Kontribusi LP Ma'arif thp Pengembangan Pendidikan Islam (1)
FAKTOR PENDORONG DAN FAKTOR
PENGHAMBAT LEMBAGA PENDIDIKAN MA’ARIF NAHDLATUL ULAMA.
Dalam sebuah perkembangan yang wajar, setiap sesuatu pasti ada semacam faktor yang mendorongnya untuk didirikan. Hal demikian juga terjadi pada setiap organisasi atau lembaga. Mereka mendirikan organisasi atau lembaga tersebut karena terlingkupi beberapa faktor, baik ia berasal dari faktor intern kelompok, atau pun berasal dari faktor ekstern kelompok. Kesemua faktor itu adakalanya bersifat positif, yang biasanya pendorong mengapa lembaga atau organisasi itu didirikan, ada juga yang bersifat negatif, yang biasanya sebagai penghambat dari organisasi atau lembaga itu.
LP Ma’arif NU, sebagai organisasi atau lembaga yang secara empiris berada dalam naungan NU, juga terkena dampak hukum pemfaktoran di atas. Setidaknya. LP Ma’arif didirikan karena adanya faktor pendorong dan juga faktor penghambat. Faktor pendorong adalah sebuah kondisi yang melatari mengapa LP Ma’arif didirikan. Sedangkan faktor penghambat adalah kondisi lapangan dimana LP Ma’rif berada dan berkembang dalam upaya membentuk lembaga pendidikan yang bermutu.
FAKTOR PENDORONG
Sebelum penulis menjabarkan lebih lanjut, ada baiknya jika penulis membahas dulu apa yang dinamakan faktor pendorong. Dalam kajian ini, yang dimaksud faktor pendorong adalah setiap kejadian yang berlandaskan sejarah di mana adanya telah mendorong LP Ma’arif NU didirikan. Kondisi tersebut dapat barlangsung sebelum adanya LP Ma’arif, atau sejak lembaga ini didirikan sampai pada kondisi perjalannya ke depan.
Maka daripada itu, di bawah ini adalah uraian tentang kondisi pendorong terebut.
Kondisi Riil Umat Islam.
Menjelang di penghujung akhir abad XIX dan awal abad XX kondisi general umat Islam sangat memperihatinkan (Suryanegara, 1996: 72 ). Dalam setiap sisi kehidupannya, umat Islam tertinggal jauh dibelang umat yang lain, atau tepatnya, tertinggal dari orang-orang Barat (Ar-Rais, 1982: 203 ). Misalnya saja, pada tatanan politik; umat Islam dalam kondisi terjajah. Dalam segi ekonomi pun, umat Islam tertindas. Bahkan sumber daya alamnya oleh para penjajah dirampas sepuas-puasnya kemudian mereka angkut ke Negara asal mereka di Eropa. Kemudian dari segi pendidikan, umat Islam diperbodoh secara sistematis sehingga hampir-hampir tidak ada peluang untuk menuntut pendidikan yang layak. Maka wajar jika pada masa-masa itu umat Islam terpinggirkan dari kehidupan yang menuntut penguasaan ilmu yang bagus, seperti dalam pemerintahan, dalam penelitian, dalam keguruan dan lain sebagainya.
Muara dari semua yang penulis ungkap di atas adalah sebuah kisah sedih yang sangat menyayat kalbu. Karena semua itu baru saja terjadi dalam diri bangsa kita, tidak lebih dari satu atau dua generasi sebelum kita; ayah, kakek, nenek dan buyut kita terbodohkan secara sistematis oleh penjajah tersebut (Ricklesf, 1998: 324 ). Apalagi ternyata kesemuanya itu menimpa umat Islam yang rata-rata kaum trasionalis, di mana nantinya adalah anggota tersebar NU yang berada di desa-desa dan tersebar di Nusantara ini.
Kondisi Riil Dalam Pendidikan
Tantangan terbesar NU sejak ia didirikan adalah kondisi pendidikan umat Islam kaum tradisionalis. Umat ini dengan sengaja dan sistematis memang diperbodoh oleh penjajah Belanda, di mana tujuan akhirnya adalah menjadi budak-budak kolonial tersebut. Contoh yang dapat penulis baca dalam lembaran sejarah adalah tenaga-tenaga yang dibutuhkan oleh Belanda dalam mendukung kekuasaan penjajahannya; umat Islam yang diperbodoh itu ada yang menjadi buruh dengan bayaran murah atau bahkan tidak pernah dibayar (Suryanegara, 1998: 178-10)
Mereka dipekerjakan di pabrik-pabrik penggilingan gula, menjadi pemetik teh, menjadi perambas tebu, menjadi penyadap getah karet. Bahkan nasib yang amat memilukan adalah para budak yang dipekerjakan dalam merambah jalan pantai utara (pantura) tanah Jawa dari Anyer (Banten) ke Panarukan (Situbondo) yang membutuhkan masa lebih 20 tahun dan korban yang mati kelaparan mencapai lebih dari 25 ribu jiwa (Ricklesf, 1998: 231 ). Semua pekerja, atau paling tidak mayoritas, yang telibat dalam proyek ‘raksasa’ itu adalah umat Islam pedesaan yang bodoh di atas.
Sampai menjelang pendirian NU tahun 1926, kondisi pendidikan umat Islam di atas tidak beranjak dari keperihatinan. Muhammadiyah yang didirikan pada tahun 1912 hanya terfokus pada soal pendidikan umat Islam yang berkutat diperkotaan saja. SI yang juga didirikan pada tahun itu pula, hanya terfokus pada kondisi perpolitikan umat Islam. Persatuan Islam (Persis) yang berdiri tahun 1914 mempunyai sasaran muslim perkotaan sama misalnya al-Irsyad (1924) yang sasarannya hanya kaum arab yang tinggal di kota-kota besar (I. Djumhur, 1972: 47). Jadi siapa yang dapat mengentas kebodohan para Muslim pedesaan yang tempat tinggalnya jauh dari hingar-bingar keramaian itu? NU-lah yang menjawab tantangan tersebut dengan mendirikan LP Ma’arif pada tahun 1938.
Kondisi Riil Dalam Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK)
Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) adalah simetris daripada pendidikan. Keduanya, ibarat dua sisi mata uang, tidak dapat diceraikan. Bila kondisi pendidikan umat Islam baik, maka kondisi IPTEK pun sudah dipastikan akan baik pula.
Hal demikian telah penulis saksikan dalam catatan sejarah umat Islam. Tatkala kekhalifahan Islam Abbasiyah mencapai kejayaanya pada masa Harun al-Rasyid, ternyata masa sebelum kejayaan itu tercapai, yaitu pada masa pemerintahan Abu Ja’far al-Mansur (754-775 M) (Darsono dan Ibrahim, 2005: 29), kekhalifahan ini telah menanamkan pijakan dasarnya, yaitu pendidikan yang tangguh. Jauh sebelum al-Rasyid menduduki singgasananya, kakek beliau ini, telah membangun Baitul Hikmah dan perpustakaan terlengkap dan kota terbesar di dunia ketika itu yang bernama Baghdad. Jadilah Baitul Hikmah tempat berkumpulnya para mahasiswa yang datang dari berbagai penjuru untuk berguru kepada para guru besar dalam berbagai disiplin ilmu pengetahuan (Madjid, 2000: 528-529)
Ternyata, umat Islam mencapai kejayaannya waktu itu setelah umat Islam masih memadukan ilmu pengetahuan dan ilmu agama. Bahkan hakikatnya, ilmu-ilmu itu semua bersumber dari Allah SWT. Dan secara global tercantum di dalam al-Qur’an (al-Jumbulati dan at-Tuwaanisi, 2002: 66-7).
Sementara itu, di bumi belahan barat, yaitu Eropa pada abad-abad tersebut masih diselimuti kegelapan. Ilmu pengetahuan dan teknologi kenbali mati. Para ilmuwan banyak yang disiksa di luar batas kemanusiaan oleh Gereja karena pendapat mereka sangat bertentangan dengan doktrin Gereja. Sampai akhirnya, tibalah masa Renaissance (zaman pencerahan) (jameelah, ttp: 26). Para ilmuwan bangkit dan kembali menghidupkan lembaga pendidikan yang independen yang sama sekali lepas dari unsur Gereja. Mereka dapat mengalahkan dominasi Gereja sehingga Gereja tidak mempunyai peranan signifikan lagi. Setelah para ilmuwan itu dapat melumatkan Gereja, ilmu pengetahuan di Eropa kembali berkibar dengan sempurna. Berbagai tingkat pendidikan pun berluber di seantero jagat Eropa. Celakanya, para ilmuwan itu kemudian tidak lagi percaya pada institusi Gereja. Malah, mereka menjauhkan diri darinya. Hingga kemudian, timbullah apa yang dinamakan sekulerisme, pemisahan agama dari kehidupan dunia (KBBI, 1999: 675).
Paham sekuler tersebut berimbas ke Indonesia melalui kaki tangan penjajah Belanda yang kemudian ikut meluber pada tatanan IPTEK. IPTEK tersekulerkan dengan sempurna karena institusi pendidikan pada zaman Belanda adalah sepenuhnya di bawah kontrol penjajah sehingga ajaran agama tidak pernah mewarnai dalam masalah IPTEK. Seakan-akan IPTEK bukan bersumber dari Islam. Padahal agama hanif ini dalam berbagai ayatnya telah memberikan rambu-rambu bahwa IPTEK harus juga dikuasai olah umat Islam. Sebagai mana isyarat berikut ini:
È@è% (#rãÝàR$# #sŒ$tB ’Îû ÅVºuq»yJ¡¡9$# ÇÚö‘F{$#ur 4 $tBur ÓÍ_øóè? àM»tƒFy$# â‘ä‹–Y9$#ur `tã 7Qöqs% žw tbqãZÏB÷sムÇÊÉÊÈ
Artinya: Katakanlah: “Perhatikanlah apa yaag ada di langit dan di bumi. tidaklah bermanfaat tanda kekuasaan Allah dan Rasul-rasul yang memberi peringatan bagi orang-orang yang tidak beriman”. (Yunus: 101) (al-Qur’an dan Terjemahan, Depag, edisi revisi, 2005).
