Membekali Anak : Dulu, Sekarang, Dan Yang Akan Datang
Oleh Prof.DR.Imam Suprajogo
Memang ada beberapa
cara di dalam memberikan bekal hidup bagi anak-anaknya. Ada orang tua
yang lebih memilih cara praktis, memberikan bekal anaknya berupa harta
kekayaan. Masing-masing anaknya dibuatkan rumah, disediakan tanah,
ternak, atau usaha, sebagai modal hidupnya. Tentu orang tua seperti
ini, adalah mereka yang berkecukupan. Bagi yang miskin, tentu tidak
akan bisa memilih cara ini. Orang miskin biasanya mengarahkan
anak-anaknya bekerja apa saja, termasuk menjadi buruh, dan hasil atau
upahnya agar bisa dijadikan modal hidupnya kelak.
Selain
itu, ada cara yang diangap lebih strategis, ialah para anak-anaknya
dikirim sekolah ke kota dengan harapan kelak tatkala lulus bisa bekerja
di sektor-sekotor modern seperti menjadi PNS, pengusaha, atau apa saja
yang tersedia di kota. Mereka berharap, berbekal ilmu pengetahuan lebih
strategis dan tidak akan hilang selamanya. Bermodalkan ilmu pengetahuan
seseorang akan bisa memilih bekerja sebagai apa saja. Strategi ini juga
didasari alasan, harta kekayaan, manakala tidak mampu mengelolanya,
akan segera habis dan akan menjadi miskin kembali.
Tidak
saja orang kota, orang desa pun mampu berkalkulasi secara cermat
tentang masa depan anak-anaknya. Mereka yang memilih menyekolahkan
anaknya ke kota tidak segan menjual tanah, ternak, dan atau apa saja
untuk membiayai anak-anaknya bersekolah di kota. Sejumlah biaya yang
dikeluarkan itu dianggap sebagai investasi masa depan bagi anak-anaknya.
Dahulu strategi seperti itu banyak berhasil, terbukti banyak anak yang
berasal dari pedesaan menempati posisi-posisi strategis di kota, baik
di perusahaan, kantor-kantor pemerintah, lembaga pendidikan, politik,
menjadi tentara, dan lain-lain.
Keberhasilan
itu, memotivasi yang lain, sehingga banyak anak desa menempuh
pendidikan hingga perguruan tinggi di kota. Hanya kemudian sayangnya,
setelah mereka lulus, peluang untuk mendapatkan pekerjaan, ternyata
tidak semudah dulu. Akhirnya, tidak sedikit para sarjana pulang ke
desa, namun belum tentu memperoleh peluang pekerjaan di tempat
kelahirannya itu. Jargon ideal yang selalu terdengar, bahwa seharusnya
para sarjana pulang kampung untuk membangun desanya, ternyata tidak
mudah direalisasikan.
Bagi
yang memiliki modal, mereka masih tertolong, yaitu membuka usaha.
Tetapi bagi mereka yang hartanya sudah habis untuk membiayai sekolah,
maka tidak ada pilihan lain kecuali bekerja apa adanya, baik di desanya
sendiri atau pergi ke kota lagi untuk mendapatkan pekerjaan seadanya.
Problem seperti digambarkan itu, tentu sudah diketahui sendiri oleh para
mahasiswa yang berasal dari desa. Bagi mereka yang tidak berani
menghadapi tantangan itu, akhirnya lebih memilih untuk menunda lulus
kuliahnya. Pilihan itu dirasakan lebih aman daripada lulus dan harus
menganggur.
Semakin
banyaknya sarjana menganggur adalah merupakan problem yang seharusnya
segera dicari jalan keluarnya. Memang, siapapun tidak mudah
menyelesaikan, termasuk pemerintah dan juga perguruan tinggi yang
memproduk sarjana itu. Dulu pernah dikembangkan program sarjana masuk
desa, yang dikenal dengan program TKS atau Tenaga Kerja Sukarela.
Setelah bekerja beberapa tahun di desa dan kemudian ada formasi
pengangkatan sebagai PNS, mereka itu diprioritaskan untuk diangkat
sebagai pegawai pemerintah. Persoalan penganguran sarjana tersebut, di
dalam debat Capres yang lalu, ternyata kurang mendapatkan perhatian.
Mungkin saja, karena problem itu sudah terjadi sejak lama, akhirnya
tidak dianggap lagi sebagai persoalan yang mendesak untuk dipecahkan.
Pengangguran
sarjana sebagaimana digambarkan di muka, oleh orang tua sekarang ini
juga sudah dipahami. Sebagai jalan ke luar, bagi mereka yang dalam
keadaan ekonominya terbatas, -------berada di pedesaan, lebih memilih
jalan praktis. Setelah anaknya lulus sekolah, tidak harus sampai ke
perguruan tinggi, dianjurkan untuk bekerja. Mereka sebagian memilih
pergi ke luar negeri untuk menjadi pekerja apa saja, atau ke kota.
Bertahan di desa menjadi petani juga tidak selalu menarik, karena
hasilnya tidak mencukupi. Itulah problem besar yang dihadapi oleh orang
tua sekarang dalam menyiapkan anaknya di masa depan.
Memecahkannya,
kiranya pemerintah bekerjasama dengan pemodal, -------sekalipun juga
tidak gampang, bisa membuka berbagai usaha baru yang bisa menyerap
tenaga kerja itu. Memang negeri ini agaknya aneh, sebagai bangsa
agraris, tetapi ternyata masih mengimpor berbagai kebutuhan pokok,
seperti beras, gula, buah-buahan, jagung, kedelai, dan bahkan garam
sekalipun. Perlu dicari siapa dan titik mana sebenarnya yang salah
hingga menjadikan keadaan aneh seperti ini. Padahal umpama, pemerintah
mau sebetulnya masih ada peluang luas. Yakni memodernisasi pertanian
secara besar-besaran hingga akhirnya membalik keadaan, yaitu dari
menginport menjadi pengeksport berbagai hasil pertanian dan peternakan.
Dengan begitu akan membuka lapangan kerja baru, sehingga generasi
muda tidak perlu hijrah ke mana-mana hanya sekjedar mencari sesuap nasi.
Demikian
pula, lembaga pendidikan harus dirombak secara mendasar dalam berbagai
aspeknya. Generasi muda tidak boleh hanya menjadi korban idealisme para
perancang pendidikan yang kurang peduli pada tuntutan masa depan.
Tantangan masa depan berbeda dengan 10 tahun yang lalu. Oleh karena itu,
manakala pendidikan anak saat ini disamakan dengan pendidikan 10 dan
apalagi 20 tahun yang lalu, maka itulah yang saya maksud, bahwa
generasi muda menjadi korban idealisme generasi tua. Pemerintah harus
berani mengubah kurikulum, manajemen pendidikan, cara pandang guru,
persekolahan, tidak terkecuali ujian nasional harus dilihat kembali
secara cermat dan semuanya harus dilakukan perubahan secara mendasar
itu. Cara orang desa menyiapkan anak-anaknya saja sudah berubah, maka
semestinya pemerintah harus lebih segera melakukan perubahan
menyesuaikan dengan tantangan zaman. Wallahu a’lam.
Sumber: uin-malang.ac.id
