MELURUSKAN DUSTA WAHABI (FIRANDA) DALAM ARTIKEL “HARAMNYA NGALAP BAROKAH YANG TIDAK SYAR’I”
MELURUSKAN DUSTA WAHABI (FIRANDA) DALAM ARTIKEL “HARAMNYA NGALAP BAROKAH YANG TIDAK SYAR’I”
Ustadz Firanda Andirja (Salafi-Wahabi),
menulis artikel di webnya berjudul “Haramnya Ngalap Barokah Yang Tidak
Syar’i”. Seperti kebiasaannya, Firanda selalu menisbatkan amaliah umat
Islam Ahlussunnah Wal-Jama’ah, yang berbeda dengan Wahabi, kepada ajaran
Syiah Rofidhoh ala Khumaini. Padahal dalam masalah tersebut, kesesatan
dan kesalahan terletak pada ajaran Wahabi sendiri, bukan pada aliran
Syiah yang dihujatnya. Meskipun menurut kami, Syiah Rofidhoh lebih buruk
dan lebih sesat dari pada Wahabi. Oleh karena itu, tulisan tersebut
perlu diluruskan, agar tidak menyesatkan banyak orang. Berikut
dialognya!
WAHABI: “Fenomena yang sangat
menyedihkan adanya sebagian orang yang mengaku bermadzhab Syafi’iyyah
berbondong-bondong untuk mengambili pasir yang ada di kuburan seseorang
yang mereka anggap wali !!, bahkan sampai-sampai kuburan tersebut
dikhawatirkan ‘ambles’ karena kehabisan pasir !!”
SUNNI: “Mengapa Anda bersedih dengan hal
itu? Apakah ulama Syafi’iyah menyatakan bahwa bertabaruk dengan tanah
makam wali hukumnya haram dan syirik? Dan apakah umat Islam Syafi’iyah
tidak boleh mengikuti madzhab lain sesama Ahlussunnah Wal-Jama’ah?
Pertanyaan ini seharusnya Anda jawab dan Anda kemukakan dalam permulaan
dan prolog artikel Anda, baru kemudian Anda sampaikan kesedihan dan
keprihatinan Anda. Jangan-jangan kesedihan Anda, hanya karena Anda
wahabi, laisa illa, dan Anda juga tidak tahu hukum tabaruk menurut umat
Islam Ahlussunnah Wal-Jama’ah.”
WAHABI: “fenomena ngalap barokah dengan
mengambili pasir dari kuburan atau mengusap-nugsap benda-benda tertentu
ternyata merupakan pola beragama kaum syi’ah rofidhoh, sebagaimana yang
telah dinyatakan oleh Al-Khumaini.”
SUNNI: “Pernyataan Anda berangkat dari
ketidaktahuan Anda saja. Anda selalu menisbatkan amaliah umat Islam yang
berlawanan dengan Wahabi, kepada ajaran Syiah Rofidhoh ala Khumaini.
Pernyataan Anda pasti menyenangkan orang Syiah, karena Syiah akan merasa
banyak umatnya. Umat Islam nahdhiyyin bukan murid Khumaini wahai
Wahabi. Bertabaruk dengan tanah atau pasir makam seorang wali,
dibolehkan dalam madzhab fiqih SUNNI. Al-Imam Ahmad bin Yahya
al-Wansyarisi al-Maliki (wafat tahun 914 H) berkata:
حمل تراب المقابر للتبرك
وسئل أحمد بن بكوت عن تراب
المقابر الذي كان الناس يحملونه للتبرك هل يجوز أو يمنع؟ فأجاب هو جائز ما
زال الناس يتبركون بقبور العلماء والشهداء والصالحين وكان الناس يحملون
تراب سيدنا حمزة بن عبد المطلب في القديم من الزمان فإذا ثبت أن تراب سيدنا
حمزة يحمل من قديم الزمان فكيف يتمالأ أهل العلم باالمدينة على السكوت عن
هذه البدعة المحرمة ؟ هذا من الأمر البعيد. قلت من هذا القبيل ما جرى عليه
عمل العوام في نقل تراب الشيخ أبي يعزى وتراب ضريح الشيخ أبي غالب
النيسابوري للاستشفاء من الأمراض والقروح المعضلة. (الإمام أبي العباس أحمد
بن يحيى الونشريسي، المعيار المعرب والجامع المغرب عن فتاوى أهل أفريقية
والأندلس والمغرب، 1/330).
