Kebutuhan Manusia akan Agama
Di dalam ayat tersebut dijelaskan bahwa
pada mulanya manusia tidak memiliki pengetahuan atau tidak mengetahui
sesuatu pun yang ada di sekelilingnya. Namun demikian, Allah menjadikan
baginya pendengaran, penglihatan-penglihatan dan aneka hati sebagai
bekal dan alat-alat potensial untuk meraih pengetahuan agar ia
bersyukur, yakni dengan menggunakan dan memberdayakan alat-alat tersebut
sesuai dengan tujuan Allah menganugerahkannya kepada manusia.
Alat-alat potensial yang diberikan oleh
Allah kepada manusia meliputi as-sam’ (pendengaran), al-abshar
(penglihatan-penglihatan) sebagai bentuk jamak dari kata al-bashar, dan
al-af’idah (aneka hati) sebagai bentuk jamak dari kata al-fu’ad.
Penyebutan indera-indera secara berurutan pada ayat di atas mencerminkan
tahap perkembangan fungsi indera-indera tersebut. Didahulukannya kata
as-sam’ atas al-abshar, merupakan perurutan yang sungguh tepat, karena
menurut ilmu kedokteran modern membuktikan bahwa indera pendengaran
berfungsi mendahului indera penglihatan. Indera pendengaran mulai tumbuh
pada diri anak bayi pada pekan-pekan pertama, sedangkan indera
penglihatan baru bermula pada bulan ketiga dan menjadi sempurna
menginjak bulan keenam. Adapun al-af’idah atau kemampuan akal dan mata
hati yang berfungsi membedakan yang benar dan salah atau yang baik dan
buruk, maka alat ini berfungsi jauh sesudah kedua indera (pendengaran
dan penglihatan) tersebut.
Di dalam ayat di atas disebutkan kata
al-sam’ (pendengaran) dalam bentuk mufrad (tunggal), sedangkan kata
al-abshar (penglihatan-penglihatan) dan al-af’idah (aneka hati) dalam
bentuk jamak. Hal ini mengandung makna bahwa apa yang didengar selalu
saja sama baik oleh seorang maupun banyak orang dan dari arah mana pun
datangnya suara. Ini berbeda dengan apa yang dilihat. Posisi tempat
berpijak dan arah pandang seseorang bisa melahirkan perbedaan hasil
pandangan. Demikian pula hasil kerja akal dan hati. Hati manusia sekali
senang sekali susah, sekali benci dan sekali rindu, tingkat-tingkatnya
pun berbeda-beda walaupun obyek yang dibenci dan dirindui sama. Hasil
penalaran akal pun dapat berbeda, boleh jadi ada yang sangat jitu dan
tepat, dan ada pula yang merupakan kesalahan fatal. Kepala sama
berambut, tetapi pikiran bisa berbeda-beda.
Alat-alat potensial yang diberikan oleh
Allah kepada manusia tersebut ada yang hanya bisa menangkap obyek-obyek
yang bersifat material, seperti pendengaran (as-sam’) dan penglihatan
(al-bashar), dan ada pula yang bisa menangkap obyek-obyek immaterial,
yaitu al-af’idah (akal pikiran dan hati atau qalbu). Dalam pandangan
al-Qur’an ada obyek-obyek yang tidak bisa ditangkap oleh indera
pendengaran dan penglihatan, bahkan oleh akal pikiran betapapun tajamnya
mata kepala dan pikiran seseorang. Misalnya masalah hakikat Allah,
surga, neraka, malaikat, shalat subuh harus dua raka’at sedangkan shalat
dhuhur empat rakaat, segala tindakan manusia yang tampak dan
tersembunyi akan dilihat oleh Allah dan dicatat oleh malaikat Raqib dan
Atid, masalah nasib manusia dan lain-lainnya, adalah contoh-contoh
obyek yang tidak bisa ditangkap dengan akal pikiran. Yang dapat
menangkapnya hanyalah hati melalui wahyu, ilham atau intuisi. Karena
itu, al-Qur’an di samping menuntun dan mengarahkan pendengaran dan
penglihatan, juga memerintahkan agar mengasah akal (daya pikir) dan
mengasuh daya qalbu.
