Penulis-Penulis Pertama Kaidah Fiqh
Hal yang sama juga terjadi pada dua
madzhab lainnya, yakni madzhab Maliki dan Syafi’i. Qadli Abdul Wahab
al-Baghdadi (422 H) dikenal sebagai ulama pertama yang menulis kitab
kaidah fiqh madzhab Maliki. Beliau memberi nama karangannya itu dengan
al-Nazhair dan husus mengkaji masalah-masalah fiqhiyyah yang mempunyai
kemiripan karakter dan ‘illat hukum.
Sementara dalam madzhab Syafi’i sejak
abad kelima Hijriyah Abu Muhammad Abdillah bin Yusuf bin Abdillah
al-Juwainy (438 H) mengawali penulisan kitab kaidah madzhab Syafi’i
melalui karyanya, al-Furuq. Sesuai dengan namanya, kitab ini sengaja
ditulis oleh al-Juwainy guna menelaah masalah-masalah furuqiyah. Jadi,
jika Qadli Husayn dikenal sebagai perumus pertama kaidah fiqh Madzhab
Syafi’i, maka al-Juwayni dinilai sebagai ulama pertama yang menulis
kitab kaidah dalam madzhab yang di dirikan oleh Idris as-Syafi’i ini.
Langkah al-Juwayni itu kemudian diikuti oleh Abu al-Abbas al-Jurjani
(482 H) melalui karyanya, al-furuq yang juga membahas masalah-masalah
furuqiyah.
Sayangnya ketika memasuki abad keenam
Hijriyah, gairah penulisan kitab-kitab kaidah mulai melemah kembali.
Dalam jangka waktu hampir seratus tahun, tidak ada seorang ulama pun
yang menulis kaitab kaidah fiqh yang sampai pada kita selain dua fuqaha
madzhab Hanafi, yakni Najm al-Din al-Nasafi (537 H) dan As’ad bin
Muhammad bin al-Hasan al-Karabisi (570 H). Najm al-Din al-Nasafi menulis
sebuah kitab berjudul Syarh Risalah al-Karakhi yang secara khusus
mengomentari dan mengulas kaidah-kaidah yang terkandung dalam Risalah
al-Karakhi. Sementara As’ad bin Muhammad bin al-Hasan al-Karabisi
menelurkan karyanya, al-furuq yang berisi kajian seputar perbedaan
furu’iyyah dan prinsip-prinsip tentang perbedaan tersebut. Selain
al-Nasafi dan al-Karabisi, tidak ada ulama lain dari madzhab manapun
yang menulis kitab kaidah pada abad ini. Kondisi yang demikian terus
berlangsung dalam jangka waktu hampir seratus tahun. Para ulama kemudian
menyebut masa pra-fatrah sebagai periode Mutaqaddimin dan masa
pasca-fatrah sebagai era ulama mutaakhirin.
Jika ditinjau dari aspek ijtihad, maka
sejak periode awal mutaqaddimin hingga masa fatrah, aktivitas ijtihad
sebenarnya mengalami kemunduran dibandingkan dengan periode sebelumnya.
Para fuqoha masa ini lebih menfokuskan diri untuk mengkaji
pendapat-pendapat masing-masing madzhab tanpa ada upaya untuk melakukan
ijtihad sendiri. Ranah ijtihad mereka hanya terbatas pada pengulasan dan
pengembangan fiqh yang ada di masing-masing madzhab. hal ini mereka
lakukan karena adanya suatu anggapan bahwa pintu ijtihad sudah tertutup.
Mereka menilai bahwa tidak ada lagi ulama yang memenuhi syarat-syarat
menjadi mujtahid mutlaq, yakni mujtahid yang memiliki metode khusus dan
memenuhi kapasitas tertentu untuk mencetuskan hukum secara langsung dari
nash. Kalaupun ada, maka mereka itu hanya mujtahid fi al-madzhab atau
menjadi mujtahid yang ranah ijtihadnya hanya dalam madzhab tertentu dan
tidak memiliki metodologi sendiri karena masih mengikuti metodologi imam
madzhabnya. Kemunduran aktivitas ijtihad pada masa ini terus berlanjut
hingga berabad-abad berikutnya, walaupun dalam segi penulisan kitab fiqh
dan kaidah fiqh.
Oleh: Muhammad MahrusPondok Pesantren Daarul Falah – Ciloang – Serang BantenLink: http://www.daarulfalah.com/2014/06/penulis-penulis-pertama-kaidah-fiqih.html