“Hukum membawa tanah makam untuk tabaruk.
Ahmad bin Bakut ditanya tentang tanah
makam yang dibawa oleh orang-orang karena tujuan tabaruk apakah boleh
atau dilarang? Lalu beliau menjawab: “Hal tersebut boleh. Orang-orang
(umat Islam), selalu bertabaruk dengan makam para ulama, syuhada dan
orang shaleh. Orang-orang selalu membawa tanah/debu makam Sayyidina
Hamzah bin Abdul Mutthalib sejak masa lampau. Apabila telah tetap bahwa
tanah makam Sayyidina Hamzah selalu dibawa sejak masa silam, maka
bagaimana mungkin para ulama Madinah akan bersepakat mendiamkan bid’ah
yang diharamkan ini? Ini jauh dari kemungkinan. Aku berkata: “Termasuk
bagian hukum boleh ini, adalah pengamalan orang kebanyakan yang berlaku,
berupa membawa tanah makam Syaikh Abu Yi’za dan tanah makam Syaikh Abu
Ghalib an-Naisaburi untuk kesembuhan dari banyak penyakit dan bisul yang
sulit disembuhkan.” (Al-Imam Abul-‘Abbas Ahmad bin Yahya al-Wansyarisi,
al-Mi’yar al-Mu’rib wa al-Jami’ al-Mughrib ‘an Fatawa Ahli Afriqiyah wa
al-Andalus wa al-Maghrib, juz 1 hal. 330).
WAHABI: “tidak ada seorangpun yang
meragukan kekuasaan Allah. Jangankan pasir…bahkan jika Allah berkehendak
tentunya Allah mampu menjadikan apapun sebagai obat –bahkan kotoran-!!.
Akan tetapi mana dalilnya…?, mana ayatnya…?, mana haditsnya…?, mana
amal perbuatan/perkataan sahabat…?, mana perbuatan tabi’in…?, mana
perbuatan/perkataan 4 imam madzhab…?, yang menunjukkan bahwa Allah telah
menjadikan pasir di kuburan orang sholeh sebagai obat??”
SUNNI: “Pertanyaan Anda sungguh keliru.
Anda harusnya menyampaikan dalil al-Qur’an, hadits, atsar dan pernyataan
para ulama yang melarang tabaruk dengan tanah kuburan wali. Ternyata
Anda tidak melakukannya. Anda justru bertanya kepada lawan bicara Anda.
Justru kalau kami bertanya balik, bisakah Anda menjawab wahai Wahabi?
Mana dalil al-Qur’an, hadits, atsar shahabat dan salaf yang mengharamkan
dan mensyirikkan tabaruk dengan tanam makam wali???? Jelas tidak ada.
Anda pasti tidak bisa menjawab, kecuali dengan atsar dari Syaikh Ibnu
Taimiyah al-Harrani, kalau ada. Adapun kami, pasti bisa menjawab
pertanyaan Anda. Berikut dasar-dasar umat Islam bertabaruk dengan tanah
kuburan para auliya dan orang shaleh:
1) Hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha
عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ رَسُولَ
اللهِ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ إِذَا اشْتَكَى الإِنْسَانُ الشَّىْءَ
مِنْهُ أَوْ كَانَتْ بِهِ قَرْحَةٌ أَوْ جَرْحٌ قَالَ النَّبِىُّ -صلى الله
عليه وسلم- بِإِصْبَعِهِ هَكَذَا وَوَضَعَ سَبَّابَتَهُ بِالأَرْضِ ثُمَّ
رَفَعَهَا « بِاسْمِ اللهِ تُرْبَةُ أَرْضِنَا بِرِيقَةِ بَعْضِنَا
لِيُشْفَى بِهِ سَقِيمُنَا بِإِذْنِ رَبِّنَا ». متفق عليه.
“Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, bahwa
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, apabila seseorang mengeluhkan
sakit kepada beliau, atau pada dirinya terdapat bisul dan luka, maka
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata, dengan jari-jarinya begini,
dan meletakkan telunjuknya ke tanah kemudian mengangkatnya: “Dengan nama
Allah, tanah bumi kita, dengan ludah sebagian kita, agar supaya orang
kita yang sakit disembuhkan oleh sebabnya, dengan restu Tuhan kita.” HR
Bukhari dan Muslim.
Dalam mengoemntari hadits tersebut, Ibnu Qayyimil Jauziyah berkata:
وَمَعْنَى الْحَدِيثِ: أَنَّهُ
يَأْخُذُ مِنْ رِيقِ نَفْسِهِ عَلَى أُصْبُعِهِ السَّبَّابَةِ، ثُمَّ
يَضَعُهَا عَلَى التُّرَابِ فَيَعْلَقُ بِهَا مِنْهُ شَيْءٌ، فَيَمْسَحُ
بِهِ عَلَى الْجُرْحِ، وَيَقُولُ هَذَا الْكَلَامَ لِمَا فِيهِ مِنْ
بَرَكَةِ ذِكْرِ اسْمِ اللهِ، وَتَفْوِيضِ الْأَمْرِ إِلَيْهِ،
وَالتَّوَكُّلِ عَلَيْهِ، … وَهَلِ الْمُرَادُ بِقَوْلِهِ: ” تُرْبَةُ
أَرْضِنَا ” جَمِيعُ الْأَرْضِ أَوْ أَرْضُ الْمَدِينَةِ خَاصَّةً؟ فِيهِ
قَوْلَانِ، وَلَا رَيْبَ أَنَّ مِنَ التُّرْبَةِ مَا تَكُونُ فِيهِ
خَاصِّيَّةٌ يَنْفَعُ بِخَاصِّيَّتِهِ مِنْ أَدْوَاءٍ كَثِيرَةٍ، … وَإِذَا
كَانَ هَذَا فِي هَذِهِ التُّرْبَاتِ، فَمَا الظَّنُّ بِأَطْيَبِ تُرْبَةٍ
عَلَى وَجْهِ الْأَرْضِ وَأَبْرَكِهَا، وَقَدْ خَالَطَتْ رِيقَ رَسُولِ
اللهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -، وَقَارَنَتْ رُقْيَتَهُ
بِاسْمِ رَبِّهِ، وَتَفْوِيضِ الْأَمْرِ إِلَيْهِ، (ابن قيم الجوزية، زاد
المعاد، 4/187).
“Makna hadits tersebut, Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam mengambil ludah beliau pada jari telunjuknya, lalu
meletakkannya ke tanah, sehingga ada tanah yang menempel, lalu beliau
usapkan pada luka dan mengucapkan kalimat tadi, karena isinya terdapat
berkah Nama Allah, menyerahkan urusan kepada-Nya… Apakah yang dimaksud
dengan tanah bumi kam, berlaku bagi semua bumi atau khusus tanah
Madinah? Dalam hal ini ada dua pendapat. Tidak diragukan lagi, bahwa
sebagian tanah memiliki khasiat yang bermanfaat bagi banyak penyakit…
apabila hal ini berlaku dalam semua tanah ini, lalu bagaimana dengan
tanah yang paling suci di muka bumi dan tanah yang paling berkah, dan
telah bercampur dengan ludah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,
dan ruqyah beliau bersama Nama Tuhannya dan menyerahkan urusan
kepada-Nya?” (Ibnu Qayyimil Jauziyah, Zadul Ma’ad, juz 4 hal. 187).
Pernyataan di atas menyimpulkan, bahwa
tanah itu ada barokahnya. Kalau memang ada barokahnya, berarti
bertabaruk hukumnya tidak ada-apa dan syar’i. Bukankah begitu wahai
kawan??
