Untuk Disimak
Penulis: Muhammad Idrus Ramli
Penerbit: Bina Aswaja Surabaya
ISBN: 978-602-99206-8-0
Tahun:2012
Halaman: VIII dan 128 Halaman
Sebuah buku baru karangan Ustadz Idrus
Ramli kembali diluncurkan. Buku berjudul Jurus Ampuh Membungkam HTI ini
merupakan sejenis tabayyun (klarifikasi) atas konsep khilafah yang benar sesuai pemahaman ulama salaf dan khalaf.
Dalil-dalil yang diajukan dalam buku ini begitu memikat dan mampu
menusuk jantung pertahanan logika HTI secara umum dan khusus.
Buku yang merupakan dialektika antara penulis dengan seorang tokoh nasional HTI, Hafidz Abdurrahman dalam Majalah Alkisah betul-betul disajikan dalam format ilmiah dialogis yang menarik.
Referensi yang dirujuk buku ini merupakan kitab-kitab ahlusunnah wal
jamaah selain kitab-kitab karangan pendiri HTI sendiri, Syekh Taqiyyudin
Al Nabhani. Alur logika dan argumentasinya dibangun berdasar metode munaqadhah yaitu menghadapi lawan dengan menggunakan argumentasi lawan. Metode munaqadhah sendiri
adalah metode ampuh yang pada abad ini dikenalkan oleh ulama ahlusunnah
wal jamaah Saudi, almarhum Sayyid Muhammad bin Alwi Al Maliki Al Hasani
dalam Mafahim Yajibu an Tushahhah. Buku inipun juga
menggunakan metode yang sama. Argumentasi yang dibangun HTI dari
kitab-kitab ulama ahlusunnah wal jamaah dipatahkan oleh penelusuran
ilmiah ustadz Idrus Ramli terhadap kitab-kitab rujukan HTI tersebut.
Contohnya dalam kitab-kitab karangan ulama ahlusunnah wal jamaah yang
dikesankan mendukung khilafah dan sering dikutip oleh DPP HTI yaitu
Syaikh Hasan Al A-Aththar dalam Hasyiyah Jam’ul Jawami’, Al Safarini al Hanbali dalam Lawami’ al Anwar Al Bahiyyah wa Sawathi’ Al Asrar al Atsariyah serta Ibnu Hajar Al Haytami dalam Shawaiqul Muhriqah.
Pada kitab-kitab muktabarah tersebut ustadz Idrus Ramli mampu
memberikan penjelasan baik bahwa para ulama tersebut memang menganggap ahammu al wajibat
terhadap khilafah namun tak seekstrim pendiri Hizbut Tahrir. Idrus
Ramli juga menunjukkan kesamaan konsep para ulama ahlusunnah wal jamaah
tentang khilafah yang sebenarnya hanya berusia 30 tahun plus khilafah minhaj nubuwah Umar bin Abdul Azis.
Ustadz Idrus Ramli juga menyuguhkan fakta pendapat ulama ahlusunnah
wal jamaah tentang khilafah sejak Imam Syafi’i, Imam Ahmad bin Hanbal,
Imam Sufyan Al Tsauri yang menyebut khilafah itu hanya terdapat pada
lima figur yaitu khulafaur rasyidin dan Umar bin Abdul Azis,
adapula yang menyertakan Sayyidina Hasan bin Ali sebagai khalifah
seperti pendapat Imam Ali Al Qari dan Imam Al Munawi. Bahkan, buku ini
juga menyertakan ucapan Muawiyah sendiri yang menyebut dirinya sebagai
raja dan ucapan sahabat Sa’ad bin Abi Waqqash terhadap Muawiyah yang
menyebut Muawiyah sebagai raja.
Jelas, bahwa Muawiyah sendiri menyebut dirinya sebagai raja, bukan
khilafah (halaman 20). Tapi mengapa aktivis pro khilafah memaksakan
pendapat bahwa dinasti Ummayah sampai Usmaniyah sebagai khilafah. Ustadz
Idrus Ramli juga mengulas secara baik khilafah Imam Mahdi yang dinubuwwahkan oleh
Nabi di akhir zaman. Terdapat kontradiksi dalam pemahaman aktivis pro
khilafah tentang kekhalifahan Imam Mahdi dan kekhalifahan sebelumnya,
dimana ini dijelaskan oleh Ustadz Idrus Ramli secara detail sepanjang 15
halaman (halaman 25-40). Ada satu pertanyaan penting, jika seandainya
Hizbut Tahrir benar-benar sukses mendirikan khilafah, akankah
kekhalifahan itu akan menentang kekhalifahan Imam Mahdi yang mutawatir
dikabarkan Rasulullah. Apalagi menurut buku ini dan juga buku sebelumnya
Hizbut Tahrir Dalam Sorotan disebutkan bahwa Hizbut Tahrir berpaham non
ahlusunnah wal jamaah.