Demikian uniknya alat-alat potensial
dengan berbagai daya dan kemampuannya yang dimiliki oleh manusia itu dan
merupakan nikmat Allah yang patut disyukuri. Karena itu dalam ayat
tersebut di atas diakhiri dengan kalimat la’allakum tasykurun (supaya
kamu bersyukur). Menurut Muhammad Abduh, bahwa yang dinamakan syukur
itu tiada lain kecuali menggunakan nikmat anugerah sesuai dengan
fungsinya, dan sesuai dengan kehendak yang menganugerahkannya (yaitu
Allah SWT.). Memfungsikan dan memberdayakan as-sam’, al-abshar dan
al-af’idah secara optimal dalam kehidupan sehari-hari merupakan
perwujudan dari syukur kepada-Nya.
Dilihat dari proses kejadiannya, manusia
itu terdiri atas dua substansi, yaitu: (1) substansi jasad/materi, yang
bahan dasarnya adalah dari materi yang merupakan bagian dari alam
semesta ciptaan Allah SWT. dan dalam pertumbuhan dan perkembangannya
tunduk pada dan mengikuti sunnatullah (aturan, ketentuan, hukum Allah
yang berlaku di alam semesta); (2) substansi immateri/non jasadi, yaitu
penghembusan/peniupan ruh (ciptaanNya) ke dalam diri manusia, sehingga
manusia merupakan benda organik yang mempunyai hakekat kemanusiaan serta
mempunyai berbagai alat potensial dan fitrah. Atau menurut al-Farabi,
manusia itu terdiri atas dua unsur, yaitu: (1) satu unsur berasal dari
’alam al-khalq; dan (2) satu unsur berasal dari ’alam al-amr (ruh dari
perintah Tuhan).
Dari kedua substansi tersebut, maka yang paling esensial adalah substansi immateri atau ruhnya. Jasad hanyalah alat ruh di alam nyata. Suatu ketika alat (jasad) itu terpisah dari ruh. Perpisahan itulah yang disebut dengan peristiwa maut. Yang mati adalah jasad, sedangkan ruh akan melanjutkan eksistensinya di alam barzah. Manusia yang terdiri atas dua substansi itu, telah dilengkapi dengan alat-alat potensial dan potensi-potensi dasar atau disebut fitrah, yang harus diaktualkan dan atau ditumbuhkembangkan dalam kehidupan nyata di dunia ini melalui proses pendidikan, untuk selanjutnya dipertanggung-jawabkan di hadapanNya kelak di akhirat.
Dari kedua substansi tersebut, maka yang paling esensial adalah substansi immateri atau ruhnya. Jasad hanyalah alat ruh di alam nyata. Suatu ketika alat (jasad) itu terpisah dari ruh. Perpisahan itulah yang disebut dengan peristiwa maut. Yang mati adalah jasad, sedangkan ruh akan melanjutkan eksistensinya di alam barzah. Manusia yang terdiri atas dua substansi itu, telah dilengkapi dengan alat-alat potensial dan potensi-potensi dasar atau disebut fitrah, yang harus diaktualkan dan atau ditumbuhkembangkan dalam kehidupan nyata di dunia ini melalui proses pendidikan, untuk selanjutnya dipertanggung-jawabkan di hadapanNya kelak di akhirat.
Menurut Abdul Fattah Jalal (1977), bahwa
alat-alat potensial manusia yang siap digunakan untuk memperoleh dan
mencapai pengetahuan adalah sebagai berikut: (1) Al-lams dan al-syum
(alat peraba dan alat penciuman/ pembau), sebagaimana firman Allah dalam
Q.S. al-An’am ayat 7 dan Q.S. Yusuf ayat 94; (2) Al-Sam’u (alat
pendengaran). Penyebutan alat ini dihubungkan dengan penglihatan dan
qalbu, yang menunjukkan adanya saling melengkapi antara berbagai alat
itu untuk mencapai ilmu pengetahuan. Sebagaimana firman Allah dalam Q.S.