2) Hadits Abu Ayyub al-Anshari radhiyallahu ‘anhu
عَنْ دَاوُدَ بْنِ أَبِيْ
صَالِحٍ قَالَ: أَقْبَلَ مَرْوَانُ يَوْمًا فَوَجَدَ رَجُلاً وَاضِعًا
وَجْهَهُ عَلىَ الْقَبْرِ فَقَالَ أَتَدْرِيْ مَا تَصْنَعُ فَأَقْبَلَ
عَلَيْهِ فَإِذًا هُوَ أَبُوْ أَيُّوْبَ فَقَالَ نَعَمْ جِئْتُ رَسُوْلَ
اللهِ صلى الله عليه وسلم وَلَمْ آَتِ الْحَجَرَ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ
صلى الله عليه وسلم يَقُوْلُ لاَ تَبْكُوْا عَلىَ الدِّيْنِ إِذَا وَلِيَهُ
أَهْلُهُ وَلَكِنْ اِبْكُوْا عَلَيْهِ إِذَا وَلِيَهُ غَيْرُ أَهْلِهِ.
(َروَاهُ أَحْمَدُ وَالطَّبَرَانِيُّ وَابْنُ أَبِيْ خَيْثَمَةَ
وَصَحَّحَهُ الْحَاكِمُ وَالذَّهَبِيُّ والسُّيُوْطِيُّ).
“Dawud bin Abi Shalih berkata: “Pada
suatu hari Marwan datang, lalu menemukan seorang laki-laki menaruh
wajahnya di atas makam Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Marwan
berkata: “Tahukan kamu, apa yang kamu perbuat?” Lalu laki-laki tersebut
menghadapnya, ternyata ia sahabat Abu Ayyub. Lalu ia menjawab: “Ya, aku
mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, bukan mendatangi batu. Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Jangan tangisi agama apabila diurus oleh ahlinya. Akan tetapi tangisilah agama apabila diurus oleh bukan ahlinya.”
Dalam hadits di atas, sahabat Abu Ayyub
al-Anshari radhiyallahu ‘anhu bertabaruk dengan mencium makam Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam.
3) Sahabat Abdullah bin Umar
radhiyallahu ‘anhuma meletakkan tangan kanannya ke makam Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam setiap datang dari perjalanan.
عَنْ نَافِعٍ، أَنَّ ابْنَ
عُمَرَ ، كَانَ إِذَا قَدِمَ مِنْ سَفَرٍ صَلَّى سَجْدَتَيْنِ فِي
الْمَسْجِدِ، ثُمَّ يَأْتِي النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم فَيَضَعُ يَدَهُ
الْيَمِينَ عَلَى قَبْرِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم وَيَسْتَدْبِرُ
الْقِبْلَةَ ثُمَّ يُسَلِّمُ عَلَى النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم ثُمَّ
عَلَى أَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ. (رَوَاهُ الْقَاضِيْ فِيْ فَضْلِ الصَّلاَةِ
عَلىَ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم بِإِسْنَادٍ حَسَنٍ).
“Dari Nafi’, bahwa apabila Ibnu Umar
datang dari suatu perjalanan, ia menunaikan shalat dua raka’at di
Masjid, lalu mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu meletakkan tangan kanannya ke makam Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan membelakangi kiblat, kemudian mengucapkan salam kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, kemudian kepada Abu Bakar dan Umar radhiyallahu ‘anhuma”. (Al-Qadhi Ismail al-Baghdadi, Fadhl al-Shalat ‘ala al-Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, hal. 84.)