Demikian pula dalam surat berikut ini:
Artinya: Maka Maha Tinggi Allah raja yang sebenar-benarnya, dan janganlah kamu tergesa-gesa membaca Al qur’an sebelum disempurnakan mewahyukannya kepadamu,dan Katakanlah: “Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan.”(Thaha: 114) (al-Qur’an dan Terjemahan, Depag, edisi revisi, 2005).
Adapun dalam ayat dibawah ini Allah SWT berfirman:
Artinya: Maka Apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? karena Sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada. (al-Hajj: 46) (al-Qur’an dan Terjemahan, Depag, edisi revisi, 2005).
Berikut juga firman-Nya:
Artinya: Maka perhatikanlah bekas-bekas rahmat Allah, bagaimana Allah menghidupkan bumi yang sudah mati. Sesungguhnya (Tuhan yang berkuasa seperti) demikian benar-benar (berkuasa) menghidupkan orang-orang yang telah mati. dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu. (ar-Rum: 50) (al-Qur’an dan Terjemahan, Depag, edisi revisi, 2005).
Ada pun firman Allah SWT berikut ini juga membahas tentang IPTEK, yaitu:
Artinya: 3. yang telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis. kamu sekali-kali tidak melihat pada ciptaan Tuhan yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang. Maka lihatlah berulang-ulang, Adakah kamu Lihat sesuatu yang tidak seimbang?
4. kemudian pandanglah sekali lagi niscaya penglihatanmu akan kembali kepadamu dengan tidak menemukan sesuatu cacat dan penglihatanmu itupun dalam Keadaan payah.
5. Sesungguhnya Kami telah menghiasi langit yang dekat dengan bintang-bintang, dan Kami jadikan bintang-bintang itu alat-alat pelempar syaitan, dan Kami sediakan bagi mereka siksa neraka yang menyala-nyala. (al-Mulk: 3-5) (al-Qur’an dan Terjemahan, Depag, edisi revisi, 2005).
Juga firman-Nya :
Artinya: 1. bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan,
2. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah.
3. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah,
4. yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam
5. Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya. (al-Falaq: 1-5) (al-Qur’an dan Terjemahan, Depag, edisi revisi, 2005).
Dan masih banyak lagi ayat-ayat Allah SWT dan Hadis Nabi SAW menyangkut ilmu pengetahuan dan teknologi. Jika Islam memang telah mangajarkan sedemikian jauh atas semua sisi kehidupan manusia, sampai pula masalah IPTEK dalam cakupan ajaran Islam, maka paham sekuler tersebut tidak mampunyai tempat di dalam agama ini.
Akan tetapi, sungguh ironis, umat Islam pada masa awal LP Ma’arif didirikan sangat jauh tertinggal dalam masalah IPTEK. Malah pada suatu kejadian, ada sebagian ulama pada masa itu yang mengharamkan pelajaran umum masuk di lembaga pondok pesantrennya. Bahkan dalam masalah berpakaian, yang tentu ini mubah, mereka juga mengharamkan pakaian seperti model pakaian Barat; jas, dasi, sepatu, celana dan lainnya. Gejala seperti itu di zaman kita masih cukup terasa walau tidak seheboh tempo dulu. Utamanya pada sebagian ponpes yang mengusung nama salaf (Sumber: Pengamatan Penulis terhadap Ponpes Karay, Ganding dan ponpes Kelaba’an, Guluk-Guluk, Sumenep, 2007).
Hal demikian itu adalah pendorong utama akan berdirinya LP Ma’arif NU.
Kondisi Riil Dalam Politik Ekonomi Sosial dan Budaya.
Dalam pandangan agama Islam, masalah politik tidak dapat dilepaskan dari dimensi kehidupan yang lain. Politik harus mengintegrasi dalam pengaturan ketatanegaraan. Maka, urusan politik adalah urusan agama Islam pula.
Dalam sabdanya Rasulullah SAW mengatakan :
ادانزلت ببلدو ليس فيه سلطا ن فا رجل عنه (متفق عليه)
Artinya : Jika engkau berada disuatu negeri yang tidak ada kepala negaranya maka tinggalkanlah negeri itu (HR. Muttafaq alaih) (Junaidi, 2003: 41)
Juga sabdanya :
اداكنتم ثلاثة فاءمرف عليكم وجلا (رواه البخا ري)
Artinya : Jika kalian bertiga, maka hendaklah seseorang diatara kalian menjadi pemimpin (HR. Bukhari). (Junaidi, 2003: 42).
Berkaitan dengan dua hadits diatas, imam al-Ghazali berkata : syariat itu pondasi dan raja itu penjaganya. Sesuatu yang tidak ada pondasinya akan hancur dan sesuatu yang tidak ada penjaganya niscaya akan musnah (Junaidi, 2003: 54)
Semua hal diatas merupakan penjabaran dari firman Allah sebagai berikut :
Artinya: dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), Maka ketahuilah bahwa Sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan mushibah kepada mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. dan Sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik (al Maidah: 49) (al-Qur’an dan Terjemahan, Depag, edisi revisi, 2005).
Sistem kenegaraan dalam Islam tegak di atas kaidah-kaidah yang sudah sempurna dan baku. Kaidah-kaidah itu merupakan kerangka pokok bagi sistem pemerintahan Islam. Menurut Hasan Al-Banna (dalam Junaidi, 2003), sistem pemerinthan Islam tegak diatas tiga pilar, yaitu pertama tanggung jawab pemerintah, kedua kesatuan masyarakat dan ketiga sikap menghargai aspirasi rakyat. (Junaidi, 2003: 54).
Nilai adi-luhung ajaran Islam sebagaimana penulis gambarkan di atas ternyata tidak bertahan dipanggung sejarah dunia. Tahun 1924 adalah hari terakhir sistem pemerintahan Islam lenyap dari muka bumi setelah khilafah Utsmaniyah Turki digulingkan oleh Mustafa Kamal Fasha. Habislah sistem pemerintahan Islam setelah lebih dari 1300 tahun bertahan dari gempuran konspirasi jahat orang-orang yahudi dan nasrani. Maka nyatalah firman Allah SWT berikut ini.
Artinya: Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah: “Sesungguhnya petunjuk Allah Itulah petunjuk (yang benar)”. dan Sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, Maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu (al-Baqarah: 120) (al-Qur’an dan Terjemahan, Depag, edisi revisi, 2005).
Saat ini, bila kita berbicara masalah politik, maka dalam pikiran kita akan muncul suatu pandangan yang negatif. Politik diidentikkan dengan kekerasan, bualan, cacian, omong – kosong, intrik-intrik, tipuan dan berbagai label negatif lainnya. Hal ini tentunya, perpolitikan tersebut jauh dari ajaran Islam yang rahmatan lil ‘alamin diatas.
Hilangnya kekhilafahan dari genggaman umat Islam, dan kemudian timbulnya paham sekulerisme, terus dilanjutkan pencaplokan penjajahan Belanda atas kekuasaan sultan-sultan di nusantara (al-Islam, edisi XVI/2007). Kemudian pembodohan umat Islam oleh penjajah. Semua itu adala faktor pendorong hadirnya LP Ma’arif NU.
Dalam pada itu, mengapa kondisi riil perpolitikan umat Islam jadi faktor adanya LP Ma’arif. Tiada lain, bila umat Islam tercerahkan dalam masalah politik yang diajarkannya melalui lembaga pendidikan, utamanya pendidikan tinggi yang berada dibawah naungan NU maka generasi muda Islam tradisional itu akan mempunyai kecerdasan dan pemahaman bahwa politik ternyata bagian dari agama Islam juga. Politik harus dikuasai dengan baik agar dalam masalah pemerintahan berjalan dengan baik dan efektif.
Selain faktor politik sebagai pendorong LP Ma’arif, yang tidak dapat penulis kesampingkan adalah faktor ekonomi.
Faktor ekonomi sangat penting sebab diatur dalam Islam juga, sebagaiman firman Allah SWT:
Artinya: bagi orang laki-laki ada bahagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi Para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu(An-Nisa’: 32) (al-Qur’an dan Terjemahan, Depag, edisi revisi, 2005).
Artinya: Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di Setiap (memasuki) mesjid, Makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan (Ali Imran: 31) (al-Qur’an dan Terjemahan, Depag, edisi revisi, 2005).
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya sebahagian besar dari orang-orang alim Yahudi dan rahib-rahib Nasrani benar-benar memakan harta orang dengan jalan batil dan mereka menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah. dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, Maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih (At-Taubah: 34) (al-Qur’an dan Terjemahan, Depag, edisi revisi, 2005).
Artinya: apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada RasulNya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota Maka adalah untuk Allah, untuk rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang Kaya saja di antara kamu. apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Amat keras hukumannya (Al-Hasyr: 7) (al-Qur’an dan Terjemahan, Depag, edisi revisi, 2005).
Demikian pula sabda Nabi Muhammad SAW:
Artinya : hampir-hampir kefakiran itu menjerumuskan seseorang pada kekafiran
Demikian pula hadits dibawah ini :
من مات دون عرضه فهوشهيد ومن مات دون ماله فهو شهيد
Artinya : barang siapa yang mati dalam membela harga dirinya maka ia mati dalam keadaan syahid, dan barang siapa mati dalam membela hartanya, maka ia mati dalam keadaan syahid.
Menurut Kahruddin Yunus (1955:29-54) sistem ekonomi dalam Islam adalah paham pertengahan dari dua sistem ekonomi ekstrim saat ini, yaitu, Kapitalis dan Sosialis. Ekstrim kanan yang dipelopori oleh kapitalis mengatakan, bahwa Negara dilarang ikut campur tangan atas hak milik individu; individu harus dibiarkan berkreasi sepuas-puasnya tanpa batas dan tanpa aturan; hak pemilikan capital (kekayaan) adalah hak mutlak individu yang berlandaskan instinktif dan libido; kebebasan harus dibiarkan secara mutlak. Sedangkan ekstrim kiri yang dipelopori oleh sosialis mengatakan, hak kepunyaan individu harus dihapus; hak kepemilikan capital (kekayaan) adalah hak Negara; setiap individu dalam menikmati kekayaanya harus sama rasa dan sama rata.
