Maulidu Al Barzanji
Al-Barzanji
Nama Al-Barzanji diambil dari nama pengarangnya, seorang sufi bernama Syaikh Ja’far bin Husin bin Abdul Karim bin Muhammad Al – Barzanji. Beliau adalah pengarang kitab Maulid yang termasyur dan terkenal dengan nama Mawlid Al-Barzanji. Karya tulis tersebut sebenarnya berjudul ‘Iqd Al-Jawahir (kalung permata) atau ‘Iqd Al-Jawhar fi Mawlid An-Nabiyyil Azhar.
Barzanji sebenarnya adalah nama sebuah tempat di Kurdistan, Barzanj.
Nama Al-Barzanji menjadi populer tahun 1920-an ketika Syaikh Mahmud
Al-Barzanji memimpin pemberontakan nasional Kurdi terhadap Inggris yang
pada waktu itu menguasai Irak.
Al-Barzanji Kitab Maulid Terpopuler
Kitab Maulid Al-Barzanji karangan
beliau ini termasuk salah satu kitab maulid yang paling populer dan
paling luas tersebar ke pelosok negeri Arab dan Islam, baik Timur maupun
Barat. Bahkan banyak kalangan Arab dan non-Arab yang menghafalnya dan
mereka membacanya dalam acara-acara keagamaan yang sesuai. Kandungannya
merupakan Khulasah (ringkasan) Sirah Nabawiyah yang meliputi kisah
kelahiran beliau, pengutusannya sebagai rasul, hijrah, akhlaq,
peperangan hingga wafatnya. Syaikh Ja’far Al-Barzanji dilahirkan pada
hari Kamis awal bulan Zulhijjah tahun 1126 di Madinah Al-Munawwaroh
dan wafat pada hari Selasa, selepas Asar, 4 Sya’ban tahun 1177 H di
Kota Madinah dan dimakamkan di Jannatul Baqi`, sebelah bawah maqam
beliau dari kalangan anak-anak perempuan Junjungan Nabi saw.
Riwayat Sayyid Ja’far Al-Barzanji Pengarang Al-Barzanji
Sayyid Ja’far Al-Barzanji adalah
seorang ulama’ besar keturunan Nabi Muhammad saw dari keluarga Sa’adah
Al Barzanji yang termasyur, berasal dari Barzanj di Irak. Datuk-datuk
Sayyid Ja’far semuanya ulama terkemuka yang terkenal dengan ilmu dan
amalnya, keutamaan dan keshalihannya. Beliau mempunyai sifat dan akhlak
yang terpuji, jiwa yang bersih, sangat pemaaf dan pengampun, zuhud, amat
berpegang dengan Al-Quran dan Sunnah, wara’, banyak berzikir, sentiasa
bertafakkur, mendahului dalam membuat kebajikan bersedekah,dan pemurah.
Nama nasabnya adalah Sayid Ja’far ibn
Hasan ibn Abdul Karim ibn Muhammad ibn Sayid Rasul ibn Abdul Sayid ibn
Abdul Rasul ibn Qalandar ibn Abdul Sayid ibn Isa ibn Husain ibn Bayazid
ibn Abdul Karim ibn Isa ibn Ali ibn Yusuf ibn Mansur ibn Abdul Aziz ibn
Abdullah ibn Ismail ibn Al-Imam Musa Al-Kazim ibn Al-Imam Ja’far
As-Sodiq ibn Al-Imam Muhammad Al-Baqir ibn Al-Imam Zainal Abidin ibn
Al-Imam Husain ibn Sayidina Ali r.a.
Semasa kecilnya beliau telah belajar
Al-Quran dari Syaikh Ismail Al-Yamani, dan belajar tajwid serta membaiki
bacaan dengan Syaikh Yusuf As-So’idi dan Syaikh Syamsuddin
Al-Misri.Antara guru-guru beliau dalam ilmu agama dan syariat adalah :
Sayid Abdul Karim Haidar Al-Barzanji, Syeikh Yusuf Al-Kurdi, Sayid
Athiyatullah Al-Hindi. Sayid Ja’far Al-Barzanji telah menguasai banyak
cabang ilmu, antaranya: Shoraf, Nahwu, Manthiq, Ma’ani, Bayan, Adab,
Fiqh, Usulul Fiqh, Faraidh, Hisab, Usuluddin, Hadits, Usul Hadits,
Tafsir, Hikmah, Handasah, A’rudh, Kalam, Lughah, Sirah, Qiraat, Suluk,
Tasawuf, Kutub Ahkam, Rijal, Mustholah.