Fakta kontradiktif ekstrimisme Syekh Taqiyyudin Al Nabhani juga
disertakan oleh ustadz Idrus Ramli. Menurut pendiri Hizbut Tahrir
tersebut bahwa kewajiban mengangkat Khilafah adalah kewajiban mutlak
yang tidak tergantung dengan mampu atau tidaknya kaum muslim untuk
melakukannya, hal ini dibantah oleh penulis melalui pendapat Imam Abu
Amr Al Dani. Ustadz Idrus Ramli juga menyuguhkan pendapat ulama
ahlusunnah wal jamaah yang menolak bahwa jika tak ada khilafah lalu kaum
muslim wajib membangunnya kembali. Dengan mengutip Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, penulis buku ini menyebut bahwa umat Islam tak berdosa jika tak mendirikan khilafah, tapi yang berdosa hanyalah ahlul halli wal aqdi dan mereka yang layak menjadi Imam (halaman 47).
Bab-bab terakhir buku ini juga menyuguhkan tabayyun tentang akidah
ahlusunnah wal jamaah yang secara nyata diserang oleh pendiri Hizbut
Tahrir, Syekh Taqiyyudin Al Nabhani. Kajian tentang akidah dan fikih
politik disertakan sejak halaman 62 sampai akhir buku ini. Walhasil, membaca buku tipis tapi berbobot semacam ini akan mampu mengail informasi berlimpah tentang konsep khilafah sebenarnya.
* Peresensi : Syarif Hidayat Santoso (Pengurus LTN MWC NU Kota Sumenep)
Penulis : Muhammad Idrus Romli
Editor: Achmad Ma’ruf Asrori
Penerbit: Khalista, Surabaya
Cetakan: I, 2012Tebal: v + 82 hlm.
Buku kecil “Bernarkah Tahlilan dan Kenduri Haram”, yang
sederhana ini ditulis oleh salah seorang anak muda NU dan sangat
produktif menulis berasal dari Jember. Kehadiran buku ini dilatar
belakangi saat penulis mengisi acara daurah pemantapan
Ahlussunnah Waljama’ah di salah satu Pesantren di Yogyakarta. Ketika
sampai dalam sesi tanya jawab, ada salah seorang peserta mengajukan
pertanyaan kepada penulis tentang hukum selamatan kematian, tahlilan dan
yasinan. Selain itu penaya juga memberikan selebaran Manhaj Salaf,
setebal 14 halaman dengan kumpulan artikel berjudul “Imam Syafi’i
Mengharamkan Kenduri Arwah, Tahlilan, Yasinan dan Selamatan”.
Tradisi tahlilan, yasinan, dan tradisi memperingati 3 hari, 7 hari,
40 hari, 100 hari, dan 1000 hari orang yang meninggal dunia adalah
tradisi yang telah mengakar di tengah-tengah masyarakat kita khususnya
di kalangan warga nahdliyin. Dan tradisi tersebut mulai dilestarikan
sejak para sahabat hingga saat ini, di pesantrenpun tahlilan, yasinan
merupakan tradisi yang dilaksanakan setiap hari setelah shalat subuh
oleh para santri. Sehingga tahlilan, yasinan merupakan budaya yang tak
pernah hilang yang senantiasa selalu dilestarikan dan terus dijaga
eksistensinya.
Seiring dengan lahirnya aliran-aliran baru seperti aliran wahabi atau
aliran salafi yang telah diceritakan oleh penulis, tradisi tahlilan dan
yasinan hanyalah dianggap sebatas budaya nenek moyang yang
pelaksanaannya tidak berdasarkan dalil-dalil hadits atau al-Qur’an yang
mendasarinya. Sehingga aliran Wahabi dan Aliran Salafi menolak terhadap
pelaksanaan tradisi tersebut, bahkan mereka menganggapnya perbuatan yang
diharamkam.
Tahlilan, yasinan merupakan tradisi yang telah di anjurkan bahkan
disunnahkan oleh Rasulullah dan para sahabatnya. Yang di dalamnya
membaca serangkaian ayat-ayat al-Qur’an, dan kalimah-kalimah tahmid,
takbir, shalawat yang di awali dengan membaca al-Fatihah dengan
meniatkan pahalanya untuk para arwah yang dimaksudkan oleh pembaca atau
yang punyak hajat, dan kemudian ditutup dengan do’a. Inti dari bacaan
tersebut ditujukan pada para arwah untuk dimohonkan ampun kepada Allah,
atas dosa-dosa arwah tersebut.