Atas kedua sudut pandang yang sama-sama ekstrim itulah Islam menyodorkan jalan keluar melalui jalan seimbang, atau sebagaimana istilah Kahruddin, sebagai jalan tengah, yaitu jalan yang dipraktekkan Rasulullah SAW, para sahabat, kemudian diteruskan oleh para dinasti yang berkakhir pada dinasti Utsmani dan baru kemudian dicoba lagi oleh negara-negara yang menerapkan hukum Islam sebagai satu-satunya sumber hukum seperti mislanya; Iran, Arab Saudi, Pakistan, Sudan, Libia, dan negara-negara yang konsisten dengan hukum-hukum Islam sebagai satu-satuya asas negara.
Secara garis besar sistem ekonomi dalam Islam adalah: hak milik individu dikaui dan dilindungi; Negara memberikan kebebasan untuk memiliki kekayaan yang sebesar-besarnya, hanya saja jangan sampai lupa bahwa kekayaan itu ada hak milik fakir miskin yang harus dikeluarkan melalui zakat; tidak diperbolehkan adanya monopoli kekayaan yang berfungsi umum; Negara diperbolehkan mengekplorasi sumber daya alam, sekaligus harus melindungi keseimbangan lingkungan itu sendiri; sistem riba secara tegas dilarang karena akan mengeksploitasi harkat dan martabat manusia dan akan menimbulkan kemalasan untuk bekerja keras (Junaidi, 2003:61-62)
Awal abad 20 umat Islam Indonesia mengalami keterpurukan dalam masalah ekonomi. Keterpurukan tersebut disinyalir karena dampak dari ulah penjajah Belanda yang telah hadir sejak 1596 dibawah pimpinan Cornelis de Houtman ke Banten. Penjajah Belanda memperkuat diri membentuk kelompok dagang dengan nama Vereenegde Oost-Indsche Compagne (VOC) pada bulan maret 1602 (Riecklefs, 1998:39). Kemudian pada tahun 1808 resmilah Indonesia menjadi jajahan negeri kapir Belanda secara sempurna dan permanent. Awan gelap menggelantung di bumi pertiwi tercinta sejak saat itu, perekonomian bangsa Indonesia dikuras kemudian diboyong kenegeri jajahan. Semakin kayalah negeri Nederland, sementara negeri kita semakin hari semakin kurus kering, kelaparan terjadi dimana-mana, wabah sampar menjangkiti sebagian besar rakyat, dan bangsa ini diperbodoh secara sistematis.
Sadar akan hal itu, umat Islam bangkit berjuang untuk membebaskan negaranya agar merdeka dari tangan penjajah Belanda. Kemerdekaan itu sangat penting sebab darinya bangsa ini dapat berubah dan dapat mengatur dirinya sendiri dengan leluasa. Kemerdekaan itu juga akan dapat mengangkat ekonomi bangsa sehingga ia akan berwibawa dimata bangsa lain.
Faktor utama untuk memandirikan faktor ekonomi ini adalah melalui dunia pendidikan sebab pendidikan sangat berkaitan erat dengan kebangkitan ekonomi. Dengan kata lain, jika pendidikan dimandirikan dan dimajukan maka sektor ekonomi umat Islam akan ikut mandiri dan maju. Itulah pendorong para ulama NU untuk membina LP Ma’arif yang lebih bermutu dan mempuni.
Disamping faktor ekonomi, faktor berikutnya adalah pendorong LP Ma’arif NU mengejawantahkan programnya. Inilah faktor sosial budaya umat Islam Indonesia.
Sosial budaya menjadi penting, karena komponen ini tidak dapat dilepaskan dari kehidupan manusia. Disamping itu, dalam kehidupan bermasyarakat, baik antara individu; individu dengan kelompok; kelompok dengan kelompok; atau individu dengan negara; kelompok dengan Negara; dan Negara dengan Negara, Islam telah memberi pengaturan dengan jelas (A.M. Junaidi,2003:64).
Dalam berinteraksi diatas, Islam tidak memandang segala perbedaan jenis kelamin atau pebedaan warna kulit serta perbedaan bangsa. Dari perbedaan keyakinan semuanya sama, sebagaimana telah disabdakan oleh Nabi SAW :
Artinnya : sesungguhnya leluhurmu adala satu, adalah Adam. Karena itu manusia adalah satu dan sema. Tidak ada perbedaan antara orang arab dan bukan arab, antara berkulit merah dan berkulit hitam, kecuali kerena ketakwaanya. (H.R. Muttafaq Alaih)
Demikian pula dalam firman Allah SWT :
Artinya : Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa – bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal (Al-Hujarat: 12) (al-Qur’an dan Terjemahan, Depag, edisi revisi, 2005).
Artinya : Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. karena itu Barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, Maka Sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang Amat kuat yang tidak akan putus. dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui Al-Baqarah: 256) (al-Qur’an dan Terjemahan, Depag, edisi revisi, 2005).
Artinya : Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan Berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang Berlaku adil (Al-Mumtahanah: 7) (al-Qur’an dan Terjemahan, Depag, edisi revisi, 2005).
Sosial budaya yang sejak semula memang sangat dijunjung dan dihargai oleh Islam dan diatur agar tetap berlandaskan syariatnya, akan tetapi sejak keredupan melanda umat ini, kounter terhadap invasi budaya asing tidak dapat dibendung lagi. Sejak itu uma Islam terpuruk ke titik nadir paling bawah, umat Islam tidak mengkonsumsi budaya kecuali budaya Barat. Padahal Allah SWT sudah memperingatkan, sebagaimana firman-Nya :
Artinya: dan orang-orang kafir bersenang-senang (di dunia) dan mereka Makan seperti makannya binatang. dan Jahannam adalah tempat tinggal mereka (Muhammad: 12) (al-Qur’an dan Terjemahan, Depag, edisi revisi, 2005).
Urgensinya masalah sosial budaya, maka untuk melindungi atau memantau generasi Islam NU agar dalam segala hal ini tetap berdasarkan kepada ajaran Islam, diajarkanlah masalah tersebut dalam lembaga pendidikan Ma’arif dari berbagai tingkatan (Thoha, 1999: 4)
FAKTOR PENGHAMBAT
Penulis berkeyakinan, bila penulis uraikan batasan dari faktor penghambat akan bertambah fokuslah kajian ini. Yang penulis maksudkan apa yang dinamakan faktor penghambat adalah suatu vareabel yang akan membuat LP Ma’rif NU akan mengalami ketersendatan di dalam laju keorganisasiannya.
Bila demikian halnya, maka kosentrasi kajian di dalam pasal ini adalah semata-mata bahasan yang berisi kajian mendalam dan menyeluruh atas faktor-faktor penghambat itu. Kemudian penulis mengkonfrontasikannya dengan perjalanan LP Ma’arif NU. Bila ada sesuatu yang perlu penulis kritisi dan kritik maka dengan sewajarnya penulis akan melakukan hal itu demi juga ikut membantu memperbaiki LP Ma’arif NU dari segi pemikiran.
Faktor-faktor penghambat itu dapat penulis petakan sebagai berikut:
Kondisi Riil Dalam Sumber Daya Manusia (SDM) Umat Islam.
Untuk melangkah pada kondisi sumber daya manusia yang mendukung di dalamn LP Ma’arif NU, ada baiknya jika penulis bahas dulu apa yang dimaksud dengan Sumber Daya Manusia (SDM) walau bahasan ini sepintas dan secara umum. Dimaksudkan, bahasan ini merupakan penunjang dalam memahami LP Ma’arif NU untuk mengimplementasikan segala programnya.
Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI, 1999: 657), Sumber Daya Manusia (SDM) diuraikan sebagai “segala sesuatu yang mempunyai kekuatan yang bersifat abstrak yang ditimbulkan oleh kekuatan akal dari dalam diri manusia yang merupakan landasan berpikir, berencana, berbuat, dan mengevaluasinya dengan cermat dan tepat”. Memperhatikan definisi tersebut, dapatlah penulis sarikan bahwa pada intinya, SDM tersebut tidak dapat dilepaskan dengan pikiran dan sangat berkaitan dengan suatu perencanaan yang matang. Dengan kata lain, SDM adalah sumber kekuatan yang berasal dari diri manusia itu sendiri, baik berupa ide, akal dan pikiran.
Inilah mungkin yang dinamakan fungsi manajemen organisasi. Dan, SDM tidak mungkin dilepaskan dari manajemen organisasi tersebut. Demikian pula dalam hal menyikapi suatu gejala dalam sebuah organisasi. Bila suatu organisasi telah mempunyai SDM yang bagus, maka pengaturan dalam hal planning, accounting, dan monitoring serta evaluating akan berjalan sesuai dengan harapan sebuah organisasi yang profesional. Jika hal demikian telah dicapai, maka problematika intern atau konflik intern akan dengan mudah dan penuh kebijaksanaan dapat diatasi dengan sempurna.
Disamping itu, dalam menghadapi persaingan dari luar, akan dihadapinya dengan wajar dan dewasa. Jadi, konflik ekstern akan dijadikan wahana memajukan lembaga atau organisasinya sendiri bagaimana ia keluar sebagai juara dari kompetisi tersebut. Bagi lembaga atau organisasi yang telah bagus dalam SDM-nya, semua tantangan di atas merupakan keniscayaan yang telah kaprah dalam dunia yang serba kompetitif ini.
Lebih lanjut, agar penulis dapat mengetahui secara wajar dan mendalam, maka di bawah ini akan disajikan penelitian penulis atas LP Ma’arif NU.
Kondisi Riil Dalam Manajemen Organisasi
Sebenarnya, dalam sebuah organisasi yang baik dan tangguh harus berpedoman kepada sistem manajemen yang baik pula. Sistem manajemen yang baik tersebut dapat penulis sebutkan sebagai berikut:
Perencanaan
Segala sesuatu harus mempunyai ide. Dari timbulnya ide maka harus dapat direncanakan dengan matang. Perencanaan yang matang dan melihat jauh ke depan akan menggambarkan bahwa proses yang hendak dijalankannya benar-benar baik dan sempurna.