Syaikh Ja’far Al-Barzanji juga seorang
Qodhi (hakim) dari madzhab Maliki yang bermukim di Madinah, merupakan
salah seorang keturunan (buyut) dari cendekiawan besar Muhammad bin
Abdul Rasul bin Abdul Sayyid Al-Alwi Al-Husain Al-Musawi Al-Saharzuri
Al-Barzanji (1040-1103 H / 1630-1691 M), Mufti Agung dari madzhab
Syafi’i di Madinah. Sang mufti (pemberi fatwa) berasal dari Shaharzur,
kota kaum Kurdi di Irak, lalu mengembara ke berbagai negeri sebelum
bermukim di Kota Sang Nabi. Di sana beliau telah belajar dari
ulama’-ulama’ terkenal, diantaranya Syaikh Athaallah ibn Ahmad
Al-Azhari, Syaikh Abdul Wahab At-Thanthowi Al-Ahmadi, Syaikh Ahmad
Al-Asybuli. Beliau juga telah diijazahkan oleh sebahagian ulama’,
antaranya : Syaikh Muhammad At-Thoyib Al-Fasi, Sayid Muhammad
At-Thobari, Syaikh Muhammad ibn Hasan Al A’jimi, Sayid Musthofa
Al-Bakri, Syaikh Abdullah As-Syubrawi Al-Misri.
Syaikh Ja’far Al-Barzanji, selain
dipandang sebagai mufti, beliau juga menjadi khatib di Masjid Nabawi dan
mengajar di dalam masjid yang mulia tersebut. Beliau terkenal bukan
saja karena ilmu, akhlak dan taqwanya, tapi juga dengan kekeramatan dan
kemakbulan doanya. Penduduk Madinah sering meminta beliau berdo’a untuk
hujan pada musim-musim kemarau.
Aspek Kesejarahan Al-Barzanji
Kesejarahan Al-Barzanji tidak dapat
dipisahkan dengan momentum besar perihal peringatan maulid Nabi Muhammad
saw untuk yang pertama kali. Maulid Nabi atau hari kelahiran Nabi
Muhammad saw pada mulanya diperingati untuk membangkitkan semangat umat
Islam. Sebab waktu itu umat Islam sedang berjuang keras mempertahankan
diri dari serangan tentara salib Eropa, yakni dari Prancis, Jerman, dan
Inggris.
Kita mengenal itu sebagai Perang Salib
atau The Crusade. Pada tahun 1099 M tentara salib telah berhasil
merebut Yerusalem dan menyulap Masjidil Aqsa menjadi gereja. Umat Islam
saat itu kehilangan semangat perjuangan dan persaudaraan ukhuwah. Secara
politis memang umat Islam terpecah-belah dalam banyak kerajaan dan
kesultanan. Meskipun ada satu khalifah tetap satu dari Dinasti Bani
Abbas di kota Baghdad sana, namun hanya sebagai lambang persatuan
spiritual.
Adalah Sultan Salahuddin Yusuf Al-Ayyubi
-dalam literatur sejarah Eropa dikenal dengan nama Saladin, seorang
pemimpin yang pandai mengena hati rakyat jelata. Salahuddin memerintah
para tahun 1174-1193 M atau 570-590 H pada Dinasti Bani Ayyub-
katakanlah dia setingkat Gubernur. Meskipun Salahuddin bukan orang Arab
melainkan berasal dari suku Kurdi, pusat kesultanannya berada di kota
Qahirah (Kairo), Mesir, dan daerah kekuasaannya membentang dari Mesir
sampai Suriah dan Semenanjung Arabia. Menurut Salahuddin, semangat juang
umat Islam harus dihidupkan kembali dengan cara mempertebal kecintaan
umat kepada Nabi mereka. Salahuddin mengimbau umat Islam di seluruh
dunia agar hari lahir Nabi Muhammad SAW, yang setiap tahun berlalu
begitu saja tanpa diperingati, kini harus dirayakan secara massal.