4) Muhammad bin al-Munkadir, ulama
terkemuka generasi tabi’in meletakkan pipinya ke makam Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam ketika tidak bisa berkata-kata. Al-Hafizh Ibnu Asakir
dan al-Dzahabi meriwayatkan:
عَنْ إِسْمَاعِيْلَ بْنِ
يَعْقُوْبَ التَّيْمِيِّ قَالَ كَانَ مُحَمَّدُ بْنِ الْمُنْكَدِرِ
يَجْلِسُ مَعَ أَصْحَابِهِ قَالَ فَكاَنَ يُصِيْبُهُ صُمَاتٌ فَكَان
يَقُوْمُ كَمَا هُوَ حَتَّى يَضَعَ خَدَّهُ عَلىَ قَبْرِ النَّبِيِّ صلى
الله عليه وسلم ثُمَّ يَرْجِعُ فَعُوْتِبَ فِيْ ذَلِكَ فَقَالَ إِنَّهُ
يُصِيْبُنِيْ خَطْرَةٌ فَإِذَا وَجَدْتُ ذَلِكَ اِسْتَغَثْتُ بِقَبْرِ
النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم وَكَانَ يَأْتِيْ مَوْضِعًا مِنَ
الْمَسْجِدِ فِي السَّحَرِ يَتَمَرَّغُ فِيْهِ وَيَضْطَجِعُ فَقِيْلَ لَهُ
فِيْ ذَلِكَ فَقَالَ إِنِّيْ رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم
فِيْ هَذَا الْمَوْضِعِ أُرَاهُ قَالَ فِي النَّوْمِ.
“Ismail bin Ya’qub al-Taimi berkata:
“Muhammad bin al-Munkadir duduk bersama murid-muridnya. Lalu ia tidak
bisa berbicara. Lalu ia berdiri, sehingga menaruh pipinya ke makam Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
Lalu ia kembali. Lalu ia ditegur karena perbuatannya itu. Ia berkata:
“Aku terkena penyakit yang berbahaya. Apabila aku rasakan hal itu, aku
beristighatsah dengan makam Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam”. Ia sering mendatangi suatu tempat di Masjid Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
pada waktu sahur, berguling-guling dan tidur miring di situ. Lalu
ditanya tentang hal tersebut. Ia menjawab: “Aku pernah melihat
Rasulullah di tempat ini.” Aku mengira, ia melihatnya dalam mimpi”. (Ibnu Asakir, Tarikh Dimasyq (56/50-51) dan al-Dzahabi, Siyar A’lam al-Nubala’ (5/358-359).
5) Al-Husain bin Abdullah bin Abdullah
bin al-Husain, tokoh ahlul-bait dari generasi Salaf. Al-Hafizh
al-Sakhawi al-Syafi’i meriwayatkan:
قَالَ يَحْيَى بْنُ الْحَسَنِ
بْنِ جَعْفَرٍ فِيْ كِتَابِهِ أَخْبَارِ الْمَدِيْنَةِ وَلَمْ أَرَ فِيْنَا
رَجُلاً أَفْضَلَ مِنْهُ، كَانَ إِذَا اشْتَكَى شَيْئاً مِنْ جَسَدِهِ:
كَشَفَ الْحَصَى عَنِ الْحَجَرِ الَّذِيْ كَانَ بِبَيْتِ فَاطِمَةَ
الزَّهْرَاءِ يُلاَصِقُ جِدَارَ الْقَبْرِ الشَّرِيْفِ، فَيَمْسَحُ بِهِ.
“Yahya bin al-Hasan bin Ja’far
berkata dalam kitabnya Akhbar al-Madinah: “Aku belum pernah melihat
orang yang lebih utama dari al-Husain bin Abdullah di antara kami
ahlul-bait. Kebiasaannya, apabila ia merasakan sakit pada sebagian
tubuhnya, ia membuka kerikil dari batu yang di rumah Fathimah al-Zahra
yang menempel ke makam Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang mulia.
Lalu ia mengusapkannya.” (Al-Hafizh al-Sakhawi, al-Tuhfah al-Lathifah fi Tarikh al-Madinah al-Syarifah (1/292).