al-Isra’ ayat 36, al-Mukminun ayat 78, al-Sajdah ayat 9, al-Mulk ayat
23, dan sebagainya; (3) Al-abshar (penglihatan). Banyak ayat al-Qur’an
yang menyeru manusia untuk melihat dan merenungkan apa yang dilihatnya,
sehingga dapat mencapai hakekatnya. Sebagaimana firman Allah dalam Q.S.
al-A’raf ayat 185, Yunus ayat 101, al-Sajdah ayat 27, dan sebagainya;
(4) Al-’aql (akal atau daya berfikir). Al-Qur’an memberikan perhatian
khusus terhadap penggunaan akal dalam berfikir, sebagaimana firman Allah
dalam Q.S. Ali Imran ayat 191. Al-Qur’an menjelaskan bahwa Islam tegak
di atas pemikiran, sebagaimana firmanNya dalam Q.S. al-An’am ayat 50.
Dalam al-Qur^an dinyatakan bahwa penggunaan akal memungkinkan diri
manusia untuk terus ingat (dzikr) dan memikirkan/merenungkan
ciptaanNya, sebagaimana firmanNya dalam Q.S. al-Ra’d ayat 19. Dan
penggunaan akal memungkinkan manusia mengetahui tanda-tanda
(kebesaran/keagungan) Allah serta mengambil pelajaran daripadanya. Dalam
beberapa ayat, kata al-nuha digunakan sebagai makna al-’uqul
sebagaimana firmanNya dalam Q.S. Thaha ayat 53-54, dan sebagainya; (5)
Al-Qalb (kalbu). Hal ini termasuk alat ma’rifah yang digunakan manusia
untuk dapat mencapai ilmu, sebagaimana firmanNya dalam Q.S. al-Hajj
ayat 46, Q.S. Muhammad ayat 24 dan sebagainya. Qalbu ini mempunyai
kedudukan khusus dalam ma’rifah ilahiyah, dengan qalbu manusia dapat
meraih berbagai ilmu serta ma’rifah yang diserap dari sumber Ilahi. Dan
wahyu itu sendiri diturunkan ke dalam qalbu Nabi Muhammad SAW.
sebagaimana firmanNya dalam Q.S. al-Syu’ara’ ayat 192-194.
Di samping itu Al-Maraghi dalam tafsirnya menjelaskan bahwa manusia itu telah diberi hidayah oleh Allah secara bertingkat-tingkat. Pengertian hidayah di sini, sebagaimana dikemukakan oleh Muhammad Rasyid Ridla, ialah petunjuk halus yang memudahkan seseorang untuk mencapai sesuatu yang dicari atau mencapai tujuan. Macam-macam hidayah yang dianugerahkan oleh Allah kepada manusia ialah: (1) hidayah al-ilhami (instink), yakni renyut hati (gerak hati, impuls) yang terdapat dalam bakat manusia maupun binatang. Termasuk di dalamnya nafsu, dorongan untuk melakukan sesuatu, dorongan tersebut tidak berdasarkan suatu pikiran. Atau dengan kata lain dorongan yang bersifat animal, tidak berdasarkan pikir panjang; (2) hidayah al-hawasi (indera), yaitu alat badani yang peka terhadap rangsangan dari luar, yang meliputi : al-bashirah (indera penglihatan), al-sami’ah (indera pendengaran), hassah al-tha’m (indera pengecap), hassah al-syum (indera pembau/penciuman), dan hassah al-lams (indera perabaan); (3) hidayah al-’aql (hidayah akal budi); (4) hidayah al-adyani atau hidayah agama; dan (5) hidayah al-taufiqi atau hidayah al-ma’unah.