Perencanaan merupakan tahab awal dari sebuah kegiatan. Bila kelak kegiatan itu telah berangkat dari perencaan, disitulah akan tercermin bahwa akan dapat lihat hasil apa yang hendak dicapai. Dan biasanya dapat mencapai yang maksimal sesuai harapan.
Pencatatan
Sesuatu yang telah direncanakan maka harus pula dicatat atau dibukukan. Maksud daripada ini adalah agar setiap perencanaan yang telah matang dapat dituangkan dalam sebuah dokumen yang tersusun secara rapi.
Pencatatan tersebut mempunyai sifat yang amat penting dalam setiap manajemen organisasi. Karena sebagai dokumen maka ia dapat dijadikan acuan atau dapat diawasi dengan sempurna. Muara dari itu, dapat dijadikan penilai apakah perjalanan organisasi tersebut sesuai dengan harapan atau tidak.
Pengawasan
Manajemen organisasi bagian ketiga adalah pengawasan. Pengawasan atau monitoring harus dilakukan agar roda perjalanan organisasi yang telah direncanakan dan dicatatkan tersebut dapat sesuai dengan keinginan yang telah direncankn sejak semula.
Pengawasan berjalan dengan lancar apabila dilakukan oleh sebuah tim yang independent. Maksudnya adalah agar dalam setiap penilaiannya tim monitoring tersebut dapat bersifat objektif dan tidak bertendensi pada koncoisme.
Penilaian
Tahab terakhir dari manajemen organisasi yang perlu dijalankan oleh setiap lembaga atau organisasi yang profesional adalah penilaian atau evaluating.
Arti signifikan dari tahab akhir ini adalah merupakan suatu yang final di mana penilaian dapat menentukan apakah akhir dari sebuah organisasi tersebut baik atau sebaliknya.
Tidak boleh tidak, kondisi riil di atas harus diakui dengan jujur oleh faunding father dari LP Ma’arif, atau warga NU secara keseluruhan. Bahwa selama ini stigma yang muncul kepermukaan menandakan bahwa lembaga yang berada di bawah naungan NU mempunyai sistem manajerial yang lemah. Manajemen organisasi yang dijalankannya masih berpatokan kepada senioritas. Sistem ini tidak mudah melangkahi yang tua jika yang tua tersebut masih mau duduk di dalam kepengurusannya. Jadilah yang tua tersebut dijadikan panutan walau sebenarnya mereka tidak mempunyai SDM yang handal.
b. Kondisi Riil Dalam Konflik Intern
Dalam kajian ini, penulis membumbuhi pasal mengenai konflik intern bukan hendak menjelekkan LP Ma’arif NU. Tetapi mau melacak suatu pikiran yang selama ini menggelayuti pikiran penulis mengapa lembaga pendidikan yang berada di bawah naungan NU selama ini cenderung lambat dalam perkembangannya. Bukan pula mau membandingkan dengan lembaga pendidikan yang dikelola oleh, misalnya, Muhammadiyah, PERSIS, atau Hidayatullah. Tapi sekedar sebagai cambuk, bolehlah penulis sedikit membandingkan dengan lembaga-lembaga di atas.
NU, sebagai institusi induk daripada LP Ma’rif, sebagaimana dikatakan oleh Fiellard (dalam Fiellard, 1999: 110), didukung juga oleh DR. Abdul A’la (dalam A’la, 3006: 38), adalah mempunyai kecendrungan konflik intern yang laten. Sehingga pada masa itu sampai timbul NU-ABRI/NU-PNI dan NU-ORLA/NU-ORBA.
Konflik intern yang berkembang dalam tubuh NU tak urung merembes kepada segala organisasi yang berada di dalam naungannya. Hal demikian dialami pula oleh LP Ma’arif NU (Aula, Juli 2003: 59).
LP Ma’arif NU sejak awal berdiri telah ada unsur ketidak stabilan dalam mengurus roda organisasi. Konflik bertambah meruncing tatkala Subchan ZE dutunjuk untuk memimpin LP Ma’arif menggantikan KH. Wahid Hasyim (Fiellard, 1999: 84). Penunjukan Subchan yang berbakat itu menjadi ketua LP Ma’arif tidak disetujui oleh ulama NU kalangan tua. KH. Idham Khilid, ketua Tanfidhiyah ketika itu, mewakili kalangan tua merespon dengan keras atas penunjukan Subchan sebagai bagian dari NU (1999: 85).
Tapi rupanya, sejak masa reformasi ini, atau setidaknya, banyak bermunculan tokoh-tokoh muda yang berbakat, seperti misalnya Masdar F. Mas’udi, Said Aqil Siraj, A. Qodri Azizy, Abd A’la, dan lain-lain, konflik intern dalam tubuh NU kerap mulai dapat diredakan (Gerbang, vol. 03, Februari-April 3000: 132). Apalagi sejak banyak bermunculannya penerbit-penerbit yang dimotori anak-anak muda NU, seperti LKiS di Yogyakarta, eLSAD di Surabaya dengan banyak menerbitkan pemikiran kaum NU muda di atas, bertambah terpadulah langkah NU ke depan. Jika hal ini terus-terusan berlangsung dengan kondusif maka rembes ke depan juga akan menyentuh LP Ma’arif NU (http://www.pb-nu.com.id.).
Maka kesimpulan yang diyakini oleh penulis, jika LP Ma’arif NU dapat dipimpin oleh orang-orang yang berbakat maka nanti lembaga pendidikan dalam naungan NU ini akan bertambah nampak kemajuannya. Dan dapat dipastikan pula lembaga pendidikan ini akan mulai sejajar dengan lembaga pendidikan lainnya, seperti Muhammadiyah, atau bahkan lembaga pendidikan Katolik-pun akan dapat disainginya. Sekali lagi lagi, jika LP Ma’arif NU mau mereformasi keadaan dirinya dari dalam.
c. Kondisi Riil Dalam Konflik ekstern.
Penjabaran mengenai konflik ekstern adalah merupkan kajian yang hendak menyoroti tantangan yang dihadapi LP Ma’arif NU dalam kompetisinya dengan lembaga lain. Terkait dengan hal ini, LP Ma’arif mempunyai tugas amat besar menghadang pemikiran keagamaan kaum modernis yang selalu mengkritik amalan-amalan kaum tradisionalis yang diwakili oleh NU, yang menganggap amalan itu bid’ah (Aula, Agustus 2003: 10).
Tak urung, hal demikian menjadi perseteruan antara LP Ma’arif NU dengan lembaga keislaman di luar NU. Pernah suatu kejadian pada tahun 1980-an menimpa lembaga pendidikan MIM (Madrasah Ibtidaiyah Ma’arif) Darul Falah di dusun Penitik, Puger, Jember, sebagaimana penulis kutib dari skripsi fathul Ulum (dalam Ulum, 2003: 67) . Dalam wawancara penulisnya dengan pengasuh, disebutkan tentang perubahan dari MIM ke SDNU, dikatakan bahwa pada waktu sekolah ini mengadakan UUB (Ulangan Umum Bersama tahun 1988) di kelas 3 ada satu item soal yang tidak mewakili amalan LP Ma’arif NU dan orang NU umumnya.
Contoh soalnya begini: Shalat Tarawih ada …… rekaat. Sedangkan jawaban ganda yang disediakan adalah: a. 10 rakaat, b. 8 rakaat, c. 14 rakaat dan d. 18 rakaat. Tak urung, soal tersebut menjadi sorotan LP Ma’arif Kecamatan Puger karena tidak ada jawaban yang mewakili amalan NU yang mengajarkan bahwa rakaat shalat tarawih adalah 20 rakaat. Karena tidak ada verifikasi dari kantor Departemen Agama kabupaten Jember, maka LP Ma’arif cabang Jember merekomendasikan kepada lembaga bawahannya se-kabupaten dapat pindah kepengurusan dari Departemen Agama ke Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Maka kemudian MIM Darul falah mengubah didirnya menjadi SDNU Darul Falah di bawah naungan Depdiknas pada tahun 1989. Sampai saat ini, nama tersebut tetap bertahan. Bahkan pada 1999 lalu telah mengembangkan menjadi SMPNU Darul Falah (Ulum, 3003: 65)
Penggambaran sebagaimana penulis sebutkan di atas adalah perwujudan bahwa antara LP Ma’arif NU dengan pihak lain memang sering terajadi insinkronisasi. Hal demikian jika tidak disikapi dengan arif dan menanamkan saling pengertian di antara lembaga-lembaga itu maka persatuan dan kesatuan umat Islam yang hendak kita capai, tentu sangat sulit.
Oleh karena itu, tokoh-tokoh NU terutama tokoh mudanya, harus dapat memberikan pengertian bahwa konflik antar lembaga harus sudah diakhiri. Dan tantangan ke depan bagi LP Ma’arif dan lainnya bukan pertentangan antar madzhab itu lagi, tetapi yang lebih berbahaya adalah invasi budaya Barat yang sepertinya tidak dapat kita bendung. Jadi, konflik ekstern yang jika dulu antara LP Ma’arif NU dengan lembaga-lembaga Muhammadiyah misalnya, saat ini harus kita tinggalkan. Di hadapan LP Ma’arif problematika umat Islam mendesak untuk cepat diselesaikan, yaitu ketertinggalan warga NU dari pendidikan modern dan kebobrokan budaya bangsa itu sendiri.
Kondisi Riil Dalam Pendanaan
Kondisi riil yang menyelimuti LP Ma’arif sehingga mengalami ketersendatan di dalam perkembangannya adalah masalah pendanaan. Di dalam aturan mainnya, sumber pendanaan LP ma’arif dapat diperoleh dari subsidi Pengurus Besar NU secara nasional, di mana hal itu dikumpulkan dari iuran para anggota NU. Sumbangan suka rela yang tidak mengikat dari para donator dan juga dari pemerintah adalah sumber pendanaan LP Ma’arif (Fiellard, 1999: 307).
Akan tetapi, karena terkait dengan kondisi riil manajemen organisasi, kemudian adanya berbagai konflik, baik intern maupun ekstern (A’la, 2003: 150), maka sumber pendanaan itu menjadi kurang berjalan dengan baik. Yang cukup memberatkan bagi pendanaan LP Ma’arif, sebagai diungkap oleh Feillard (dalam Feillard, 1999: 307) adalah bantuan pemerintah diberikan secara langsung pada sekolah-sekolah, tanpa melalui LP Ma’arif. Sehingga akibatnya, LP ma’arif dalam mengiplimentasikan segala programnya mengalami ketersendatan karena kurangnya dana pendukung dari atas. Sementara, sumber abadi dari induk organisasi, NU, keberadaannya sangat minim.