6) Al-Imam Ahmad bin Hanbal, pendiri
madzhab Hanbali yang diakui oleh Salafi-Wahabi sebagai madzhab mereka
dan madzhab Ibnu Taimiyah, telah berfatwa bolehnya bertabaruk dengan
cara menyentuh dan mencium mimbar atau makam Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dengan tujuan taqarub kepada Allah. Abdullah, putra al-Imam Ahmad bin Hanbal meriwayatkan:
سَأَلْتُهُ عَنِ الرَّجُلِ
يَمَسُّ مِنْبَرَ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم وَيَتَبَرَّكُ بِمَسِّهِ
وَيُقَبِّلُهُ وَيَفْعَلُ بِالْقَبْرِ مِثْلَ ذَلِكَ أَوْ نَحْوَ هَذَا
يُرِيْدُ بِذَلِكَ التَّقَرُّبَ إِلَى اللهِ جَلَّ وَعَزَّ فَقَالَ لَا
بَأْسَ بِذَلِكَ
“Aku bertanya kepada ayahku tentang
laki-laki yang menyentuh mimbar Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, ia
bertabaruk dengan menyentuhnya dan menciumnya, dan ia melakukan hal yang
sama ke makam Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam atau yang sesamanya, ia
bertujuan mendekatkan diri kepada Allah dengan hal tersebut. Beliau
menjawab: “Tidak apa-apa”. (Abdullah bin al-Imam Ahmad, al-‘Ilal wa
Ma’rifah al-Rijal (2/492).
7) Al-Hafizh Abdul Ghani al-Maqdisi
al-Hanbali, bertabaruk dengan menyentuh makam al-Imam Ahmad bin Hanbal,
ketika tangannya terkena penyakit bisul yang lama tidak dapat sembuh.
WAHABI: “Fenomena ngalap berkah dengan
cara yang salah dan tidak disyari’atkan telah diperingatkan oleh para
ulama madzhab syafi’iyah sejak zaman dahulu. (Silahkan tela’ah kitab
جُهُوْدُ الشَّافِعِيَّةِ فِي تَقْرِيْرِ تَوْحِيْدِ الْعِبَادَةِ karya DR
Abdullah bin Abdil ‘Aziz Al-’Anqori, hal 581-595)”
SUNNI: “Sayang sekali, Anda wahai Wahabi
tidak menyuruh pembaca merujuk kepada kitab-kitab Syafi’iyah. Tetapi
Anda justru menyuruh kami merujuk kepada kitab Wahabi yang Anda
sampaikan di atas. Kami tidak perlu merujuk kitab Wahabi tersebut.
Cukuplah kitab-kitab ahli hadits dan ulama Ahlussunnah Wal-Jama’ah
seperti di atas yang menjadi rujukan kami.”
Setelah keterangan di atas, Firanda
Andirja mengutip pernyataan para ulama Syafi’iyah seperti al-Imam
al-Baihaqi, al-Imam an-Nawawi, al-Imam Ibdu Daqiqil-‘Id dan al-Hafizh
Ibnu Hajar, seakan-akan mereka anti tabaruk dengan makam Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam dan para auliya’. Firanda sepertinya hanya
copas dari kitab Wahabi yang ditunjukkannya di atas. Ia sepertinya tidak
pernah membaca sampai tamat kitab-kitab Syafi’iyah yang dijadikannya
rujukan dalam tulisan artikelnya. Seandainya Firanda membaca kitab-kitab
Syafi’iyah yang ditunjukkannya sampai tamat, ia akan tahu, bahwa para
ulama Syafi’iyah tersebut justru menganjurkan tabaruk dengan peninggalan
orang shaleh dalam banyak tempat dalam kitab tersebut. Misalnya al-Imam
al-Nawawi, dalam Syarh Shahih Muslim berkata:
فيه التبرك بآثار الصالحين واستعمال فضل طهورهم وطعامهم وشرابهم ولباسهم
“Hadits tersebut mengandung anjuran
bertabaruk dengan peningggalan orang shaleh, memakai sisa air suci
mereka, makanan, minuman dan pakaian mereka.” (Al-Imam an-Nawawi, Syarh
Shahih Muslim, juz 4 hal. 219).