Di samping itu Al-Maraghi dalam tafsirnya menjelaskan bahwa manusia itu telah diberi hidayah oleh Allah secara bertingkat-tingkat. Pengertian hidayah di sini, sebagaimana dikemukakan oleh Muhammad Rasyid Ridla, ialah petunjuk halus yang memudahkan seseorang untuk mencapai sesuatu yang dicari atau mencapai tujuan. Macam-macam hidayah yang dianugerahkan oleh Allah kepada manusia ialah: (1) hidayah al-ilhami (instink), yakni renyut hati (gerak hati, impuls) yang terdapat dalam bakat manusia maupun binatang. Termasuk di dalamnya nafsu, dorongan untuk melakukan sesuatu, dorongan tersebut tidak berdasarkan suatu pikiran. Atau dengan kata lain dorongan yang bersifat animal, tidak berdasarkan pikir panjang; (2) hidayah al-hawasi (indera), yaitu alat badani yang peka terhadap rangsangan dari luar, yang meliputi : al-bashirah (indera penglihatan), al-sami’ah (indera pendengaran), hassah al-tha’m (indera pengecap), hassah al-syum (indera pembau/penciuman), dan hassah al-lams (indera perabaan); (3) hidayah al-’aql (hidayah akal budi); (4) hidayah al-adyani atau hidayah agama; dan (5) hidayah al-taufiqi atau hidayah al-ma’unah.
Hidayah yang pertama dan kedua
dianugerahkan baik kepada manusia maupun hewan; hidayah yang ketiga
sampai dengan yang kelima hanya diberikan kepada manusia. Dan hidayah
yang kelima tersebut (yang tertinggi) semata-mata monopoli Allah, Nabi
sekalipun tidak berkompeten untuk memberi hidayah tingkat tertinggi itu.
Sebagai contoh, Nabi SAW. tidak mampu memberi hidayah tingkat kelima
itu kepada paman beliau, Abu Thalib, yang mencintai beliau dan sangat
beliau cintai. Sebagaimana firmanNya dalam Q.S. al-Qashash ayat 56, yang
maksudnya bahwa “Engkau (Muhammad) tidak akan bisa memberi hidayah
(al-taufiqi/al-ma^unah) ini kepada siapapun yang engkau cintai. Allahlah
yang berkenan menganugerahkan hidayah tersebut kepada siapa saja yang
dikehendakiNya”.
Dalam diskursus (perbincangan) para
filosof Islam, manusia itu mempunyai bermacam-macam alat potensial
dengan berbagai kemampuannya yang sangat unik. Menurut mereka bahwa
dalam diri manusia itu terdapat tiga macam jiwa sebagai berikut :
Pertama, jiwa tumbuh-tumbuhan (al-nafs al-nabatiyah), yang mempunyai tiga daya, yaitu: daya makan, daya tumbuh, dan daya membiak. Kedua, jiwa binatang (al-nafs al-hayawaniyah), yang memiliki dua daya, yaitu : daya penggerak (al-muharrikah), dan daya mencerap (al-mudrikah). Daya penggerak bisa berbentuk nafsu (al-syahwah) serta amarah (al-ghadlab), dan bisa berbentuk gerak tempat (al-harakah al-makaniyah). Daya mencerap terbagi dua, yaitu : daya mencerap dari luar melalui pancaindera lahir (penglihatan. pendengaran, penciuman, perasaan lidah, dan perasaan tubuh); dan daya mencerap dari dalam melalui pancaindera batin, yang meliputi: (1) indera bersama (al-hiss al-musytarak) bertempat di bagian depan dari otak dan berfungsi menerima kesan-kesan yang diperoleh dari pancaindera luar dan meneruskannya ke indera batin berikutnya; (2) indera penggambar (al-khayal), juga bertempat di bagian depan dari otak, tugasnya ialah melepaskan kesan-kesan yang diteruskan indera bersama dari materinya; (3) indera pengreka (al-mutakhayyalah), yang bertempat di bagian tengah dari otak, mengatur gambar-gambar yang telah dilepaskan dari materi itu dengan memisah-misah dan kemudian memperhubungkannya satu dengan yang lain; (4) indera penganggap (al-wahmiyah), juga bertempat di bagian tengah dari otak, mempunyai fungsi menangkap arti-arti yang dikandung gambaran-gambaran itu; (5) indera pengingat (al-hafidhah), yang bertempat di bagian belakang dari otak, menyimpan arti-arti yang ditangkap indera penganggap.