Seringkali penolakan pelaksanaan tahlilan, yasinan, dikarenakan bahwa
pahala yang ditujukan pada arwah tidak akan menolong terhadap orang
yang meninggal. Padahal telah seringkali perdebatan mengenai pelaksanaan
tahlil di gelar, namun tetap saja ada pihak-pihak yang tidak menerima
terhadap adanya tradisi tahlil dan menganggap bahwa tahlilan, yasinan
adalah perbuatan bid’ah.
Para ulama sepakat untuk terus memelihara pelaksanaan tradisi tahlil
tersebut berdasarkan dalil-dalil Hadits, al-Qur’an, serta kitab-kitab
klasik yang menguatkannya. Dan tak sedikit manfaat yang dirasakan dalam
pelaksanaan tahlil tersebut. Diantaranya adalah, sebagai ikhtiyar
(usaha) bertaubat kepada Allah untuk diri sendiri dan saudara yang telah
meninggal, mengikat tali persaudaraan antara yang hidup maupun yang
telah meninggal, mengingat bahwa setelah kehidupan selalu ada kematian,
mengisi rohani, serta media yang efektif untuk dakwah Islamiyah.
Buku ini menguraikan secara rinci tentang hukum kenduri kematian,
tahlilan, yasinan, dan menjelaskan khilafiyah ulama salaf memberikan
makanan oleh keluarga duka cita kepada orang-orang yang berta’ziah.
Karena dikalangan ulama salaf masih memperselisihkan bahwa, memberikan
makanan kepada orang-orang yang berta’ziah, ada yang mengatakan
makruh, mubah, dan sunnah. Namun dikalangan ulama salaf sendiri tidak
ada yang berpendapat tahlilan, yasinan merupakan perbuatan yang
diharamkan. Bahkan untuk selamatan selama tujuh hari, berdasarkan
riwayat Imam Thawus, justru dianjurkan oleh kaum salaf sejak generasi
sahabat dan berlangsung di Makkah dan Madinah hingga abad kesepuluh
hijriah (hal. 13).
Menghadiahkan amal kepada orang yang telah meninggal dunia maupun
kepada orang yang masih hidup adalah dengan media do’a, seperti
tahlilan, yasinan, dan amalan-amalan yang lainnya. Karena do’a pahalanya
jelas bermanfaat kepada orang yang sudah meninggal dan juga kepada
orang yang masih hidup. Seorang pengikut madzhab Hambali dan murid
terbesar Ibnu Taimiyah, yaitu Ibnul Qoyyim al-Jauziyah menegaskan
pendapatnya, seutama-utama amal yang pahalanya dihadiahkan kepada orang
yang meninggal adalah sedekah.
Adapun membaca al-Qur’an, tahlil, tahmid, takbir, dan shalawat dengan
tujuan dihadiahkan kepada orang yang telah meninggal dunia secara
sukarela, ikhlas tanpa imbalan upah, maka hal yang demikian sampailah
pahala itu kepadanya. Karena orang yang mengerjakan amalan yang baik
atas dasar iman dan ikhlas telah dijanjikan oleh Allah akan mendapatkan
pahala. Artinya, pahala itu menjadi miliknya. Jika meniatkan amalan itu
untuk orang lain, maka orang lain itulah yang menerima pahalanya,
misalnya menghajikan, bersedekah atas nama orang tua dan lain
sebagainya.
Dengan demikian, buku ini layak dibaca oleh semua kalangan manapun
baik yang pro maupun yang kontra terhadap adanya tradisi tahlilan dan
yasinan. Agar supaya tradisi tahlilan dan yasinan yang sudah akrab
ditengah-tengah masyarakat tidak lagi terus dipertanyakan mengenai
kekuatan dalilnya. Sehingga agar tumbuh saling pengertian dan membangun
solidaritas antar sesama muslim. Membaca buku kecil dan sederhana ini,
pembaca akan mengetahui secara jelas terhadap dalil-dalil bacaan
tahlilan, yasinan yang selama ini dikatakan haram dan perbuatan bid’ah. Wallahu a’lam
* Peresensi: Ach. Tirmidzi Munahwan (Dosen Sekolah Tinggi Islam Blambangan (STIB) Banyuwangi)