Relevansi Ta’limul Muta’alim pada Pendidikan Masa Kini
Tamhid
” Ta’limul Muta’alim ”
adalah kitab kecil –biasanya saya khatamkan dalam enam atau tujuh hari
saja di bulan Romadlon, dengan tempo baca sekitar satu jam setiap hari–
hasil rangkuman Syaikh Az-Zarnuji. Yang belum mengenal tradisi
pesantren, tentu melontar kritik tajam terhadapnya. Dianggapnya kitab
yang penuh kontroversi, berisi teror sadis kepada pencari ilmu, tidak
masuk akal pembangkit kultus dan sebagainya, bukan lainnya “Ta’limul
Muta’alim” itu tapi kitab itu masih saja terus dibaca di pesantren salaf
manapun.
Sebelum saja beranjak menguak sedikit
isi, seluk beluk dan relevansi kitab TMT, saya ingin menguak dahulu
sebuah rahasia yang biasanya hanya disimpan saja di hati para kiyai.
Yang rahasia itu hakikatnya adalah inti sari dari kitab TMT tersebut.
Begini:
Keberhasilan seseorang mendapat anugerah
ilmu nafi’’ dan muntafa’ bih adalah karena melibatkan tiga faktor yang
sangat dominan, yaitu: Pertama, Fadhol dari Allah, karena memang diajar
oleh-Nya (alladzi ‘allama bil qolam. ‘Allamal insaana maa lam ya’lam).
Untuk memperoleh fadhol ini, orang harus berdo’a atau dido’akan. Do’a
itu harus sungguh-sungguh dan disertai kesungguhan. Tidak boleh
dipanjatkan dengan seenaknya dan mengesankan tidak begitu membutuhkan
wushulnya do’a, dengan cara misalnya, disamping berdo’a orang juga
berbuat maksiat, sama sekali tidak berusaha menghindar dari keharaman
yang dilarang. Fa anna yustajaabuu lah. Kedua, Belajar sungguh-sungguh,
rajin mengaji dan mengkaji, tekun mengulang dan muthola’ah. Sebuah
maqolah yang sering disebut hadits menegaskan “Man tholaba syaian
wajadda wajada wa man qoroal baba wa lajja walaja”. Siapa saja yang
mencari sesuatu dan sungguh-sungguh, dia akan mendapatkannya. Dan barang
siapa mengetuk pintu dan dia mengamping, maka dia masuk ke dalam
(rumah). Secara implisit firman Allah yang biasanya untuk mendalili
orang muslim yang tidak perlu ragu terjun dalam perjuangan: “Walladzina
jaahaduu fiinaa lanahdiyannahum subulanaa”, mengisyaratkan hal yang
demikian itu. Ketiga, Menyadong pertularan (atau apa namanya) dari guru
kalau mengacu sebuah pameo “atthob’u saroq” tabiat, watak, karakter itu
mencuri, maka kedekatan seseorang dengan orang lain mengakibatkan
penularan yang niscaya mengacu sunnah Allah, dia yang lemah akan
tertulari yang lebih kuat. Murid akan tertulari dari sang guru.
Pada kenyataannya, seberapa besar nafi’
dan muntafa’ bihnya ilmu yang diperoleh oleh tholib tergantung pada
seberapa besar kadar ketiga faktor itu diupayakan, diayahi dan
menghasilkan. Ada satu faktor lagi yang oleh TMT diisyaratkan pula
sebagai salah satu sebab seseorang berhasil mendapatkan ilmu dan yang
belakangan ini dilakukan oleh orang tua tholib. Bagi orang tua tholib
yang menyikapi secara santun kepada ahli ilmi, kepada siapa tholib
“ngangsu ilmu”, anaknya atau cucunya niscaya akan menjadi orang alim.