Secara faktual, banyak orang-orang sukses dalam tubuh NU ini yang siap membantu pendanaan NU dan segala perangkatnya. Tokoh-tokoh seperti Moh. Yusuf kalla, adalah juga orang NU. Para pengusaha seperti Muhammad Gobel, Toha Putra Semarang, juga orang NU. Para intelektual, seperti Prof. Ahmad Qodri Azizy, Dr. Farid F. Mas’udi, juga orang NU. Para direktur penerbit handal, di Yogyakarta ada LKiS, di Surabaya ada eLSAD, juga orang NU. Jika dari mereka itu termanajemen pemasukan rutin tiap bulan, atau jika melihat zakat 2,5% adalah tiap tahun saja, berapa uang masuk ke LP Ma’arif? Sunggguh luar biasa besar. Tapi karena manajemen organisasi di LP Ma’arif belum terkoordinasi secara optimal, jadinya mereka takut menyalurkan dananya pada lembaga ini (http://www.elsad.com).
Tentu, yang harus dioptimalkan terlebih dahulu adalah bagaimana membuat organisasi ini berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip manajemen yang baik. Tanpa ini, mustahil membuat LP Ma’arif maju.
Dari beberapa paparan data yang penulis ungkapkan di atas dapat lah penulis simpulkan bahwa faktor pendorong adanya LP Ma’arif adalah tidak terlepas dari kondisi nyata umat Islam saat itu, yaitu dalam keadaan yang amat lemah baik dalam hal sumber daya manusia atau pun dari keadaan ekonomi, sosial, pendidikan dan politik mereka.
Adapun faktor penghambat, merupakan kondisi nyata LP Ma’arif dalam perjalanan ke depan, yaitu sejak lembaga ini didirikan, sampai pada zaman kini. Penghambat utama adalah konflik intern organisasi dan kurang memenuhi atas manajemen organisai yang telah bersifat modern, yaitu tahaban-tahaban; planning, accounting, dan monitoring serta evaluating .
—-@@—-
BAB IV
KONTRIBUSI LEMBAGA PENDIDIKAN MA’RIF NAHDLATUL ULAMA DALAM UPAYA PENGEMBANGAN LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM
LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM
Pengertian Lembaga
Dalam KBBI pada edisi revisi II, pengertian lembaga secara general adalah sebuah institusi atau badan yang dijalankan dengan seperangkat aturan atau manajemen organisasi (KBBI, 1999).
Jadi penulis bisa menjabarkan berdasarkan pengertian di atas, maka jika dimaksud dengan lembaga pendidikan Islam adalah sebuah institusi atau badan pendidikan Islam yang dijalankan dengan seperangkat aturan atau manajemen organisasi yang secara umum berada di luar lembaga pendidikan Ma’arif NU, tetapi masih ada kaitannya dengan lembaga tersebut, seperti misalnya lembaga pondok-pondok pesantren; mereka mengklaim bahwa lembaga pendidikannya berada di luar LP Ma’arif. Atau dengan kata lain, lembaga pendidikan Ma’arif mempunyai pengaruh dan kontribusi dalam upaya pengembangan pendidikan Islam tersebut (Ali dan Ali, 2003: 67; Ensiklopedi Islam II, 2001: 250; Arifin, 1977: 12-15)
Pengertian Pendidikan Islam
Setelah pengertian lembaga penulis uraikan sebagai mana di atas tersebut, maka penulis tidak boleh tidak, harus menguraikan pendidikan Islam secara rinci dan akurat.
Pendidikan, jika ditelusuri secara etimologi, berasal dari kata didik. Menurut KBBI, pengertian didik adalah sinonim dengan kata ayom, emban, latih dan abdi. Kesemuanya merujuk kepada pengertian untuk mengarahkan anak agar mempunyai jiwa yang ditunjuk kata-kata di atas (1999: 356). Jika kata didik deberi awalan pen dan akhiran an, maka dalam kamus tersebut bermakna suatu proses, yaitu proses pengayoman, proses pengembanan, proses pelatihan atau proses pengabdian. Karena ia adalah proses, maka dibutuhkan suatu perjalanan panjang dan berliku, penuh onak dan duri untuk menuju pada kesempurnaan hidup. Itulah hakikat pendidikan, sebagaimana dikatakan oleh Ki Hajar Dewantara (dalam Djumhur, 1972: 134) adalah proses memanusiakan manusia kecil (anak) agar dapat, sebagaimana al-Qur’an bilang, menjadi rahmatal lil ‘alamin. Atau dalam bahasa Pancasilanya; menjadi manusia seutuhnya, yaitu cerdas lahir dan juga cerdas dalam segi batinnya.
Pengertian di atas juga senada dengan pengertian dalam bahasa Arab. Pendidikan dalam bahasa ini disebut at Tarbiyyah. Menurut Abdurrahman an Nahlawi, kata dasar at Tarbiyah berasal dari tiga akar kata, yaitu; raba-yarbu, artinya bertambah dan timbul; rabba-yarabbu, artinya memperbaiki, menguasai urusan, menentukan dan memelihara, rabiya-yarba, artinya menjadi besar (an Nahlawi, 1992: 31).
Dari ketiga akar kata di atas, an Nahlawi mempunyai kecenderungan pada akar kata yang ke dua, yaitu rabba-yarabbu. Inilah kata Rabi/Tuhan dalam bahasa Indonesia berasal. Ar Rabbu, sebagaimana pendapat al Baidhawi yang dikutip oleh an Nahlawi bahwa makna asal ar Rabb adalah at Tarbiyyah, yaitu menyampaikan sesuatu sedikit demi sedikit hingga mengalami kesempurnaan (an Nahlawi, 1992: 32). Dengan kata lain, pendidikan dalam Islam pada hakikatnya adalah ikhtiar seorang muslim untuk membantu dan mengarahkan fitrah kemanusiaan manusia supaya berkembang sampai pada tahab maksimal yang dapat dicapai sesuai dengan tujuan yang dicita-citakan (Junaidi, 2003: 39, Arifin, 1977: 12).
Sedangkan Ali Abdul Halim Mahmud, seorang tokoh Ikhwanul Muslimin Mesir dan mantan Syaikhul al akbar (rektor) al Azhar Mesir mangatakan setelah beliau menelaah sistem pendidikan Ikhwanul Muslimin:
“pandidikan dalam pandangan Islam merupakan usaha terus-menerus yang dilakukan seorang muslim dengan kesadaran tinggi untuk mengarahkan anak didik agar mengenal Rabb-nya dan sekaligus Rasul-nya dengan pembelajaran yang selalu menitikberatkan kepada dasar keimanan dan juga dapat mengaplikasikan hukum-hukum atau syari.ah Islam dalam kehidupan ini” (Mahmud, 1997: 367).
Dari berbagai pendapat di atas, dapat penulis simpulkan bahwa apa yang dimaksud dengan pendidikan dalam Islam, tidak lain, adalah menanamkan pemahaman dan hendak membentuk tingkah laku yang rabbani, yaitu selalu terpaut pada Allah SWT sebagai pencipta dan pengatur kehidupan ini, sambil tidak melepaskan tanggung-jawab sebagai khalifah di bumi demi rahmatal lil ‘alamin (kesejahteraan dunia).
Peranan Pendidikan Islam dalam Mengangkat Paredaban Umat Manusia.
Lukisan amat indah dikemukana oleh Sayid an-Nahlawi dalam buku monomentalnya berjudul Kerugian Dunia Atas Kemunduran Umat Islam. Disebutkan bahwa jika umat Islam mundur, maka peradaban dunia dan kemanusiannya juga akan ikut mundur. Sebaliknya, jika umat Islam maju, maka dunia akan kejeberetan kemajuan itu. Oleh karena itu, mereka juga akan ikut menikmati kemajuan peradaban dan merasakan kemuliaan kemanusiaannya (an-Nahlawi, 1978: 1-56). Itulah gambaran yang barkaitan dengan kondisi pendidikan umat secara makro.
Pendidikan Islam secara umum, terlepas dari pendidikan dalam tinjauan NU, Muhammadiyah, PERSIS, Hidayatullah, PERTI, al Irsyad dan lembaga pendidikan Islam lainnya, mempunyai peranan yang mata signifikan atas kemajuan umat. Sebab, Pendidikan adalah sesuatu yang esensial bagi manusia. Melalui pendidikan manusia dapat belajar menghadapi segala problematika yang ada di alam semesta ini demi mempertahankan kehidupannya. Urgensi pendidikan disinyalir dapat membentuk kepribadian seseorang; dapat menentukan prestasi dan kapabelitas serta produktifitas; dapat mengapresiasi dan memaknai kehidupan; dapat berinovasi dan berkreasi serta discovery and invintion dalam istilah sosiologinya yang artinya menemukan dan menciptakan. Atau dengan kata lain, pendidikanlah satu-satunya jalan yang dapat mengantar setiap insan mencapai pada peradaban dan kebudayaan gemilang. Karena pentingnya arti pendidikan, maka Islam menempatkannya pada kedudukan yang tertinggi (A’la, 2006: 34), sebagaimana disabdakan oleh baginda Nabi SAW:
طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِ مُسْلِمٍ وَمُسْلِمَةٍ [ رواه ابن حبا]
artinya: Mencari ilmu itu adalah merupakan kewajiban bagi seorang muslim laki-laki dan muslim perempuan. (HR. Imam Ibnu Hibban ra.). (az-Zarnuji, ttp: 5)
Pendidikan Islam yang gemilang di atas betul-betul telah mengangkat peradaban umat dalam bentuk yang amat mengagumkan. Cordova dan Baghdad adalah contoh nyata wujud peradaban itu, sampai saat ini masih dapat penulis saksikan dengan jelas.