Pertama, jiwa tumbuh-tumbuhan (al-nafs al-nabatiyah), yang mempunyai tiga daya, yaitu: daya makan, daya tumbuh, dan daya membiak. Kedua, jiwa binatang (al-nafs al-hayawaniyah), yang memiliki dua daya, yaitu : daya penggerak (al-muharrikah), dan daya mencerap (al-mudrikah). Daya penggerak bisa berbentuk nafsu (al-syahwah) serta amarah (al-ghadlab), dan bisa berbentuk gerak tempat (al-harakah al-makaniyah). Daya mencerap terbagi dua, yaitu : daya mencerap dari luar melalui pancaindera lahir (penglihatan. pendengaran, penciuman, perasaan lidah, dan perasaan tubuh); dan daya mencerap dari dalam melalui pancaindera batin, yang meliputi: (1) indera bersama (al-hiss al-musytarak) bertempat di bagian depan dari otak dan berfungsi menerima kesan-kesan yang diperoleh dari pancaindera luar dan meneruskannya ke indera batin berikutnya; (2) indera penggambar (al-khayal), juga bertempat di bagian depan dari otak, tugasnya ialah melepaskan kesan-kesan yang diteruskan indera bersama dari materinya; (3) indera pengreka (al-mutakhayyalah), yang bertempat di bagian tengah dari otak, mengatur gambar-gambar yang telah dilepaskan dari materi itu dengan memisah-misah dan kemudian memperhubungkannya satu dengan yang lain; (4) indera penganggap (al-wahmiyah), juga bertempat di bagian tengah dari otak, mempunyai fungsi menangkap arti-arti yang dikandung gambaran-gambaran itu; (5) indera pengingat (al-hafidhah), yang bertempat di bagian belakang dari otak, menyimpan arti-arti yang ditangkap indera penganggap.
Ketiga, jiwa manusia (al-nafs
al-insaniyah) yang hanya mempunyai daya berfikir yang disebut akal. Akal
ini terbagi dua, yaitu: akal praktis yang menerima arti-arti yang
berasal dari materi melalui indera pengingat yang ada pada jiwa
binatang; dan akal teoretis yang menangkap arti-arti murni, arti-arti
yang tak pernah ada dalam materi, seperti Tuhan, roh dan malaikat.
Dengan demikian, akal praktis memusatkan perhatian kepada alam materi,
menangkap kekhususan (particulars), sedangkan akal teoretis bersifat
metafisis, yang mencurahkan perhatian kepada dunia immateri dan
menangkap keumuman (universals). Selanjutnya akal teoretis mempunyai
empat derajat, yaitu: (1) akal materiil (al-’aql al-hayulani) yang
merupakan potensi belaka, dalam arti akal yang kesanggupannya untuk
menangkap arti-arti murni, arti-arti yang tak pernah berada dalam
materi, belum keluar; (2) akal bakat (al-’aql bi al-malakah), yakni akal
yang kesanggupannya berfikir secara murni abstrak telah mulai
kelihatan, ia telah dapat menangkap pengertian dan kaidah umum, seperti
seluruh lebih besar dari bagian; (3) akal aktual (al-’aql bi al-fi’l),
yakni akal yang telah lebih mudah dan telah lebih banyak dapat menangkap
pengertian dan kaidah umum dimaksud, dan akal aktual ini merupakan
gudang bagi arti-arti abstrak itu, yang dapat dikeluarkan setiap kali
dikehendaki; dan (4) akal perolehan (al-’aql al-mustafad), yakni akal
yang di dalamnya arti-arti abstrak tersebut selamanya sedia untuk
dikeluarkan dengan mudah sekali. Akal dalam derajat keempat inilah yang
tertinggi dan terkuat dayanya, yang dimiliki filosof, dan yang dapat
memahami alam murni abstrak (yang tak pernah berada dalam materi).