Memang tidak ada dalil yang mengukuhkan analisis tersebut. Namun secara
empiris bapak saya (almaghfurlah KH. Bisri Musthofa) merasakan itu. Ilmu
yang dimaksud adalah ilmu Allah yang memperolehnya dianjurkan (untuk
tidak mengatakan diharuskan) melalui sanad (sandaran) yang jelas. Baik
sya fawiyyan maupun ijaziyyan. Supaya manfa’at ilmu itu secara
ritualistik mendapatkan legalisasinya. Karena manfa’at adalah asas yang
mendasari kesungguhan tholibil ‘ilmi.
Tholabu ilmillah, mencari ilmu Allah
jelas wajib hukumnya. Mencari ilmu al-hal wajib (fardhu) ‘ain dan
selebihnya wajib (fardhu) kifayah. Dengan demikian mencari ilmu,
tholabul ilmi adalah amal ibadah. Dari pendirian keibadahan tholabil
ilmi inilah saya mendekati kitab “Ta’limul Muta’alim”.
Sistimatika Ta’limul Muta’alim
Kitab kecil yang terdiri dari tiga belas
fasal itu, separonya bersifat umum, membicarakan bagaimana seharusnya
orang sebagai makhluk hidup mengarungi kehidupan.
Seperti lazimnya kitab kecil yang
berbobot keilmuan, fasal awal mencoba memberi batasan terhadap apa saja
yang berkaitan dengan isi kitab.
Tentang ilmu, keutaman-keutamaannya,
bagian-bagiannya dan cara yang seharusnya untu menghasilkan ilmu itu.
Karena mencari ilmu itu ibadah, niat tholabul ilmi yang faridhotun itu
tidak boleh ditinggalkan. Tentu saja yang dilakukan tholib agar
mendapatkan pahala disamping dimaksudkan pula untuk memicu dan memacu
semangat pencarian, menangkal pembiasaan, menjaga koinsistensi, menuntun
keberhasilan dan tujuan ritualistik yang lain. Dari sinilah seharusnya
kandungan kitab TMT didekati sehingga tuduhan kurang menyenangkan atas
TMT dihindari. Melakukan niat tholabil ilmi ini diurai pada fasal dua,
anniyah fi haalit ta’allumi.
Pada fasal ketiga dikemukakan perlunya
selektif dalam memilih ilmu, guru dan teman bermusyawarah sebelum terjun
kedalam kancah ta’allum. Pada fasal ini muncul keharusan menjaga terus
minat ta’allum, konsistensi dan tabah dalam tekun terhadap ilmu yang
dipelajari dan dialami. Karena memang ilmu yang dipelajari, guru yang
mengajar,dan teman yang bersamanya mandalami ilmu itu, dipilihnya
sendiri secara selektif itu tadi.
Fasal berikutnya yang membuat pakar ilmu
masa kini seolah-olah kebakaran jenggot, adalah tentang kewajiban
ta’dhim terhadap ilmu itu sendiri dan ahli ilmu.
Fasal keenam adalah tentang bagaimana
seharusnya mencari ilmu berbuat. Dia harus sungguh-sungguh dan disiplin.
Kesungguhannya itu menopang diatas cita-cita yang luhur.
Memulai (starting) terjun, memperkirakan
kemampuan dan tertib belajar sesuai dengan kondisi diri dan ihwal ilmu
yang diterjuni adalah bahasan fasal ketujuh.
Tawakkal, kapan seyogyanya tholibul
ilmi, berusaha menghasilkan, ramah dan setia terhadap cita-cita, tidak
melewatkan waktunya dan istifadah (membuat catatan-catatan baik dalam
tulisan maupun benak), waro’ (menjaga makanan dan perbuatan yang
dilarang untuk tidak disantap atau dilakukan), apa saja yang membuat
orang mudah menghafal dan yang mudah membuat orang gampang lupa dan yang
terakhir adalah tentang amalan dan bacaan yang membuat pelakunya
tercurahi rizqi Allah. Itu semua adalah pasal kedelapan sampai
ketigabelas.
