Menangkap Nilai Kepemimpinan Dari Shalat Berjama'ah
Banyak orang belajar
kepemimpinan dari berbagai pengalaman dan buku-buku literatur, tetapi
ternyata tidak selalu berhasil tatkala mengimplementasikannya.
Pemimpin yang berhasil biasanya diukur dari efektifitas, efisiensi, dan
produktifitas organisasi yang dipimpinnya. Kepemimpinan dalam
organisasi dipandang sedemikian strategis. Organisasi apapun yang maju,
telah ditentukan oleh kualitas kepemimpinannya.
Secara
sederhana, nilai-nilai kepemimpinan, sebenarnya bisa ditangkap dari
kegiatan shalat berjama’ah. Dalam shalat berjama’ah, telah ditentukan
beberapa prinsip, yaitu mulai dari cara memanggil anggota jama’ah,
memulai kegiatan, cara menentukan pemimpin shalat atau imam, loyalitas,
dan penghargaan yang akan diterima oleh semua yang terlibat di dalam
kegiatan itu. Atas dasar prinsip-prinsip itu, sekalipun jumlah makmum
dalam sholat berjama’ah hingga ribuan dan bahkan jutaan ------tatkala di
berjama’ah di Masjil Haram atau di masjid Nabawi, ternyata berjalan
tertib.
Di
dalam pelaksanaan shalat berjama’ah, pada saat memasuki waktunya, maka
muadzin di masing-masing masjid mengumandangkan suara adzan, dan
demikian pula tatkala shalat akan dimulai, maka memberitahukan pula
dengan iqomah. Bacaan adzan maupun iqomah di mana-mana adalah sama, atau
tidak berubah-ubah. Dengan demikian, maka siapapun akan mengerti,
bahwa suara dimaksud adalah merupakan panggilan shalat dan tanda
memulainya shalat berjama’ah dilakukan.
Demikian
pula, imam shalat telah ditentukan kriterianya. Kriteria yang
dimaksudkan itu misalnya, dipilih orang yang paling luas dan mendalam
pemahamannya tentang Islam, kefasihan bacaannya, dan dari mereka yang
paling tua umurnya. Singkatnya, seorang imam atau pemimpin ditunjuk dari
di antara jama’ah yang memiliki kelebihan. Atas kriteria seperti itu,
maka pemimpin di dalam shalat tidak diperebutkan. Namun biasanya, pada
setiap masjid telah ditunjuk beberapa orang sebagai imam tetap.
Penunjukkan imam itu adalah atas kriteria yang dimaksudkan itu.
Di
dalam shalat berjama’ah, imam melakukan peran-peran sebagai komando dan
sekaligus contoh. Imam sholat membaca takbir dengan suara keras sebagai
tanda shalat dimulai, dan selanjutnya dengan takbir pula, ia mengajak
ruku’, i’tidal, sujud, dan seterusnya hingga mengucapkan salam sebagai
pertanda shalat selesai. Sebelum makmum melakukan berbagai jenis
gerakan, maka imam shalat selalu melakukannya terlebih dahulu.
Pemimpin shalat tidak sekedar memberi komando, melainkan juga sekaligus
bersama-sama menjalankannya.
Selain
itu, imam shalat berjama’ah juga seharusnya selalu memperhatikan
kondisi makmumnya. Pada shalat tertentu, --------shalat jum’ah
misalnya, imam dianjurkan agar membaca surat yang tidak terlalu
panjang, dikhawatirkan ada jama’ah yang tidak memiliki waktu lama atau
kemampuannya terbatas. Seorang pemimpin shalat pun harus memahami
terhadap kepentingan atau kondisi mereka yang dipimpinnya. Demikian pula
hal itu seharusnya dijalankan dalam berbagai jenis kepemimpinan
lainnya.
Hal
lain yang kiranya penting adalah tentang loyalitas makmum. Pada shalat
berjama’ah, makmum harus mengikuti gerakan imam. Tatkala imam shalat
membaca takbir maka makmum harus mengikutinya, dan demikian pula pada
kegiatan-kegiatan lainnya. Akan tetapi, hal yang perlu digaris bawahi
bahwa, semua yang dilakukan oleh makmum bukan untuk kepentingan imam.
Makmum melakukan shalat bersama-sama imam hanyalah untuk Allah. Gerakan
dan bacaan makmum sama sekali bukan diperuntukkan pada pimpinannya,
yaitu imam shalat, melainkan adalah berkonsentrasi atau khusu’ secara
bersama-sama menghadap Tuhan.
Hal
tersebut sangat berbeda dari kepemimpinan organisasi. Anak buah atau
staf, dalam organisasi, bekerja untuk pimpinannya. Hal demikian itu,
manakala pimpinannya tidak sedang berada di tempat, maka kualitas kerja
anak buah atau staf menjadi menurun. Itulah sebabnya, pada akhir-akhir
ini pada setiap organisasi dikembangkan apa yang disebut dengan visi dan
misi organisasi. Dengan demikian itu, para bawahan atau staf bekerja
bukan saja untuk memenuhi kehendak pimpinannya, melainkan seharusnya
diarahkan untuk mewujudkan visi dan misi organisasinya. Di dalam
Islam, semua kegiatan atau kerja diarahkan untuk pengabdian, yaitu
mengabdi atau beribadah hanya kepada Allah semata. Mengikuti konsep
shalat berjama’ah, maka seharusnya semua pekerjaan dilakukan dengan cara
terbaik, yaitu baik tatkala sedang diawasi oleh pimpinannya atau tidak.
Hal
menarik lainnya dari shalat berjama’ah, bahwa ternyata pahala yang
dijanjikan, baik untuk imam sebagai pemimpin shalat maupun untuk
makmum adalah sama. Imbalan atau disebut pahala tidak ada
diskriminasi. Apa yang akan diterima oleh imam akan sama dengan yang
akan diterima oleh makmum. Demikian pula, berapapun jumlah makmum dalam
shalat berjama’ah, pahala untuk imam juga tidak akan berbeda. Itulah
kebersamaan dalam shalat, dan kiranya hal itu bisa diimplementasikan di
dalam organisasi apapun. Islam mengajarkan kebersamaan atau berjama’ah,
dan seharusnya kebersamaan itu tidak saja di dalam shalat, tetapi juga
di dalam menunakan berbagai jenis kegiatan lainnya. Wallahu a’lam.
Sumber : uin-malang.ac.id