginan hawa nafsu itu. Kegigihan kita
dalam menahan pandangan dari perkara-perkara yang diharamkan, keseriusan
kita dalam menjaga lisan dari perkataan-perkataan buruk, kehati-hatian
kita dalam menghindarkan perut kita dari masuknya makanan-makanan
syubhat dan haram, kesungguhan kita membersihkan pikiran dan hati dari
prasangka buruk, sifat iri, dengki, dendam, amarah dan kesombongan,
ketaatan dalam menjaga kemaluan kita dari hal-hal yang diharamkan, tidak
mengumpulkan dan membelanjakan harta pada perkara-perkara yang dilarang
oleh agama, mengendalikan tangan dan kaki kita agar tidak menyentuh
atau melangkah ke tempat-tempat yang mengandung maksiat, serta menutup
pendengaran kita dari ghibah dan perkataan-perkataan jelek dan
mengandung cela. Maka ketika semua itu dapat kita kendalikan, barulah
kita bisa merasakan manisnya iman. Inilah yang menjadi sebab datangnya
hidayah dan taufik Allah SWT kepada kita. Amalan ibadah puasa kita telah
membuat hawa nafsu kita lebih stabil dan terkendali. Kita berharap
semoga semua anggota tubuh yang telah kita kendalikan itu akan menjadi
saksi yang akan membela kita di hadapan pengadilan Qadhi Rabbul Jalil.
Ingatlah firman Allah SWT:
يَوْمَ تَشْهَدُ عَلَيْهِمْ أَلْسِنَتُهُمْ وَأَيْدِيهِمْ وَأَرْجُلُهُمْ بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
Artinya: “Pada hari (ketika), lidah, tangan dan kaki mereka menjadi saksi atas mereka terhadap apa yang dahulu mereka kerjakan.” QS. An Nur: 24.
وَمَا
كُنْتُمْ تَسْتَتِرُونَ أَنْ يَشْهَدَ عَلَيْكُمْ سَمْعُكُمْ وَلَا
أَبْصَارُكُمْ وَلَا جُلُودُكُمْ وَلَٰكِنْ ظَنَنْتُمْ أَنَّ اللَّهَ لَا
يَعْلَمُ كَثِيرًا مِمَّا تَعْمَلُونَ
“Kamu sekali-sekali tidak
dapat bersembunyi dari kesaksian pendengaran, penglihatan dan kulitmu
kepadamu bahkan kamu mengira bahwa Allah tidak mengetahui kebanyakan
dari apa yang kamu kerjakan”. (QS. Fushshilat Ayat: 22)
Inilah
tiga hal di antara sekian banyak kemenangan yang telah kita capai di
bulan Ramadhan dengan sebuah harapan semoga Allah memberi kemudahan
untuk kita mempertahankannya di hari-hari selanjutnya. Tiga kemenangan
yang akan senantiasa menyuplai energi amal bagi hadirnya cinta dan
harmoni antara miskin dan kaya, atasan dan bawahan, orang tua dan anak,
suami dan istri dan di antara seluruh komponen bangsa dan umat ini. Kini
kita telah kembali fithrah, jangan nodai ke-fithrah-an ini hingga
membuat kemenangan idul fithri ini menjadi sia-sia. Kita senantiasa
berlindung kepada Allah dan memohon ampun kepadanya atas segala dosa dan
kekhilafan yang kita lakukan.
Demikianlah khutbah ini jamaah
sekalian, semoga ini menjadi bahan renungan bagi kita semuanya dan
menjadikan kita semakin yakin dan percaya diri untuk menjadi manusia
paripurna atau insan kamil dengan kemenangan ini.
Ja’alanallaahu wa iyyaakum minal ‘aa’idiina wal faa’iziin. Taqabbalallahu minna wa minkum. Wassalaamu ‘alaikum wr. Wb.