Asas manfaat yang mendasari keibadahan
tholabil ‘ilmi sebagai pendekatan. Pada awal coret-coret ini, saya
mengemukakan bahwa ilmu nafi’ yang muntafa’ bih adalah anugerah dari
Allah yang “allamal insaana maa lam ya’ lam”. Manfaat dan guna yang
didapat oleh orang yang memperoleh keuntungan dari ilmu itu, tidak hanya
didunia ini saja, namun juga akhiratnya. Karena itu untuk menghasilkan
ilmu yang bermanfaat, tidak hanya menghajatkan peranan dari pencari ilmu
itu sendiri. Peranan Allah dan peranan perantara guru dimana orang
berhasil mandapatkan ilmu, sama sekali tidak bisa dipisahkan. Hal-hal
(baca: a’mal) yang melibatkan Allah SWT. Demi perkenan-Nya, ridho-Nya,
kita menyebutnya ibadah.
Ibadah sebagaimana amal-amal lain, ada
permulaannya, prosesnya dan akhirnya. Masing-masing menghajatkan pada
pemenuhan aturan main yang telah ditetapkan agar yang dilakukannya tidak
sia-sia dan sah adanya. Apalagi amal ibadah yang bernama tholabil ilmi
menempati peringkat diatas qiyamil lail dan puasa sunnah, mengapa? Ya,
karena ilmu itulah yang mengantar orang terhormat dan mulia disisi Allah
oleh karena ketakwaan, “Inna akromakum ‘indallohi atqaakum”. Ilmu
adalah wasilah untuk takwa dan takwa adalah wasilah mulia ‘indallah.
Yang mulia ‘indalloh tentu mulia ‘nda siwahu min kholqihi.
Ilmu yang menjadi washilah kepada takwa itulah yang dapat disebut sebagai ilmu nafi’ wa muntafa’ bih (ilmu yang bermanfaat).
Berangkat dari sini, kiranya tidak
berlebihan manakala kita pertama-tama harus mampu menempatkan kedudukan
ilmu sedemikian rupa, sehingga ghoyatun nafi’ dan intifa’ dapat dicapai
oleh tholib. Dan pada tempatnya pula dia bersikap ta’dhim terhadap apa
dan siapa yang diharapkannya akan memberi manfaat yang sebesar-besarnya
kepada dirinya, dunia dan akhirat. Kendatipun dia secara filsofis
terpaksa menentukan klasifikasi ta’d’him itu. Tergantung pada siapa dia
harus berlaku ta’dhim.
Memang pada dasarnya sifat batin adalah
sifat bathini, karenanya tidak transparan. Tampilannya bisa beberapa
bentuk sesuai dangan keadaan. Keadaan mu’adhdhim dan mu’adhdhom itu
sendiri, latar belakang keduanya dan seterusnya.
At-Ta’dhim
Tampilan ta’dhim yang beraneka bentuk
itu tentu saja tidak boleh keluar dari batas —layak— wajar. Karena
memang ta’dhim bagi tholib adalah kewajaran, sesuatu yang layak
dilakukan terhadap yang ia merasa harus menta’dhimkannya. Dan merupakan
garapan tholibul ilmi untuk mengartikulasikannya dalam ia memilih
tampilan ta’dhim, dilakukannya dengan kesungguhan dan sepenuh hati.
Tidak kemudian terperangkap kedalam bentuk yang sering kita dengar
dengan sebutan mudahanah atau mujahalah belaka. Lamis dan menjilat, semu
dan tak bermakna.
Untuk itu tholib harus pandai dan cermat
menentukan pilihan ilmu apa yang paling baik yang harus dia cari.