Sebenarnya hal itu bukan gagasan murni Salahuddin, melainkan usul dari iparnya, Muzaffaruddin Gekburi yang
menjadi Atabeg (setingkat Bupati) di Irbil, Suriah Utara. Untuk
mengimbangi maraknya peringatan Natal oleh umat Nasrani, Muzaffaruddin
di istananya sering menyelenggarakan peringatan maulid nabi, cuma
perayaannya bersifat lokal dan tidak setiap tahun. Adapun Salahuddin
ingin agar perayaan maulid nabi menjadi tradisi bagi umat Islam di
seluruh dunia dengan tujuan meningkatkan semangat juang, bukan sekadar
perayaan ulang tahun biasa.
Ketika Salahuddin meminta persetujuan dari Khalifah di Baghdad yakni An-Nashir,
ternyata Khalifah setuju. Maka pada musim ibadah haji bulan Dzulhijjah
579 H / 1183 M, Salahuddin sebagai penguasa Haramain (dua tanah suci,
Mekah dan Madinah) mengeluarkan instruksi kepada seluruh jemaah haji,
agar jika kembali ke kampung halaman masing-masing segera menyosialkan
kepada masyarakat Islam di mana saja berada, bahwa mulai tahun 580 /
1184 M tanggal 12 Rabiul Awal dirayakan sebagai hari Maulid Nabi dengan
berbagai kegiatan yang membangkitkan semangat umat Islam.
Salah satu kegiatan yang di prakarsai
oleh Sultan Salahuddin pada peringatan Maulid Nabi yang pertama kali
tahun 1184 (580 H) adalah menyelenggarakan sayembara penulisan riwayat
Nabi beserta puji-pujian bagi Nabi dengan bahasa yang seindah mungkin.
Seluruh ulama dan sastrawan diundang untuk mengikuti kompetisi tersebut.
Pemenang yang menjadi juara pertama adalah Syaikh Ja`far Al-Barzanji.
Ternyata peringatan Maulid Nabi yang
diselenggarakan Sultan Salahuddin itu membuahkan hasil yang positif.
Semangat umat Islam menghadapi Perang Salib bergelora kembali.
Salahuddin berhasil menghimpun kekuatan, sehingga pada tahun 1187 (583
H) Yerusalem direbut oleh Salahuddin dari tangan bangsa Eropa, dan
Masjidil Aqsa menjadi masjid kembali, sampai hari ini.
Matan (isi) Kitab Al-Barzanji dan Keagungan Rasulullah Muhammad SAW
Kitab Al-Barzanji ditulis dengan
tujuan untuk meningkatkan kecintaan kepada Rasulullah SAW dan
meningkatkan gairah umat. Dalam kitab itu riwayat Nabi saw dilukiskan
dengan bahasa yang indah dalam bentuk puisi dan prosa (nasr) dan kasidah
yang sangat menarik. Secara garis besar, paparan Al-Barzanji dapat
diringkas sebagai berikut: (1) Sislilah Nabi adalah: Muhammad bin
Abdullah bin Abdul Muttalib bin Hasyim bin Abdul Manaf bin Qusay bin
Kitab bin Murrah bin Fihr bin Malik bin Nadar bin Nizar bin Maiad bin
Adnan. (2) Pada masa kecil banyak kelihatan luar biasa pada dirinya. (3)
Berniaga ke Syam (Suraih) ikut pamannya ketika masih berusia 12 tahun.
(4) Menikah dengan Khadijah pada usia 25 tahun. (5) Diangkat menjadi
Rasul pada usia 40 tahun, dan mulai menyiarkan agama sejak saat itu
hingga umur 62 tahun. Rasulullah meninggal di Madinah setelah dakwahnya
dianggap telah sempurna oleh Allah SWT.