Pernyataan seperti di atas tidak pernah
terbaca oleh Ustadz Firanda. Padahal al-Imam al-Nawawi menganjurkan
tabaruk, dalam kitab tersebut dalam 15 tempat lebih, berdasarkan
hadits-hadits shahih. Demikian pula al-Hafizh Ibnu Hajar, dalam
Fathul-Bariy banyak menganjurkan tabaruk dengan atsar orang shaleh,
tetapi Firanda tidak pernah membacanya. Wallahul-musta’an.
WAHABI: “Pengingkaran Al-Imam
Asy-Syafi’i terhadap orang-orang yang bertabarruk dengan songkok Al-Imam
Malik. … Akhirnya Imam al-Syafi’i menulis bantahan terhadap Imam Malik,
gurunya. Hal ini sebagaimana diriwayatkan oleh al-Baihaqi Manaaqib
Asy-Syaafi’i 1/508-509)”.
SUNNI: “Menurut hemat kami, riwayat di
atas tidak bisa dijadikan dasar bahwa al-Imam al-Syafi’i melarang
bertabaruk dengan atsar orang shaleh seperti al-Imam Malik. Kalau
Firanda mau jujur, al-Imam al-Syafi’i menulis bantahan terhadap Imam
Malik, gurunya, karena dua hal. 1) penduduk Andalusia terlalu fanatik
kepada Imam Malik sampai-sampai menjadikan songkok beliau sebagai sarana
tabaruk. 2) karena fanatiknya mereka selalu menolak hadits-hadits
shahih ketika berbeda dengan pendapat Imam Malik. Perlu dicamkan, sikap
Imam al-Syafi’i tersebut karena dua hal, bukan murni karena tabaruk
dengan songkok. Mengapa demikian? Riwayat yang Anda kutip jelas sekali.
Disamping itu Imam al-Syafi’i sendiri ternyata bertabaruk dengan air
rendaman baju muridnya, al-Imam Ahmad bin Hanbal. Al-Imam al-Syafi’i
meminta muridnya, al-Rabi’ agar merendam baju tersebut, lalu airnya
beliau usapkan ke wajahnya dengan tujuan tabaruk. Padahal sudah
dimaklumi, al-Qur’an dan Hadits tidak pernah menegaskan keberkahan baju
al-Imam Ahmad bin Hanbal. (Riwayat al-Hafizh Ibnu Asakir [Tarikh Madinah Dimasyq, V/311], al-Hafizh Ibnu al-Jauzi [Manaqib al-Imam Ahmad bin Hanbal, 610], al-Hafizh Abdul Ghani al-Maqdisi dalam Mihnah al-Imam Ahmad bin Hanbal dan Tajuddin al-Subki, [Thabaqat al-Syafi’iyyah al-Kubra, II/35]).
Kemudian Ustadz Firanda Andirja menulis
judul “Pengingkaran para ulama Syafi’iyah atas orang-orang yang mengusap
Maqom Ibrahim karena ngalap berkah” dan mengutip pernyataan banyak
ulama Syafi’iyah yang melarang mengusap maqom Ibrahim. Semuanya tidak
berkaitan dengan hukum tabaruk dengan tanah makam para wali yang
diinginkan Firanda. Dan cukup bagi kami, bahwa banya para ulama
Hanabilah sendiri, (madzhab Hanbali, adalah madzhab resmi Wahabi Saudi
Arabia, sebagaimana ditegaskan oleh Syaikh Ibnu Baz dalam banyak
fatwanya), membolehkan bertabaruk dengan menyentuh dan mencium makam
orang shaleh, seperti ditegaskan oleh al-Imam Ibrahim al-Harbi (murid
Imam Ahmad bin Hanbal), Syaikh Mar’iy bin Yusuf al-Karomi dalam Ghayatul
Muntaha, al-Mirdawi dalam al-Inshaf, dan lain-lain. Sebelumnya telah
kami kutip, Imam Ahmad membolehkan bertabaruk dengan mencium makam dan
mimbar Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Bukankah begitu wahai kawan???
Wallahu a’lam.
Wassalam
Muhammad Idrus Ramli
Sumber : http://www.idrusramli.com/