Sesuai dengan minat dan bakatnya. Bahkan ketika bergurupn dia tidak
dibenarkan sembarangan dan asal-asalan. Pilihan ang ditentukan sendiri
akan lebih mendorongnya kepada kesungguhan ta’dhim. Oleh TMT kesungguhan
ta’dhimil ilmi dirupakan dengan tidak menjamah kitab yang berisi
kandungan ilmu itu, kecuali dalam keadaan suci dari hadats. Sebelum dia
muthola’ah, mengaji atau mengulang pelajaran, berwudhu lebih dahulu.
Sebab ilmu itu nur dan wudhu mewujudkan nur pada diri. Tidak menaruh
kitab sejajar, apalagi di bawah bokong. Dan seterusnya. Sedang ilmu yang
sebaiknya dipilih oleh tholib secara klasifikasial adalah yang dia
hajatkan mendesak bagi urusan agamanya, yang dibutuhkan untuk menuntun
kebahagiaan masa depan (bahkan depan sekali yaitu ketika kelak harus
menghadap kholiqnya) dan dihajatkan bagi mengatur hidupnya dunia
akhirat.
Dalam hal tholib memilih guru, kalau
ada, pilih yang mengumpulkan kealiman yang kealimannya dimasyhurkan
sebagai handal (al a’lam) yang secara khuluqi, mengatur kehidupan
keseharian sedemikian rupa sehingga tidak terkena imbas aib sosial,
menjauhi kedurhakaan dan maksiat serta menjaga muru’ah (al-auro’) dan
yang memiliki nilai lebih dalam kematangan ilmu dan amalnya serta lebih
tua usianya daripada ulama (kiyai) lain (al-asann). Hal ini barangkali
dimaksudkan agar tertancap pada diri tholib kemantapan berguru. Dengan
demikian tanpa ragu-ragu lagi, tholib bersikap ta’dhim kental kepada
gurunya itu. Oleh TMT, dicontohkan dengan tidak ngomong kalau tidak
didangu tidak bergeser tempat duduk sebelum sang guru beranjak dari
tempatnya, tidak terlalu dekat dan tidak pula terlalu jauh dari guru,
ketika didangu tidak berulah yang menyebabkan guru terganggu. Mematuhi
segala perintahnya apapun bentuknya. Dan seterusnya. Ta’dhim ini
berlanjut kepada keluarga sang guru. Pendek kata tidak membuat guru
tertekan (diantara tanda kutip) secara moral ta’dhim kepada guru ini,
dilakukan oleh tholib untuk mendapat perkenannya. Bukankah gurupun harus
memberi dengan sifat kasih dan sepenuh hati pula? Bukankah pemberin itu
wasilah untuk mendapatkan dan menghantarkannya kepada “raf’ad darojat”?
Oleh TMT guru disamakan dengan dokter
(thobib). Kalau dia tidak dihormati, dia tidak akan memberi yang terbaik
yang sangat dibutuhkan murid atau pasien itu, meskipun dia (pura-pura)
memeriksanya dan menuliskan resep. Melengkapi hujjah TMT adalah sebuah
ungkapan, yaitu: “Maa washola man washola illa bilhurmati wat ta’dhim,
wa maa saqotho man saqotho illa bitarkilhurmati wat ta’dhim”.
Melakukan pilihan sendiri secara cermat
terhadap ilmu dan guru dimaksudkan agar tholib tidak meninggalkan ilmu
dan gurunya itu, sebelum dia dinyatakan selesai dalam berguru. Sebab
meninggalkan ilmu dan guru sebelum saat dinyatakan selesai adalah
desersi dan itu sangat menyakitkan. Dengan demikian sulit ilmu yang
sudah dia kuasai bermanfaat. Memilih rekan adalah suatu yang tidak boleh
di abaikan oleh tholib. Rekan itu harus serasi, yang mau dan mampu
diajak rembugan, musyawarah, berakhlak terpuji. Pendek kata dia harus
serekan yang kebaikaannya bisa kamu curi. Sebab “at thob’u saroqo”,
tabiat itu pasti mencuri, punya dampak dan sangat mempengaruhi perilaku
dan penilaian.