Dalam Barzanji diceritakan bahwa
kelahiran kekasih Allah ini ditandai dengan banyak peristiwa ajaib yang
terjadi saat itu, sebagai genderang tentang kenabiannya dan
pemberitahuan bahwa Nabi Muhammad adalah pilihan Allah. Saat Nabi
Muhammad dilahirkan tangannya menyentuh lantai dan kepalanya mendongak
ke arah langit, dalam riwayat yang lain dikisahkan Muhammad dilahirkan
langsung bersujud, pada saat yang bersamaan itu pula istana Raja
Kisrawiyah retak terguncang hingga empat belas berandanya terjatuh.
Maka, Kerajaan Kisra pun porak poranda. Bahkan, dengan lahirnya Nabi
Muhammad ke muka bumi mampu memadamkan api sesembahan Kerajaan Persi
yang diyakini tak bisa dipadamkan oleh siapapun selama ribuan tahun.
Keagungan akhlaknya tergambarkan dalam
setiap prilaku beliau sehari-hari. Sekitar umur tiga puluh lima tahun,
beliau mampu mendamaikan beberapa kabilah dalam hal peletakan batu Hajar
Aswad di Ka’bah. Di tengah masing-masing kabilah yang bersitegang
mengaku dirinya yang berhak meletakkan Hajar Aswad, Rasulullah tampil
justru tidak mengutamakan dirinya sendiri, melainkan bersikap akomodatif
dengan meminta kepada setiap kabilah untuk memegang setiap ujung sorban
yang ia letakan di atasnya Hajar Aswad. Keempat perwakilan kabilah itu
pun lalu mengangkat sorban berisi Hajar Aswad, dan Rasulullah kemudian
mengambilnya lalu meletakkannya di Ka’bah.
Kisah lain yang juga bisa dijadikan
teladan adalah pada suatu pengajian seorang sahabat datang terlambat,
lalu ia tidak mendapati ruang kosong untuk duduk. Bahkan, ia minta
kepada sahabat yang lain untuk menggeser tempat duduknya, namun tak ada
satu pun yang mau. Di tengah kebingungannya, Rasulullah saw memanggil
sahabat tersebut dan memintanya duduk di sampingnya.. Tidak hanya itu,
Rasul kemudian melipat sorbannya lalu memberikannya pada sahabat
tersebut untuk dijadikan alas tempat duduk. Melihat keagungan akhlak
Nabi Muhammad, sahabat tersebut dengan berlinangan air mata lalu
menerima sorban tersebut namun tidak menjadikannya alas duduk, tetapi
justru mencium sorban Nabi Muhammad saw tersebut.
Bacaan shalawat dan pujian kepada
Rasulullah bergema saat kita membacakan Barzanji di acara peringatan
maulid Nabi Mauhammad saw, Ya Nabi salâm ‘alaika, Ya Rasûl salâm ‘alaika, Ya Habîb salâm ‘alaika, ShalawatulLâh ‘alaika… (Wahai Nabi salam untukmu, Wahai Rasul salam untukmu, Wahai Kekasih salam untukmu, Shalawat Allah kepadamu…)
Kemudian, apa tujuan dari peringatan
maulid Nabi dan bacaan shalawat serta pujian kepada Rasulullah? Dr.
Sa’id Ramadlan Al-Bûthi menulis dalam Kitab Fiqh Al-Sîrah Al-Nabawiyyah:
“Tujuannya tidak hanya untuk sekedar mengetahui perjalanan Nabi dari
sisi sejarah saja. Tapi, agar kita mau melakukan tindakan aplikatif yang
menggambarkan hakikat Islam yang paripurna dengan mencontoh Nabi
Muhammad saw.”
Sarjana Jerman peneliti Islam, Annemarie Schimmel
dalam bukunya, Dan Muhammad adalah Utusan Allah: Penghormatan terhadap
Nabi saw dalam Islam (1991), , menerangkan bahwa teks asli karangan
Ja’far Al-Barzanji, dalam bahasa Arab, sebetulnya berbentuk prosa.
Namun, para penyair kemudian mengolah kembali teks itu menjadi untaian
syair, sebentuk eulogy bagi Sang Nabi. Pancaran kharisma Nabi
Muhammad saw terpantul pula dalam sejumlah puisi, yang termasyhur:
Seuntai gita untuk pribadi utama, yang didendangkan dari masa ke masa.