Di samping itu, manusia juga mempunyai
potensi-potensi dasar yang disebut dengan ”fitrah”. Dari segi bahasa
(sebagaimana dijelaskan dalam Kamus Al-Munjid), fitrah berarti:
“ciptaan, sifat tertentu yang mana setiap yang maujud disifati dengannya
pada awal masa penciptaannya, sifat pembawaan manusia (yang ada sejak
lahir), agama, as-sunnah”. Al-Asfahani, ketika menjelaskan makna fitrah
dari segi bahasa, ia mengungkapkan kalimat “fathara Allah al-khalq”,
yang maksudnya Allah mewujudkan sesuatu dan menciptakannya
bentuk/keadaan kemampuan untuk melakukan perbuatan-perbuatan. Sedangkan
maksud fitrah Allah, sebagaimana dalam Q.S. al-Rum ayat 30, adalah
suatu kekuatan/daya untuk mengenal/mengakui Allah (keimanan kepadaNya)
yang menetap/menancap di dalam diri manusia. Dengan demikian, makna
fitrah adalah suatu kekuatan atau kemampuan (potensi terpendam) yang
menetap/menancap pada diri manusia sejak awal kejadiannya, untuk
komitmen terhadap nilai-nilai keimanan kepadaNya, cenderung kepada
kebenaran (hanif), dan potensi itu merupakan ciptaan Allah.
Menurut Langgulung, bahwa ketika Allah menghembuskan/meniupkan ruh pada diri manusia (pada proses kejadian manusia secara non fisik/immateri), maka pada saat itu pula manusia (dalam bentuknya yang sempurna) mempunyai sebagian sifat-sifat ketuhanan sebagaimana yang tertuang dalam al-Asma’ al-Husna, hanya saja kalau Allah serba Maha, sedangkan manusia hanya diberi sebagiannya. Sebagian sifat-sifat ketuhanan yang menancap pada diri manusia dan dibawanya sejak lahir itulah yang disebut fitrah. Misalnya: al-’Aliim (Maha Mengetahui), manusia juga diberi kemampuan/potensi untuk mengetahui sesuatu; al-Rahman (Maha Pengasih) dan al-Rahiim (Maha Penyayang), manusia juga diberi kemampuan untuk mengasihi dan menyayangi orang lain; al-’Afuw al-Ghafur (Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun), manusia juga diberi kemampuan untuk memaafkan dan mengampuni kesalahan orang lain; al-Khaliq (Maha Pencipta), manusia juga diberi kemampuan untuk mengkreasi sesuatu, membudayakan alam; al-Lathif al-Khabir (Maha Lembut lagi Maha Mengetahui segala sesuatu yang nampak maupun tersembunyi), manusia juga diberi kemampuan/ potensi untuk merahasiakan sesuatu atau dirinya dan kemampuan mengetahui fenomena sosial atau rahasia alam; al-Qadir (Maha Kuasa), manusia juga diberi kemampuan untuk berkuasa; al-’Adil (Maha Adil), manusia juga diberi kemampuan untuk berlaku adil; al-Murid (Maha Berkehendak), manusia juga diberi potensi untuk berkehendak, mempunyai motivasi untuk berbuat; al-Hadi (Maha Pemberi Petunjuk), manusia juga diberi kemampuan untuk mendidik atau memberi pengajaran; demikian seterusnya.
Menurut Langgulung, bahwa ketika Allah menghembuskan/meniupkan ruh pada diri manusia (pada proses kejadian manusia secara non fisik/immateri), maka pada saat itu pula manusia (dalam bentuknya yang sempurna) mempunyai sebagian sifat-sifat ketuhanan sebagaimana yang tertuang dalam al-Asma’ al-Husna, hanya saja kalau Allah serba Maha, sedangkan manusia hanya diberi sebagiannya. Sebagian sifat-sifat ketuhanan yang menancap pada diri manusia dan dibawanya sejak lahir itulah yang disebut fitrah. Misalnya: al-’Aliim (Maha Mengetahui), manusia juga diberi kemampuan/potensi untuk mengetahui sesuatu; al-Rahman (Maha Pengasih) dan al-Rahiim (Maha Penyayang), manusia juga diberi kemampuan untuk mengasihi dan menyayangi orang lain; al-’Afuw al-Ghafur (Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun), manusia juga diberi kemampuan untuk memaafkan dan mengampuni kesalahan orang lain; al-Khaliq (Maha Pencipta), manusia juga diberi kemampuan untuk mengkreasi sesuatu, membudayakan alam; al-Lathif al-Khabir (Maha Lembut lagi Maha Mengetahui segala sesuatu yang nampak maupun tersembunyi), manusia juga diberi kemampuan/ potensi untuk merahasiakan sesuatu atau dirinya dan kemampuan mengetahui fenomena sosial atau rahasia alam; al-Qadir (Maha Kuasa), manusia juga diberi kemampuan untuk berkuasa; al-’Adil (Maha Adil), manusia juga diberi kemampuan untuk berlaku adil; al-Murid (Maha Berkehendak), manusia juga diberi potensi untuk berkehendak, mempunyai motivasi untuk berbuat; al-Hadi (Maha Pemberi Petunjuk), manusia juga diberi kemampuan untuk mendidik atau memberi pengajaran; demikian seterusnya.