Tapi sayang, setelah umat dipenuhi kemunduran karena cinta dunia dan takut mati, kamudian pendidikan Islam mengalami dikotomis yang amat dahsyat, sebagaimana penulis telah menyinggungya dalam tulisan awal pada penelitian ini, maka kejayaan dan keagungan kebudayaan dan peradaban itu abad demi abad terus-menerus mengalami keredupan. Kini, penulis tinggal mengecap ampas daripada pendidikan Islam yang telah melorot itu. Tinggal tanda tanya di dada, kapan umat ini kembali bangkit.
KONTRIBUSI DALAM TATARAN EPISTEMOLOGI PAHAM AHLUSUNNAH WAL JAMAAH.
Pengertian Epistemologi
Menarik untuk penulis bahas adalah tentang pengertian daripada istilah cabang filsafat ilmu ini. dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI, 1999: 268), pengertian tersebut dibahas sacara cukup mendetail, yaitu: dasar-dasar dan batas-batas ilmu pengetahuan; sesuatu yang paling mendasar dari sebuah ilmu; substansi ilmu pengetahuan; hakikat dari pengetahuan yang diperoleh oleh manusia; ilmunya ilmu pengetahuan.
Dari sederet pengertian yang dijabarkan oleh KBBI di atas, dapat penulis simpulkan bahwa yang dimaksud dengan epistemologi adalah ilmu yang membedah hakikat dari suatu ilmu pengetahuan yang menjadi pegangan manusia atau yang telah mempengaruhi kehidupan manusia.
Berkaitan dengan penjabaran tersebut, yang menjadi titik sentral dalam bahasan pada pasal ini adalah aspek pemikiran yang menjadi tolak ukur atau sebuah dasar/azaz daripada LP Ma’arif NU, kemudian kontribusi epistemologi penulis kaji apakah memang ada atas LP Ma’arif atau sebaliknya. Untuk itu, penulis terlebih dahulu memaparkan paham yang menjadi dasar NU dan LP Ma’arif.
Epistemologi Aswaja
Secara etemologi, kalimat Ahlusunnah Wal Jama’ah terbentuk dari tiga akar kata, yaitu ahl, berarti famili, kerabat atau keluarga dekat (al-Munawir, 2002: 48). Namun menurut Fairuzzabadi, sebagaimana dikutip oleh Said Aqil Siraj (dalam Siraj, 1998: 11), ahl diartikan pengikut suatu aliran.
Adapun pengertian as-Sunnah dalam kamus al-Munawir diartikan sebagai perilaku (2002:600). Ia berasal dari kata sunan yang artinya jalan. Pendapat tersebut sejalan dengan pendapat Ibnu ‘Aqil, sebagaimana dikutip oleh Muhammad Abdul Hadi al-Misri (al-Misri, 1990: 60) menyebutkan bahwa kata as-Sunnah berarti jalan dan perilaku. Pengertian as-Sunnah ini kemudian melebar dan digunakan dalam disiplin berbagai ilmu keislaman. Sehingga as-Sunnah dapat dipandang dari ulama ilmu hadis, juga dapat dipandang dari kacamata ulama ilmu kalam (teologi) dan dari pandangan ulama ilmu ushul.
Menurut pandangan ulama ilmu hadist, as-Sunnah didefinisikan sebagai segala yang dinukilkan dari Nabi SAW, baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir dan perjalanan hidup Nabi SAW, baik yang demikian itu terjadi sebelum diangkat menjadi Rasul atau pun sesudah beliau di angkat menjadi Rasulullah SAW (ash-Shiddiqi, 1964: 65).
Adapun menurut ahlul ushul, as-Sunnah didefinisikan segala sesuatu yang dinukilkan dari Nabi SAW secara khusus dan haditsnya tidak terdapat dalam Al-Qura’an, tetapi dinyatakan oleh Nabi sebagai penjelasan dalam Al-Quran untuk pertama kalinya (Al-Misri, 1990 : 60). Sedangkan menurut ahli fiqh as-Sunnah diartikan sebagai ketetapan dari Nabi yang bukan fardu dan tidak wajib (Al-Misri, 1990:60). Itulah pengertian as-Sunnah sebelum timbulnya perpecahan diatara golongan umat Islam.
Akan tetapi setelah timbul perpecahan, yang seterusnya diikuti oleh munculnya bid’ah, kata as-Sunnah sering digunakan untuk membedakan denga ahlu bid’ah. Dalam perkembangannya, banyak ulama yang kemudian mengidentifikasi kata as-Sunnah dengan keselamatan dari subhat; seputar akidah, khususnya dalam keimanan pada Allah, kitab-kitabnya, para utusannya dan hari kiamat. Begitupun keimanan masalah takdir dan keutamaan para sahabat (Al-Misri, 1990: 62).
Dalam konteks ke-NU-an pengertian as-Sunnah dipahami oleh masyarakat bukan hanya terbatas pada perilaku yang dirujukkan pada Nabi SAW, melainkan pada sahabat-sahabat Nabi (Alaena, 2000: 25).
Adapun pengertian al-Jamaah dilihat dari segi bahasa berarti kelompok. Ia berasal dari kata “jamaa” yang artinya perhimpunan (Al-Munawir, 2002: 208). Sedangkan pengertian al-jamaah dari segi istilah sangat berbeda bahkan kadang-kadang antara pengertian yang satu dengan yang lainnya saling bertolak belakang. Hal ini disebabkan ketika para ulama mendefinisikan kata al-jamaah selalu dipengaruhi oleh kondisi masyarakat saat itu (Alaena, 2000: 31).
Definisi al-jamaah yang dierikan oleh imam Al-Bukhari Ra adalah ahlul ilmi, yaitu kaum ulama atau kaum intelektual. Sedangkan imam at-Thabari mengartikan al-jamaah sebagai golongan mayoritas. Adapun imam As-Zarkasi Ra, al-jamaah diartikan sebagai golonngan kaum muslimin yang termasuk orang-orang yang mempertahankan kebenaran dimanapun mereka berada (Ismail, 1995: 17).
Kata al-jamaah juga muncul dalam sabda Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Imam At-Thabrani sebagai mana terbunyi :
Artinya: demi Tuhan yang memegang jiwa Muhammad ditangannya, akan pecah umatku sebanyak 73 firqoh, yang satu masuk surga dan yang lainnya masuk neraka, bertanya para sahabat : “ siapakah firqoh yang tidak masuk neraka itu Rasulullah? Nabi menjawab : “Ahlus sunnah wal jemaah” (HR. Imam Tabrani).
Menurut Imam Thabari, maksud hadits di atas adalah komitmen persatuan untuk mentaati perintah pimpinan, dan yang melepaskan bai’at berarti keluar dari jamaah (Ismail, 1995: 47). Definisi yang diberikan oleh Imam Thabari memang cukup tepat jika dihubungkan dengan salah satu hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Imam Abu Hurairah yang dinyatakan bahwa: “ barang siapa yang keluar dari ketaatan dan memecah belah jamaah, maka akan mati dalam keadaan jahiliyah” (Alaena, 2000:33)
Al-Mubarrok mendefinisikan al-jamaah sebagia orang-orang yang memiliki sifat-sifat keteladanan yang sempurna bedasarkan al-quran dan hadits. Sedangkan As-Syatibi, membatsi al-jamaah hanya pada para sahabat saja, dan orang-orang sesudah mereka tidak digolongkan sebagai al-jamaah (Alaena, 2000:33).
Berdasarkan uraian di atas dapat diberi kesimpulan bahwa yang dimaksud Ahlussunnah Wal Jamaah adalah suatu golongan yang mayoritas muslim yang mengklaim sebagai pengikut Nabi SAW dan menerima konsensus para sahabat dan imam mujtahid setelahnya (Alaena, 2000:34)
Apabila dirunut dari munculnya, paham aswaja tidak dapat dilepaskan dengan sejarah perkembangan Islam itu sendiri. Sebagaimana dicatat dalam sejarah Islam paling awal misalnya, dalam Sirah ibnu Hisyam, Sirah ibnu Ishak, At-Thabaqatnya At-Thabari, At-Thabaqatnya ibnu As’ad, An-Niwal Wa Nihal-nya As-syahrastani dan lain-lain disebutkan; bahwa munculnya firqoh-firqoh dalam Islam adalah bermula sejak khalifah Utsman bin Affan Ra terbunuh tahun 35 H, yang kemudian diikuti oleh pengangkatan Ali bin Abi Thalib, ternyata timbul protes keras dari Muawiyah bin Abu Sofyan yang terhitung masih kerabat dekat Utsman Bin Affan. Protes kedua dilakukan oleh Aisyah, Tolhah, dan Zubair. Mereka menuduh Ali sebagai biang keladi terbunuhnya Utsman bin Affan. Gerakan oposisi diatas menjadi perang terbuka; yang pertama pecah dalam perang Siffin, sedangkan kedua meledak dalam perang Jamal (Alaena, 2000: 35).
Dalam perang Siffin, pasukan Muawiyah hampir dapat dikalahkan. Merasa terjepit demikian, pihak Muawiyah mengajak berunding yang dikenal dengan peristiwa Tahkim. Strategi perundingan ini ternyata menguntungkan pihak Muawiyah. Akibatnya, dalam barisan Ali pecah memjadi dua kelompok. Kelompok pertama yang menolak perundingan dan ingin melanjutkan perang sampai diketahui siapa yang menang. Sedangkan pihak kedua setuju menerima arbitrasi di atas. Kelompok pertama kemudian dikenal dengan Khawarij. Sedangkan kelompok yang kedua lebih dikenal dengan Syi’ah (Abbas, 1994: 24).
Munculnya sekte-sekte keagamaan yang lebih bernuansa politis tersebut agaknya telah melahirkan trauma yang cukup mendalam disebagian kaum Muslimin. Sebabnya adalah bahwa pretensi-pretensi politik itu pada gilirannya justru yang lebih dominan dalam mewarnai corak dan fatwa keagamaan yang kemudian mereka munculkan (Alaena, 2000: 36).
Pada tahap inilah paham Aswaja muncul, yaitu setelah menyatukan para pendukung Muawiyah yang mayoritas dengan golongan as-Sunnah yang netral, tidak mendukung salah satu kubu politik diatas yang dipelopori oleh Abdullah ibnu Umar ibnu Khattab. Dari penggabungan ini kemudian melahirkan golongan yang dinamakan Ahlussunnah Wal Jamaah (Madjid, 1986: 15).