Untaian syair itulah yang tersebar ke
berbagai negeri di Asia dan Afrika, tak terkecuali Indonesia. Tidak
tertinggal oleh umat Islam penutur bahasa Swahili di Afrika atau penutur
bahasa Urdu di India, kita pun dapat membaca versi bahasa Indonesia
dari syair itu, meski kekuatan puitis yang terkandung dalam bahasa Arab
kiranya belum sepenuhnya terwadahi dalam bahasa kita sejauh ini.
Secara sederhana kita dapat mengatakan
bahwa karya Ja’far Al-Barzanji merupakan biografi puitis Nabi Muhammad
saw. Dalam garis besarnya, karya ini terbagi dua: ‘Natsar’ dan ‘Nadhom’.
Bagian Natsar terdiri atas 19 sub bagian yang memuat 355 untaian syair,
dengan mengolah bunyi “ah” pada tiap-tiap rima akhir. Seluruhnya
menurutkan riwayat Nabi Muhammad saw, mulai dari saat-saat menjelang
beliau dilahirkan hingga masa-masa tatkala paduka mendapat tugas
kenabian. Sementara, bagian Nadhom terdiri atas 16 sub bagian yang
memuat 205 untaian syair, dengan mengolah rima akhir “nun”.
Dalam untaian prosa lirik atau sajak
prosaik itu, terasa betul adanya keterpukauan sang penyair oleh sosok
dan akhlak Sang Nabi. Dalam bagian Nadhom misalnya, antara lain
diungkapkan sapaan kepada Nabi pujaan” Engkau mentari, Engkau rebulan
dan Engkau cahaya di atas cahaya“.
Di antara idiom-idiom yang terdapat
dalam karya ini, banyak yang dipungut dari alam raya seperti matahari,
bulan, purnama, cahaya, satwa, batu, dan lain-lain. Idiom-idiom seperti
itu diolah sedemikian rupa, bahkan disenyawakan dengan shalawat dan doa,
sehingga melahirkan sejumlah besar metafor yang gemilang. Silsilah Sang
Nabi sendiri, misalnya, dilukiskan sebagai “Untaian Mutiara”.
Betapapun, kita dapat melihat teks seperti ini sebagai tutur kata yang lahir dari perspektif penyair.
Pokok-pokok tuturannya sendiri,
terutama menyangkut riwayat Sang Nabi, terasa berpegang erat pada
Alquran, hadist, dan sirah nabawiyyah. Sang penyair kemudian mencurahkan
kembali rincian kejadian dalam sejarah ke dalam wadah puisi, diperkaya
dengan imajinasi puitis, sehingga pembaca dapat merasakan madah yang
indah.
Salah satu hal yang mengagumkan
sehubungan dengan karya Ja’far Al-Barzanji adalah kenyataan bahwa karya
tulis ini tidak berhenti pada fungsinya sebagai bahan bacaan. Dengan
segala potensinya, karya ini kiranya telah ikut membentuk tradisi dan
mengembangkan kebudayaan sehubungan dengan cara umat Islam diberbagai
negeri menghormati sosok dan perjuangan Nabi Muhammad saw.
Syarah Kitab Maulid Al-Barzanji
Kitab Maulid Al-Barzanji ini telah disyarahkan oleh Al-’Allaamah Al-Faqih Asy-Syaikh Abu ‘Abdullah Muhammad bin Ahmad yang terkenal dengan panggilan Ba`ilisy
yang wafat tahun 1299 H dengan satu syarah yang memadai, cukup elok dan
bermanfaat yang dinamakan ‘Al-Qawl Al-Munji ‘ala Mawlid Al-Barzanji’
yang telah banyak kali diulang cetaknya di Mesir.
Di samping itu, telah disyarahkan pula oleh para ulama kenamaan umat ini. Antara yang masyhur mensyarahkannya ialah Syaikh Muhammad bin Ahmad ‘Ilyisy Al-Maaliki Al-’Asy’ari Asy-Syadzili Al-Azhari dengan kitab ’Al-Qawl Al-Munji ‘ala Maulid Al-Barzanji’. Beliau ini adalah seorang ulama besar keluaran Al-Azhar Asy-Syarif, bermazhab Maliki lagi Asy`ari dan menjalankan Thoriqah Asy-Syadziliyyah. Beliau lahir pada tahun 1217 H / 1802M dan wafat pada tahun 1299 H / 1882M.