Layaqoh Ma’hudah
Untuk menyikapi ilmu, guru dan rekan
yang seperti tersebut diatas, untuk menganggap sikap ta’dhim ala TMT
berlebihan atau tidak, untuk mengatakan sikap-sikap TMT relevan atau
tidak kaitannya dengan sistem pendidikan dewasa ini tergantung dimana
sebenarnya seseorang (sebagai tholib) menempatkan dirinya dalam
kedudukan dan peranan apa, menurut anggapan tholib, guru berpengaruh
pada “pembentukan diri”. Seberapa besar guru memberi manfaat pada
kehidupan tholib. Sampai sejauh mana jangkauan tholib mengapa dia
melengkapi diri dengan ilmu itu.
Barangkali bisa saya katakan bahwa
substansi pendidikan (yang bahasa kitabnya at-tarbiyah dari “madhi”
robba yang maknanya ” memberangkatkan pagi-pagi” atau “memperkembangkan
sejak mula”, sejak ditanam bagi tanaman dan sejak masa pertumbuhan bagi
anak manusia) adalah menggarap jiwa anak manusia menurut fitrahnya
adalalah bersih-bersih bagaikan kertas putih dia bisa ditulisi, dilukis,
dicoret-coret atau diapakan saja bahkan disobek-sobek. Ditarbiyah
dengan demikian bisa diusulkan untuk berarti: “tughda wa tunsau kama
hiya makhluqotun bihi bighoiri taghyiri wa thawili majraha, dibiarkan
berangkat dan beranjak tumbuh sesuai dengan fitrahnya tanpa harus
dibiasakan dari alur yang semestinya dengan menuntun dan memberi contoh
yang diinginkan serta memberi warna yang seindah-indahnya sesuai dengan
kemampuan yang dimiliki oleh dia yng dididik. Sehingga tertanam pada
dirinya haiah rosikhoh tashduru min halil af ‘aal.
Sasaran pendidikan dengan demikian adalah jiwa. Jiwa lebih peka terhdap rasa yang
jelas tidak nyata. Kebesaran jiwa tidak
nyemumuk seperti halnya kecahayaan ini tidak membinar. Namun kebesaran
dan kecahayaan itu dapat dirasakan. Membentuk kebesaran dan kecahayaan
itu bisa efektif bila dengan perangkat kedekatan rasa pula. Kedekatan
rasa yang dijalin antara guru dan tholib dengan tali Allah dan tali
rohmah ini akan menjalin keberhasilan amal tarbiyah. Tarbiyah yang
diarahkan kepada ketaqwaan. Wallahu ‘alam.
Kita mengerti sepenuh bahwa: menggarap
sesuatu itu tergantung kepada apa yang digarap. Sepanjang yang digarap
tidak berubah, pola dan format garapan tidak perlu dirubah kefitrahan
manusia. Pada dasarnya tidak pernah dirubah, karena itu relevansi konsep
yang telah disepakati sebagai ideal, efektif dan menjanjikan bagi
menggarap jiwa manusia, belum layak dipersoalkan. Kalaupun dalam
kenyataannya terjadi perubahan profil, kemencegan tampilan dan fariasi
lagak gaya akibat pengaruh makanan dan lingkungan, tinggal menyesuaikan
cara penanganan saja.
At- Talkhis Al Mudawwan
-
Mencari Ilmu harus dengan niat menghilangkan kebodohan untuk selanjutnya menggapai ridha Allah.
-
2. Mencari dengan terjun kelubuk pendidikan, berarti mencurahkan segala yang ada pada diri untuk mendapatkan manfaat yang sebesar-besarnya.
-
Ilmu yang kelak diperoleh harus mejadi wasilah menuju kepada takwa, yang tentu akan mengangkat derajat mulia disisi Allah.