Pemahaman tentang fitrah manusia juga
bisa dikaji dari ajaran agama Islam sebagaimana yang ditunjukkan dalam
al-Qur’an dan as-sunnah, karena di dalam Q.S. al-Rum ayat 30 dinyatakan
bahwa agama Islam bersesuaian benar dengan fitrah manusia. Ajaran Islam –
yang hendaknya dipatuhi oleh manusia – itu sarat dengan nilai-nilai
Ilahiyah yang universal dan manusiawi yang patut dikembangkan dalam
berbagai aspek kehidupan manusia. Bahkan segala perintah dan laranganNya
pun erat berhubungan dengan fitrah manusia.
Bila ditinjau dari aspek tersebut, maka fitrah manusia itu cukup banyak macamnya, yang terpenting di antaranya, yaitu: (1) fitrah beragama, yang merupakan potensi bawaan yang mendorong manusia untuk selalu pasrah, tunduk dan patuh kepada Tuhan yang menguasai dan mengatur segala aspek kehidupan manusia; dan fitrah ini merupakan sentral yang mengarahkan dan mengontrol perkembangan fitrah-fitrah lainnya; (2) fitrah berakal budi merupakan potensi bawaan yang mendorong manusia untuk berfikir dan berdzikir dalam memahami tanda-tanda keagungan Tuhan yang ada di alam semesta, berkreasi dan berbudaya, serta memahami persoalan dan tantangan hidup yang dihadapinya dan berusaha memecahkannya; (3) fitrah kebersihan dan kesucian, yang mendorong manusia untuk selalu komitmen terhadap kebersihan dan kesucian diri dan lingkungannya; (4) fitrah bermoral/berakhlak, yang mendorong manusia untuk komitmen terhadap norma-norma atau nilai-nilai dan aturan yang berlaku; (5) fitrah kebenaran, yang mendorong manusia untuk selalu mencari dan mencapai kebenaran; (6) fitrah kemerdekaan yang mendorong manusia untuk bersikap bebas/merdeka, tidak terbelenggu dan tidak mau diperbudak oleh sesuatu yang lain kecuali oleh keinginannya sendiri dan kecintaannya kepada kebaikan; (7) fitrah keadilan yang mendorong manusia untuk berusaha menegakkan keadilan di muka bumi; (8) fitrah persamaan dan persatuan yang mendorong manusia untuk mewujudkan persamaan hak serta menentang diskriminasi ras, etnik, bahasa, dan sebagainya, dan berusaha menjalin kesatuan dan persatuan di muka bumi; (9) fitrah individu yang mendorong manusia untuk bersikap mandiri, bertanggung jawab atas segala tindakan yang dilakukan, mempertahankan harga diri dan kehormatannya, serta menjaga keselamatan diri dan hartanya; (10) fitrah sosial yang mendorong manusia untuk hidup bersama, bekerjasama, bergotong royong, saling membantu dan sebagainya; (11) fitrah seksual yang mendorong seseorang untuk mengembangkan keturunan (berkembang biak), melanjutkan keturunan, dan mewariskan tugas-tugas kepada generasi penerusnya; (12) fitrah ekonomi yang mendorong manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya melalui aktivitas ekonomi; (13) fitrah politik yang mendorong manusia untuk berusaha menyusun suatu kekuasaan dan institusi yang mampu melindungi kepentingan bersama; (14) fitrah seni yang mendorong manusia untuk menghargai dan mengembangkan kebutuhan seni dalam kehidupannya; dan fitrah-fitrah lainnya.