Senada dengan pandangan di atas, Al-Misri (dalam Al-Misri 1995: 65) mencatat bahwa faktor yang melatar belakangi munculnya paham Aswaja adalah karena konflik politik golongan saat itu. Dalam konteks ini golongan Aswaja merasa berkepentingan untuk menunjukkan identitas yang dimilikinya. Mereka pada dasarnya merupak golongan yang sering mengklaim sebagai pelanjut dari jalan yang ditempuh oleh Nabi dan para sahabat (Alaena, 2000:37)
Gambaran yang berbeda dikemukakan oleh Umar Hasyim (dalam Hasyim, 1978:105). Menurut Hasyim, munculnya paham Aswaja digambarkan sebagi berikut; pada saat itu muncul suatu perdebatan seputar masalah apakah Ra’yu (akal) dapat dijadikan dasar untuk menetapkan hukum sesudah al- Quran dan hadits? Perdebatan itu pada gilirannya menimbulkan dua pemikiran besar dikalangan para Mujtahid.
Pertama, ahlul Hadits; mereka hanya berpatokan pada hadits, setelah al-Quran. Hukum-hukum yang dikeluarkannya pun berpatokan kepada hadist tersebut dan tidak menggunakan ra’yu dan qiyas terhadap suatu masalah yang tidak ada dalilnya dalam hadist.
Kedua, ahlul-Ra’yu; mereka tetap berpatokan kepada al-Qur’an dan Hadits. Kemudian bila dalam keduanya tidak terdapat dalil yang qath’i, maka mereka menggunakan ra’yu atau qiyas dalam menjabarkan suatu hukum-hukum syari’ah. Jadi mereka berijtihad dengan cara mengoptimalkan kekuatan akal sebagai jalan keluar dari kebuntuan hukum di atas.
Kendati demikian, klasifikasi di atas bukanlah harga mati, sebab dalam kenyataan, ahlul Hadits tidak berarti meninggalkan akal sama sekali, demikian pula, ahlu Ra’yu tidak sama sekali meninggalkan Hadits. (Yafie, 1990: 201).
Bersamaan dengan munculnya berbagai aliran dalan Islam, timbul pula imam-imam Mujtahid yang melahirkan berbagai pemikiran dan fatwa buah dari ijtihad yang mereka lakukan, seperti misalnya Imam maliki, Imam Hambali, Imam Syafi’i , Imam Hanafi, Imam Dhahiri dan Imam at-Thabari serta lainnya yang tidak sampai pada zaman kita ini.
Pandangan yang juga sangat berbeda dikemukakan oleh Sirajuddiin Abbas, dikemukakan oleh Abbas (Abbas, 1992:16) munculnya Aswaja sejak adanya Imam Asy’ari dan Abu Mansur Al-Maturidi. Dengan mengutip kitab “Ikhtilaf sadatul Muttaqin” karangan Az-Zabidi yaitu :
Artinya: Apabila disebut kaum Ahlussunnah Waljamaah maka maksudnya ialah orang-orang yang mengikuti rumusan Asy’ari dan Abu Mansur Al-Maturidi. (Abbas, 1992: 14)
Mengidentifikasi bahwa paham Ahlussunnah Wal Jamaah merupakan rumusan Imam Asy’ari dan Maturidi dalam wilayah ilmu teologi atau ilmu kalam, maka faham ini mempunyai persoalan yang bertambah rumit, sebab ia telah menafikan paham Mu’tazilah, Khawarij dan Syi’ah (Alaena, 2000: 45).
Jika suatu identitas kemadzhaban diukur berdasarkan konsistensi mereka dalam memegang sandi-sandi syariah, maka sulit sekali untuk tidak menyatakan bahwa Mu’tazilah bukanlah teologi Aswaja. Tidak terlalu sulit memberikan alasan bahwa kebanyakan pengikut Mu’tazilah itu pengikut setia dari salah satu madzhab dalam fiqih yaitu madzhab Maliki, Syafi’ie, Hanafi dan Hambali. Abdul Jabbar misalnya yang dikenal sebagai tokoh Mu’tazilah yang sangat produktif, ternyata ia bermadzhab Syafi’ie. Sementara tokoh-tokoh lainnya benyak mengikuti madzhab Hanafi. Data ini diperkuat lagi dengan fakta bahwa para penguasa Abbasiyah saat itu juga mayoritas salah satu pengikut dari empat madzhab itu (Alaena, 2000: 43).
Ketegangan pemikiran atau terangnya dialektika pemikiran, memang tidak mungkin dihindari. Sejarah telah memberikan kesaksian bahwa ketegangan yang lebih menjurus pada pertentangan justru terjadi pada ahlul hadits dan ahlul kalam. Aliran teologi yang dipelopori oleh Asy’ariyah dan Maturidiyah selalu berhadapan dengan kelompok ahlul hadits yang dipelopori oleh Hanabilah seperti Ibnu Taimiyah kemudian dilanjutkan oleh generasi berikutnya semisal Muhammad bin Abdul Wahab (Alaena, 2000: 44).
Dalam tradisi jamiyah NU yang kemudian diformalkan menjadi kurikulum LP Ma’arif dalam mata pelajaran ke-NU-an, NU mencoba menerjemahkan ide-ide Aswaja dalam rumusan-rumusan sosial, politik dan keagamaan. Paham Aswaja yang dikembangkasn NU berpangkal pada tiga pandangan pokok yaitu mengikuti Asy’ari dan Maturidi dalam teologi; menganut salah satu madzhab yang empat dalam fiqh dan mengikuti paham Al-Junaidi dan Al-Baqillani serta Al-Ghazali dalam tasawuf (Haris, 1991: 75). Dengan berpangkal pada tiga pandangan pokok tersebut LP Ma’arif NU hendak mengantisipasi perubahan zaman terutama dalam bidang hukum dan politik, disamping menggunakan hukum Islam yakni Al-Quran, Hadits, Ijma’ dan Qiyas (Alaena, 2000: 51).
Wujud Kontribusi LP Ma’arif dalam Epistemologi Aswaja
Dari paparan panjang yang penulis kemukakan diatas, kontribusi NU yang dikejewantahkan oleh kurikulum LP Ma’arif yang bersifat Nasional, dapat disimpulkan sebagai berikut :
a. Mengajarkan paham Aswaja, yang secara teologi berpedoman pada Asy’ari dan Maturidi. Dalam fiqh berpedoman pada empat madzhab dan dalam Tasawwuf berpedoman kepada ajaran Al-Juanidi, Al-Baqillani, dan Al-Gazali (Alaena, 2000: 55)
b. Tertanamnya faham Aswaja, secara merata dalam hati kaum Muslimin Indonesia.
c. Toleransi umat Islam luar biasa tinggi akibat dari paham Aswaja yang diajarkan adalah paham moderat. (http://www.pb-nu.com.id).
KONTRIBUSI DALAM PENGEMBANGAN LEMBAGA FORMAL
LP Ma’arif NU dalam mengembangkan Madrasah atau sekolah sangat kita rasakan peranannya, diberbagai pelosok desa, sampai ke kota, madrasah atau atau sekolah yang berafiliasi dengan NU, walau tidak menggunakan nama Ma’arif NU, diyakini semakin berkembang.
Satu misal adalah Madura yang dikatakan sebagai kantong NU, berbagai lembaga dari berbagai tingkatan terus menerus bermunculan. Di Sumenep, LP Ma’arif mendirikan sekolah bercorak umum sampai pada tingkat SMA. SMA Ma’rif 1 Sumenep yang berlokasi di samping masjid Jamik Sumenep, sampai saat ini berkembang dengan eksis dengan membuka penjurusan IPA dan IPS, dengan jumlah siswa keseluruhan kelas 125 (Data di kantor TU SMA Ma’arif Sumenep, 24 Mei 2007). Walau pun sekolah ini masih jauh kalah dengan SMA 1 Muhammadiyah Sumenep yang telah memiliki siswa lebih dari 600 orang. Di Pamekasan, Sampang dan Bangkalan lembaga milik NU ini terus-menerus mengembangkan diri dengan massif walaupun terkadang, lembaga-lembaga tersebut tidak mencantumkan kaitan resmi dengan LP Ma’arif NU, akan tetapi mereka jelas sekali ke-NU-annya. Universitas Islam Madura, walau ia berada dalam lingkunga pondok Peddet, Pamekasan, akat tetapi perguruan tinggi ini adalah milik NU, oleh karena itu ia masuk dalam lingkunga LP Ma’arif NU tersebut (http://www.uim.com.id.).
Kontribusi dalam pendirian lembaga juga sangat nampak di Taman Sepanjang Sidoarjo. Dengan nama Yayasan Pendidikan Ma’arif (YPM), telah mempunyai lembaga pendidikan dari tingkat dasar sampai pada tingkat perguruan tinggi. Malah lembaga pendidikan yang berada dalam naungan YPM telah ada di berbagai kabupaten Jawa Timur dan luar Jawa, seperti di Lamongan, Trenggalek, Madiun, Surabaya, Tuban, Gresik, Nganjuk. Di luar Jawa, lembaga yang berada dalam naungan YPM adalah di Sinjai, Banjarmasin Kalimantan Selatan, Pontianak di Kalimantan Barat (Aula, Nop. 2001, http://www.pb-nu.com.id)
Di Jember, kontribusi LP Ma’arif dalam mencerdaskan kehidupan bangsa juga sangat menonjol. Universitas Islam Jember (UIJ) merupakan salah satu wujud perjuangan LP Ma’arif NU Cabang Jember dalam mencerdaskan kehidupan bangsa tersebut. UIJ berdiri sejak tahun 1984 dan sampai saat ini telah memiliki fakultas-fakultas, yaitu Tarbiyah, Hukum, FISIP, Teknik, Pertanian, FKIP dan Ekonomi. Kesemuanya telah terakreditasi dengan nilai B (http://www.uij.com.). Dalam kompleks UIJ ini juga berdiri SMA NU 1 Jember.