-
Ilmu adalah cahaya, anugerah dan karunia Allah, yang untuk mencapainya antara lain lewat perantaraan guru. Kalaupun tanpa guru yaitu dengan membaca, menurut konsep Al-Qur’an harus dengan atas nama Allah.
-
Ilmu yang membuat orang mulia dan terhormat, dan mencurahkan manfaat yang sebesar-besarnya itu, sangat pada tempatnya untuk dita’dhimkan. Adalah terjemahan dari rasa terima kasih yang besar dan penghargaan yang mendalam.
-
Menta’dhimkan guru sebagai rasa terima kasih yang nota bene ahlul ilmi itu adalah pada tempatnya, sangaat layak dan terpuji. Dan adalah berarti menta’dhimkan ilmu itu sendiri.
-
Menta’dhimkan harus berarti pula tidak membuat yang bersangkutan merasa tertekan dari arah manapun, langsung atau tidak langsung.
-
Ta’dhim bukanlah ta’abbud. Namun bisa saja laku ta’dhim karena menjalankan perintah syari’. Menjalankan perintahnya berarti juga ta’abbud.
-
Mencari ilmu dengan konsep TMT membuat tholib sadar posisi dan ikhlas.
At-Talkhis Al-Mu’abbar
Barangkali oleh karena Az-Zarnuji
melihat kependidikan itu dengan kaca mata keteladanan, meskipun secara
emphiris dapat dibuktikan, maka yang tertuang terkesan berlebihan.
Andaikata saya tidak khawatir disebut sebagai su’ul adab, saya akan
mengatakan bahwa TMT adalah kerangka acuan hasil temuan atau rangkuman
pengalaman ahlil ilmi dan belum disusus seperti layaknya konsep.
Namun secara kualitatif memiliki bobot
yang efektif sebagai pedoman untuk menciptakan dunia pendidikan yang
ideal yang masih sangat mungkin diterapkan kapan saja. Oleh karena itu,
saya memberanikan diri untuk menganggap isi kitab TMT masih sangat
relevan untuk diterapkan pada dunia pendidikan dewasa ini, sepanjang
format belum berubah.
Tentang hubungan pendidik anak didik,
guru murid, kiyai santri, pemberi manfaat penerima manfaat, dan
seterusnya, adalah wajar dan memenuhi tuntunan ajaran serta tuntunan
keorangan apabila terjalin tali keeratan yang terbuhul atas dasar
filosofi sadar posisi bagi masing-masing. Dan itu harus dipertahankan
kelanggegnannya agar pengawasan batini dapat dilakukan terus menerus.
Kelanggengan hubungan antar dua kutub tersebut hanya dapat dicapai dengan keikhlasan yang putih.
Takhtim
Alur yang dipilih Az-Zarnuji untuk
mengalirkan gagasan beliau, saya kira sudah memenuhi aspek muthobaqoh
tadhomun maupun iltizam. Dan itulah hasil pendilalahan yang benar dari
lafal: at-tarbiyah.
Pada kurun masa segala aspek tata
kehidupan sudah bergeser seperati sekarang ini dan menjelang berlakunya
era indrustrialisasi, saya kira konsep yang ada pada kandungan TMT,
sebaiknya didukung untuk disosialisasikan dan dikembangkan secara
adapatatif. Dengan melibatkan para pakar disiplin ilmu tertentu dan
penambahan tata nilai. Sebab dapat saja saya mengatakan: untuk membentuk
generasi penerus yang terdidik lagi bertakwa kepada Allah SWT. Belum
ada pedoman khususnya selain kitab TA’LIMUL MUTA’ALIM.
Oleh: KH. M. Kholil Bisri (Pengasuh Pondok Pesantren Leteh, Rembang, Jawa Tengah)Rembang, Shofarul Khoir 1414 H.Dikutip dari Makalah yang beliau sampaikan di Pondok Pesantren Al-Hamidiyyah Jakarta.