Bila ditinjau dari aspek tersebut, maka fitrah manusia itu cukup banyak macamnya, yang terpenting di antaranya, yaitu: (1) fitrah beragama, yang merupakan potensi bawaan yang mendorong manusia untuk selalu pasrah, tunduk dan patuh kepada Tuhan yang menguasai dan mengatur segala aspek kehidupan manusia; dan fitrah ini merupakan sentral yang mengarahkan dan mengontrol perkembangan fitrah-fitrah lainnya; (2) fitrah berakal budi merupakan potensi bawaan yang mendorong manusia untuk berfikir dan berdzikir dalam memahami tanda-tanda keagungan Tuhan yang ada di alam semesta, berkreasi dan berbudaya, serta memahami persoalan dan tantangan hidup yang dihadapinya dan berusaha memecahkannya; (3) fitrah kebersihan dan kesucian, yang mendorong manusia untuk selalu komitmen terhadap kebersihan dan kesucian diri dan lingkungannya; (4) fitrah bermoral/berakhlak, yang mendorong manusia untuk komitmen terhadap norma-norma atau nilai-nilai dan aturan yang berlaku; (5) fitrah kebenaran, yang mendorong manusia untuk selalu mencari dan mencapai kebenaran; (6) fitrah kemerdekaan yang mendorong manusia untuk bersikap bebas/merdeka, tidak terbelenggu dan tidak mau diperbudak oleh sesuatu yang lain kecuali oleh keinginannya sendiri dan kecintaannya kepada kebaikan; (7) fitrah keadilan yang mendorong manusia untuk berusaha menegakkan keadilan di muka bumi; (8) fitrah persamaan dan persatuan yang mendorong manusia untuk mewujudkan persamaan hak serta menentang diskriminasi ras, etnik, bahasa, dan sebagainya, dan berusaha menjalin kesatuan dan persatuan di muka bumi; (9) fitrah individu yang mendorong manusia untuk bersikap mandiri, bertanggung jawab atas segala tindakan yang dilakukan, mempertahankan harga diri dan kehormatannya, serta menjaga keselamatan diri dan hartanya; (10) fitrah sosial yang mendorong manusia untuk hidup bersama, bekerjasama, bergotong royong, saling membantu dan sebagainya; (11) fitrah seksual yang mendorong seseorang untuk mengembangkan keturunan (berkembang biak), melanjutkan keturunan, dan mewariskan tugas-tugas kepada generasi penerusnya; (12) fitrah ekonomi yang mendorong manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya melalui aktivitas ekonomi; (13) fitrah politik yang mendorong manusia untuk berusaha menyusun suatu kekuasaan dan institusi yang mampu melindungi kepentingan bersama; (14) fitrah seni yang mendorong manusia untuk menghargai dan mengembangkan kebutuhan seni dalam kehidupannya; dan fitrah-fitrah lainnya.
Alat-alat potensial dan berbagai potensi
dasar atau fitrah manusia tersebut harus ditumbuhkembangkan secara
optimal dan terpadu melalui proses pendidikan sepanjang hayatnya.
Manusia diberi kebebasan/kemerdekaan untuk berikhtiar mengembangkan
alat-alat potensial dan potensi-potensi dasar atau fitrah manusia
tersebut. Namun demikian dalam pertumbuhan dan perkembangannya tidak
bisa dilepaskan dari adanya batas-batas tertentu, yaitu adanya
hukum-hukum yang pasti dan tetap yang menguasai alam, hukum yang
menguasai benda-benda maupun masyarakat manusia sendiri, yang tidak
tunduk dan tidak pula bergantung kepada kemauan manusia. Hukum-hukum
inilah yang disebut dengan taqdir (“Keharusan Universal” atau “kepastian
umum” sebagai batas akhir dari ikhtiar manusia dalam kehidupannya di
dunia). Di samping itu, pertumbuhan dan perkembangan alat-alat potensial
dan fitrah manusia itu juga dipengaruhi oleh faktor-faktor hereditas,
lingkungan alam dan geografis, lingkungan sosio-kultural, sejarah dan
faktor-faktor temporal.
Sumber : http://pasca.uin-malang.ac.id