Di Malang, di kota dingin ini sejak tahun 1970-an telah berdiri universitas Islam, yang kemudian universitas ini bernama Universitas Islam Malang (UNISMA) yang cukup bergengsi milik LP Ma’arif. Sampai tahun 2007 ini, sebagaimana penulis lansir dari situs www.unisma.id, telah memiliki tujuh fakultas, antara lain, FKIP, Fakultas Hukum, Fakultas Ekonomi, FISIP, Fakultas Teknik, Fakultas Tarbiyah dan Fakultas Sastra dengan akreditasi yang sangat memuaskan, yaitu dengan nilai A pada masing-masing fakultas (http://www.unisma.id). Di sini berada juga jurusan Akuntansi dan Akademi bahasa asing, tetapi setingkat diploma tiga.
Juga di kota kembang, Bandung, dengan megah berdiri perguruan tinggi milik NU dengan nama Universitas Islam Bandung (Unisba). Universitas ini juga telah mempunyai berbagai fakultas yang mutunya ternyata sangat baik. Sampai pada tahun 2007 ini, sebagaimana penulis lacak dalam situs resminya, www.unisba.com.id, universitas ini telah memiliki tujuh fakultas dan empat diploma tiga, dengan fakultas komunikasinya sebagai fakultas favorit setalah fakultas komunikasi Universitas Padjadjaran. Fakultas di UNISBA antara lain; Hukum, Pertanian, Teknik, FKIP, Komunikasi, Tarbiyah, dan FISIP. Adapun diploma di UNISBA adalah Keperawatan/Kebidanan, Parawisata dan Akuntansi (http://www.unisba.com.id).
Jakarta juga LP Ma’arif tidak ketinggalan mendirikan barbagai sekolah dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi. Perguruan tinggi kepunyaan LP Ma’arif NU di Jakarta adalah Universitas Islam Jakarta (UNISJA) yang juga telah memiliki berbagai fakultas. Baik agama seperti syari’ah, tarbiyah, ushuludin dan adab, juga telah membuka fakultas-fakultas umum, seperti hukum, FKIP, ekonomi, FISIP, teknik dan kedokteran (http://www.unisja.com).
Juga, di Sumatera Utama NU mempunyai lembaga tinggi yang cukup disegani dengan nama Universitas Islam Sumatera Utara yang berada lokasi strategis di Medan. UISU, demikian universitas ini sering disebut, telah mempunyai berbagai fakultas dengan fakultas kedokterannya sebagai terfavorit. Sebagaimana penulis kutip dari www.uisu.com, universitas ini memiliki delapan fakultas, dengan enam belas jurusan, antara lain; Hukum, Tarbiyah, Ekonomi, FISIP, Sastra, Teknik, Pertanian dan Komunikasi serta beberapa diploma tiga sebagai program studi tepat guna (http://www.uisu.com.).
Di Jogjakarta sebagai kota pelajar, Universitas NU juga berdiri dengan megah. Serta di Jombang, LP Ma’arif mempunyai lembaga pendidikan sampai tingkat perguruan tinggi. Nama perguruan tinggi itu adalah Universitas Darul Ulum (UNDAR).
Lembaga-lembaga formal di atas, bukan saja berada dalam lokasi atau wilayah sebagaimana penulis sebutkan di atas. Di kantong-kantong NU lainnya, seperti di Kalimantan Selatan, apalagi di kabupaten Kandanggannya, juga di Sulawesi Selatan dengan Universitas Muslimin Indonesia-nya, dan di Gorontalo serta di Ternate, Maluku Utara. Tidak ketinggalan juga di Jayapura. Semua tempat strategis umat Islam, utamanya kaum Nahdhiyyin telah mempunyai lembaga pendidikan dari dasar sampai pun juga pada perguruan tinggi (http://www.pb-nu.com.id).
Penulis dapat menyimpulkan dalam bahasan ini, bahwa paparan fakta yang dapat penulis buktikan sebagai data, telah diketahui dengan jelas bahwa sesungguhnya NU dengan LP Ma’arif-nya telah benar-benar mempunyai nilai kontribusi yang amat besar dalam mencerdaskan kehidupan bangsa Indonesia untuk mengisi alam kemerdekaan ini dengan mendirikan lembaga pendidikan yang sesuai dengan kemajuan zaman.
KONTRIBUSI DALAM PENGEMBANGAN LEMBAGA NON FORMAL
Penulis maksudkan dengan lembaga non formal dalam bahasan ini adalah suatu pengertian yang dapat mencakup pada lembaga pondok pesantren. Inilah yang penulis maksudkan dengan istilah non formal.
Pondok pesantren yang penyebarannya merata di seluruh wilayah nusantara ini merupakan lembaga tertua yang khusus menyebarkan agama Islam (Dhafir, 1984: 12). Pendiri tertua adanya pondok pesantren adalah para mubaligh yang biasanya mereka merangkap menjadi saudagar Islam di nusantara ini sejak abad VII (Suryanegara, 1997: 231), kemudian pendirian pondok pesantren itu diteruskan oleh para wali di tanah Jawa pada abad XIII, dan seterusnya pondok pesantren menjadi landasan institusi NU. Itulah sebenarnya basis daripada NU. Dengan kata lain, NU sejak dari semula berdiri memang tidak dapat dilepaskan dari adanya pondok pesantren (Ulum, 2003: 65).
Dalam pada itu, LP Ma’arif NU sebagai departemen pendidikan dalam organisasi NU, diplot untuk mendirikan sekolah baik yang berbasis agama, atau pun juga yang berbasis umum, dimaksudkan untuk membina lembaga pendidikan yang telah ada, dalam hal ini lembaga-lembaga pendidikan di bawah pondok pesantren di atas (Thaha, 1994: 34).
Di mulai dari ponpes Darul Ulum Jombang, pada tuhun 1923 M telah mamasukkan kurikulum berbasis keduniaan, seperti matematika, fisika, kimia, fisika, ekonomi dan lainnya ke dalam sistem pengajaran yang diterapkan secara klasikal (Bruinessen, 1999: 356). Pemasukan kurikulum bersifat keduniaan di atas adalah merupakan jasa besar KH Wahid Hasyim Asy’ari yang memang sangat menyadari bahwa jika umat ingin maju kembali, sebaiknya pemahaman yang integral atas hakikat ilmu harus dikedepankan. Dalam bahasa yang lain, jika umat masih mendikotomi sebuah ilmu, yaitu bahwa ilmu ada yang Islam dan ada yang non Islam, maka sampai kapan pun umat ini tidak akan mengalami kemajuan.
Peran yang sama dengan pertumbuhan ponpes Darul Ulum juga diterapkan dalam kurikulum LP Ma’arif secara nasional. Maka kontribusi yang sangat nampak atas peran pemikiran KH Wahid Hashem Asy’ari di atas terhadap eksistensi LP Ma’arif tiada lain adalah dimasukkannya sistem pengajaran yang bersifat keduniaan itu dalam setiap sub-sistem pengajaran pondok pesantren di naungan NU di seluruh persada nusantara (Bruinessen, 1999: 332), setelah LP Ma’arif NU didirikan pada 1938 dan sekaligus KH Wahid Hashem Asy’ari sebagai ketua pertamanya (Feillard, 1999: 234).
Kontribusi LP Ma’arif NU terhadap pondok-pondok pesantren yang berafiliasi kepada NU memang tidak secara langsung dapat penulis ukur secara akurat, sebab kesulitan yang hendak penulis identifikasi adalah pondok-pondok yang secara riil tidak menggabungkan lembaga-lembaga pendidikannya pada LP Ma’arif NU (Fiellard, 1999: 314), tetapi mereka –para pengasuh pondok itu- mengaku bagian dari NU dan sistem pendidikannya juga direformasi sesuai dengan kurikulum LP Ma’arif NU, yaitu menitik beratkan kepada paham aswaja sebagai pondasi NU itu sendiri.
Dari yang sedikit atau samar jika ditarik benang merahnya itu, LP Ma’arif masih sangat berkontribusi pada lembaga non formal itu. Kontribusi yang paling utama adalah bersifat pemikiran. Demikian itu diakui oleh DR. KH Thalhah Hasan, seorang tokoh pendidikan di lembaga NU dan sekaligus sebagai pembaharu pendidikan di tubuh NU. LP Ma’arif, dan yang sering nampak kepermukaan adalah pemikiran para tokohnya, dan tidak mengatas namakan institusi tersebut, telah berhasil mencairkan citra negatif ilmu-ilmu hadhari (keduniaan) dan mamasukkannya ke kurikulum pesantren, sehingga saat ini telah sepenuhnya sama anatara kurikulum LP Ma’arif dengan kurikulum pesantren tersebut (Hasan, 2004: 270).
Di samping mempunyai kontribusi terhadap pondok-pondok pesantren yang berada dalam naungan NU, kontribusi yang lainnya juga sangat nampak kelihatan dalam lembaga non formal. Bukti konkritnya adalah pembinaan prestasi pelajar dan santri dalam naungan LP Ma’arif. LP Ma’arif secara konsisten mengadakan pelatihan pembinaan minat dan bakat, seperti pelatihan qiro’ah dan musabaqah tilatil qur’an bekerja sama dengan Jamiah al Qurra’ Wa al Huffadh, mengadakan lomba hadrah bekerja sama dengan Jam’atul Hadrah Indonesia, mengadakan pelatihan pencak silat bekerja sama dengan Pagar Nusa Indonesia. Pelatihan kepemimpinan dan kepemudaan dengan bekerja sama pada GP Ansor. Juga LP Ma’arif selalu membekalkan diri para siswanya dengan menganjurkan ikut kepanduan bekerja sama dengan kwartir nasional. Pada segi kesehatan, para siswa itu juga dianjurkan aktif pada PMR dab PMI. Itu semua segi kontribusi LP Ma’arif dari segi non formal (http://www.bp-nu.id.com).
Dari paparan di atas, dapat penulis simpulkan bahwa LP Ma’arif NU mempunyai kontribusi yang amat banyak terhadap pengembangan lembaga pendidikan yang berorientasi pada non formal sebagaimana telah penulis kemukakan di atas, yaitu pada ponpes dan lembaga di bawahnya, juga pembinaan prestasi siswa yang berkaitan dengan minat dan bakat mereka.\
Sumber : http://ahmadmuhli.wordpress.com