Ulama kita kelahiran Banten, Pulau
Jawa, yang terkenal sebagai ulama dan penulis yang produktif dengan
banyak karangannya, yaitu Sayyidul Ulamail Hijaz, An-Nawawi Ats-Tsani, Syaikh Muhammad Nawawi Al-Bantani Al-Jawi turut
menulis syarah yang lathifah bagi Maulid al-Barzanji dan karangannya
itu dinamakannya ‘Madaarijush Shu`uud ila Iktisaail Buruud’. Kemudian,
Sayyid Ja’far bin Sayyid Isma`il bin Sayyid Zainal ‘Abidin bin Sayyid
Muhammad Al-Hadi bin Sayyid Zain yang merupakan suami kepada
satu-satunya anak Sayyid Ja’far al-Barzanji, juga telah menulis syarah
bagi Maulid Al-Barzanj tersebut yang dinamakannya ‘Al-Kawkabul Anwar
‘ala ‘Iqdil Jawhar fi Maulidin Nabiyil Azhar’. Sayyid Ja’far ini juga
adalah seorang ulama besar keluaran Al-Azhar Asy-Syarif. Beliau juga
merupakan seorang Mufti Syafi`iyyah.
Karangan-karangan beliau banyak, antaranya: “Syawaahidul Ghufraan ‘ala Jaliyal Ahzan fi Fadhaail Ramadhan”, “Mashaabiihul Ghurar ‘ala Jaliyal Kadar” dan “Taajul Ibtihaaj ‘ala Dhauil Wahhaaj fi Israa` wal Mi’raaj”.
Beliau juga telah menulis sebuah manaqib yang menceritakan perjalanan
hidup dan ketinggian nendanya Sayyid Ja’far Al-Barzanji dalam kitabnya “Ar-Raudhul A’thar fi Manaqib As-Sayyid Ja’far”.
Pembacaan Kitab Al-Barzanji
Kitab Al-Barzanji dalam bahasa aslinya
(Arab) dibacakan dalam berbagai macam lagu; rekby (dibaca perlahan),
hejas (dibaca lebih keras dari rekby ), ras (lebih tinggi dari nadanya
dengan irama yang beraneka ragam), husein (memebacanya dengan tekanan
suara yang tenang), nakwan membaca dengan suara tinggi tapi nadanya sama
dengan nada ras, dan masyry, yaitu dilagukan dengan suara yang lembut
serta dibarengi dengan perasaan yang dalam
Di berbagai belahan Dunia Islam, syair
Barzanji lazimnya dibacakan dalam kesempatan memeringati hari kelahiran
Sang Nabi. Dengan mengingat-ingat riwayat Sang Nabi, seraya memanjatkan
shalawat serta salam untuknya, orang berharap mendapat berkah
keselamatan, kesejahteraan, dan ketenteraman. Sudah lazim pula, tak
terkecuali di negeri kita, syair Barzanji didendangkan – biasanya, dalam
bentuk standing ovation – dikala menyambut bayi yang baru lahir dan
mencukur rambutnya.
Pada perkembangan berikutnya,
pembacaan Barzanji dilakukan di berbagai kesempatan sebagai sebuah
pengharapan untuk pencapaian sesuatu yang lebih baik. Misalnya pada saat
kelahiran bayi, upacara pemberian nama, mencukur rambut bayi, aqiqah,
khitanan, pernikahan, syukuran, kematian (haul), serta seseorang yang
berangkat haji dan selama berada disana. Ada juga yang hanya membaca
Barzanji dengan berbagai kegiatan keagamaan, seperti penampilan kesenian
hadhrah, pengumuman hasil berbagai lomba, dan lain-lain, dan puncaknya
ialah mau’idhah hasanah dari para muballigh atau da’i.
Post: Sarkub/daarulfalah.com
Link: http://www.daarulfalah.com/2014/